Jogja
Rabu, 20 Agustus 2014 - 08:20 WIB

JOGJA OVERLOAD : Pilih Mana, Batasi Kendaraan atau Pemasukan Pajak?

Redaksi Solopos.com  /  Mediani Dyah Natalia  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - JIBI/Harian Jogja/Desi Suryanto Ilustrasi

Harianjogja.com, JOGJA– Pembatasan jumlah kendaraan bermotor untuk mengurangi kemacetan dilematis, karena DIY bergantung pada pemasukan pajak kendaraan. Berikut tiga jenis kendaraan yang mengakibatkan Jogja menjadi overload. (Baca Juga : KEISTIMEWAAN DIY Jogja Overload, Sultan Lelang Tempat Parkir Dipercepat)

Izin Trayek Bus Wisata

Advertisement

Pemerintah Daerah DIY pun malah melakukan kesalahan dengan menerbitkan peraturan daerah tentang angkutan wisata pada 2000. Perda itu mengatur perizinan trayek bus wisata hanya akan diberikan pada bus yang berusia lima tahun terakhir, misalnya perizinan dilakukan pada tahun ini, bus yang disetujui maksimal keluaran mesin 2008.

Menurut Kepala Bidang Anggaran Pendapatan Dinas Pendapatan Pengelolan Keuangan dan Aset Daerah (DPPKAD) DIY Gamal Suwantoro, peraturan itu dulu diterbitkan oleh Biro Hukum  bersama Dinas Perhubungan. Hal ini mengingat Jogja sebagai kota wisata, sehingga setidaknya bus yang ada di DIY harus yang masih baik atau mahal.

Advertisement

Menurut Kepala Bidang Anggaran Pendapatan Dinas Pendapatan Pengelolan Keuangan dan Aset Daerah (DPPKAD) DIY Gamal Suwantoro, peraturan itu dulu diterbitkan oleh Biro Hukum  bersama Dinas Perhubungan. Hal ini mengingat Jogja sebagai kota wisata, sehingga setidaknya bus yang ada di DIY harus yang masih baik atau mahal.

“Tapi praktiknya merugikan, karena bus- bus angkutan wisata di Jogja di atasnamakan perizinannya di Jawa Tengah. Padahal kemacetannya masuk Jogja, tapi pendapatannya masuk daerah lain,” ujar Gamal saat ditemui di kantornya, Selasa(19/8/2014).

Fakta ini dapat dilihat ketika liburan tiba. Pada saat itu, pasti Jogja dipenuhi bus wisata, ada yang dari Magelang, Prambanan atau wilayah Jawa Tengah lainnya. Bus- bus itu tak sekadar mengangkut orang dari luar kota, tapi juga orang- orang Jogja sendiri. Kerugian itu tak akan dialami DIY jika peraturan pembatasan rekomendasi bus angkutan wisata itu dilakukan secara nasional.

Advertisement

Penyumbang kemacetan lainnya sekarang ini, ujarnya, adalah karena adanya produksi mobil- mobil murah seharga Rp100 juta. Sementara berdasarkan peraturan daerah No1/2011 tentang pajak daerah, Pemda DIY hanya memungut bea balik nama sebesar 10 lebih kecil ketimbang daerah lainnya.

Kebijakan itu mengambil keleluasaan dari Undang- Undang 28/2009 tentang pajak daerah yang menentukan BBNKB sebesar 10% dan maksimal 20% dari nilai jual. Di daerah lain seperti Jawa Tengah menentukan BBNKB itu sebesar 12,5%, adapula daerah lain yang sampai 15%.

“Kendaraan- kendaraan murah itu sudah menambah kemacetan, tapi rupiahnya kecil, padahal dominan orang ke arah sektor itu hampir 50 persennya mengambil kendaraan murah,” ujarnya.

Advertisement

Karena prediksi semakin meningkatnya pembelian mobil murah itu, DPPKAD menambah target realisasi PKB dan BBNKB pada anggaran perubahan 2014 ini. Tapi itu pun tak banyak hanya sekitar 20% dari total pendapatan PKB dan BBNKB sekitar Rp1 triliun.

Pajak Progresif Vs Kendaraan Roda Dua

Gamal menambahkan, persoalan pajak progresif untuk kepemilikan kendaraan bermotor pun masih longgar di DIY. Pajak progresif itu hanya ditentukan selisih 5% dari tiap kepemilikan awal, sementara di Jakarta sampai kepemilikan kelima pajak progesifnya bisa langsung Rp10 juta sendiri.

Advertisement

Di samping itu pajak progresif itu tidak berlaku bagi kendaraan roda dua. Ia mengatakan, saat pembuatan perda pajak daerah itu pajak progresif dibuat untuk seluruh kendaraan bermotor. Namun sampai pembahasan di Dewan, ketentuan itu dihapus.

“Karena saat public hearing banyak penolakan dari mahasiswa. Pajak itu dinilai tidak mencerminkan Jogja sebagai kota pelajar,” ujarnya.

Untuk mengurangi kemacetan, menurutnya, hal itu memang dilematis, karena DIY pada dasarnya tidak memiliki sumber daya alam yang dapat mengganti pendapatan utama dari PKB- BBNKB.

“PKB BBNKB menyumbang 85% dari total PAD DIY Rp1,3 triliun, sementara pendapatan asli daerah lainnya dari usaha Badan Usaha Milik Daerah hanya sekitar lima persen,” ungkapnya.

Menurut dia, Pemda menyadari mengandalkan pendapatan dari PKB dan BBNKB lambat laun merugikan bagi masyarakat DIY sendiri, karena panjang ruas jalan juga tidak bertambah signifikan dengan pertambahan jumlah kendaraan bermotor. “Penarikan pajak progresif memang menjadi cara menekannya termasuk penyediaan angkutan publik,” ujarnya.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif