Jogja
Jumat, 1 Agustus 2014 - 11:44 WIB

Ini Akibat Hotel Rambah Sepadan Sungai

Redaksi Solopos.com  /  Mediani Dyah Natalia  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Ilustrasi air putih (glutenfreegladiator.com)

Harianjogja.com, JOGJA—Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Regional Jogja menengarai pengembangan hotel di Jogja sengaja mengincar ke wilayah kawasan lindung sempadan sungai. Hal ini berpotensi mengurangi debit air permukaan tanah.

Penurunan debir air di permukaan tanah ini dirasakan secara signifikan oleh, pengelola Usaha Air Bersih (UAB) Tirta Kencana, Jetisharjo. Adapun UAB merupakan usaha mandiri milik warga dengan memanfaatkan dua sumber mata air belik di tepi Sungai Code sisi timur. Sebelum 1991, belik itu sudah dimanfaatkan oleh warga untuk mandi dan mencuci.

Advertisement

Jumlah pelanggannya saat ini sekitar 160 Kepala Keluarga. Air minum bersih itu cukup dijual dengan harga Rp600, Rp800 dan Rp1.000 per meter kubik. Penghitungan debit air disesuaikan dengan akumulasi meteran yang dicatat setiap bulan oleh pengurus di tiap RT. Tarif ditentukan dari tiga ukuran yakni penggunaan 0-15 meter, 15-30 meter, dan lebih dari 30 meter. Namun, menurut Subadi, petugas teknis lapangan UAB, debit air belik itu menyusut, sementara permintaan terus bertambah. Ia tak mengetahui penyebab pastinya. Penyusutan tersebut terjadi kurang lebih setelah erupsi Merapi 2010.

Selama ini, menurut dia, tak juga pernah ada sosialisasi dari pemerintah untuk melakukan konvervasi  mempertahankan debit air tersebut. “Kalau debit turun, ditunggu pada sore harinya, baru mesin pompa jalan lagi,” katanya kepada Harianjogja.com, Kamis (31/7/2014).

Di daerah itu, tepat sebelum kampung Jetisharjo, terdapat hotel berbintang yang belum lama berdiri. Menurut Direktur Walhhi DIY Halik Sandera, keberadaan hotel itu bisa jadi berpengaruh pada debit air permukaan.

Advertisement

“Sebab, dengan adanya basement otomatis menggeser resapan air permukaan tanah,” ujarnya Kamis.

Halik atau akrab disapa Cepot mengatakan, dugaan wilayah sempadan sungai menjadi incaran perhotelan karena mudahnya pengurusan pembebasan lahan yang rata-rata hanya hak guna bangunan, sementara ada pula oknum yang mengaku-ngaku sempadan sungai sebagai hak miliknya. Ini terjadi di daerah sempadan sungai di Sayegan, atau di seputaran Jembatan Sayidan.

Ia pun mengeluhkan berdirinya hotel-hotel di daerah Ngampilan (utara Taman Parkir Ngabean), padahal area itu wilayah peyangga alam Malioboro. Masalah lainnya, kebutuhan air hotel banyak menyedot air dangkal dengan mengebornya.

Advertisement

Komisioner Lembaga Ombudsman Swasta (LOS) Dwi Priyono mengatakan bisnis hotel di DIY sangatlah prospek, apalagi The New York Times menyatakan Jogja merupakan 56 tempat wajib dikunjungi. Sementara di tengah-tengah itu, muncul kritikan sulitnya mencari penginapan yang respresentatif. Meskipun ada 38 hotel bintang dan 332 hotel non bintang serta 31 pondok wisata. Masalahnya pengembangan hotel kerap tidak mempedulikan lingkungan sekitar, baik lingkungan alam ataupun kamacetan.

“Berdasarkan penelitian, ditemukan 10 hotel tak memiliki ruang terbuka hijau (RTH) dan resapan air,” ungkapnya.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif