Soloraya
Sabtu, 19 Juli 2014 - 14:50 WIB

PENUNDAAN MALAM SELIKURAN : Pemkot Solo Dianggap Merusak Pakem Budaya

Redaksi Solopos.com  /  Anik Sulistyawati  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Abdi dalem Kasunanan Surakarta Hadiningrat membawa lentera saat perayaan malam selikuran di halaman Mesjid Agung Solo, Minggu (28/7/2013) malam. (ilustrasi/Sunaryo Haryo Bayu/JIBI/Solopos)

Solopos.com, SOLO–Sejarawan Kota Solo, Heri Priyatmoko, menilai Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) telah merusak pakem budaya lantaran menunda pelaksanaan Kirab Ting dari Jumat (18/7/2014) menjadi Sabtu (19/7/2014).

“Penundaan itu adalah gagasan yang keliru. Itu adalah pakem budaya dan sejarah yang tidak bisa dinegosiasi. Ini persoalan momentum yang bakal membingungkan. Kalau ditunda sehari, berarti bukan lagi Malam Selikuran melainkan Malam Rolikuran,” kritik Heri kepada solopos.com, Sabtu.

Advertisement

Selain menyalahi pakem, sambung Heri, penundaan Kirab Ting tersebut juga mengacaukan kalender pariwisata sehingga cenderung membingungkan wisatawan yang ingin melihat tradisi tahunan itu. Heri menyesalkan adanya dua acara Malam Selikuran yang berbeda hari pelaksanaannya. Sebagaimana diketahui, pihak Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat juga sudah menyelenggarakan Malam Selikuran pada Jumat (18/7) malam. Alangkah lebih baik, kata Heri, Pemkot Solo bisa menjalin kerja sama dengan Keraton untuk menyelenggarakan tradisi tahunan tersebut.

“Ini adalah acara yang berbasis dari Keraton Solo. Seharusnya, Pemkot Solo bisa mendukung acara Keraton. Bukan malah membuat acara sendiri dengan waktu pelaksanaan yang berbeda,” tandasnya.

Penundaan Kirab Ting itu, kata Heri, menimbulkan kesan jika Pemkot itu telah mereproduksi  acara dari Keraton. Heri menganggap Pemkot Solo harus diingatkan supaya kejadian serupa tidak terulang di masa mendatang. “Kalau tidak ada yang mengingatkan, saya khawatir ke depan Pemkot Solo akan menunda pelaksanaan kegiatan budaya lain. Siapa tahu, kelak Malam Suro itu akan digelar tanggal 10 Muharram,” kelakarnya.

Advertisement

Lebih lanjut, Heri menjelaskan, tradisi Kirab Ting pada Malam Selikuran yang diselenggarakan di Sriwedari merupakan gagasan dari Paku Buwono (PB) X. Kegiatan yang diselenggarakan dalam rangka memperingati Malam Lailatul Qodar itu sebelumnya memang biasa digelar di masjid-masjid. Namun, PB X sengaja melaksanakan Malam Selikuran di Sriwedari dalam rangka menyebarkan agama Islam atau Islamisasi terhadap kaum abangan.

“Dahulu, Sriwedari itu adalah taman yang merakyat. Di sana menjadi tempat kumpul wong cilik yang umumnya adalah kaum abangan yang belum begitu mengenal Islam. PB X sengaja merangkul kaum abangan untuk masuk Islam melalui kegiatan Kirab Ting pada Malam Selikuran itu,” jelas jebolan pascasarjana Universitas Gadjah Mada (UGM) ini.

Sementara itu, Wakil Pangageng Sasana Wilapa, KP Winarno Kusumo, mengatakan sebenarnya pihak Keraton tidak masalah jika pelaksanaan Kirab Ting pada Malam Selikuran dikemas dalam satu acara yang digelar Pemkot Solo. Kendati begitu, kebijakan itu tergantung kebijakan dari Pemkot Solo sendiri.

Advertisement

“Kalau dari Keraton, kegiatan-kegiatan seperti itu harus digelar tepat waktu karena itu adalah tradisi yang menyangkut masalah keagamaan. Lain halnya kalau kegiatan itu bersifat perayaan atau untuk memeriahkan hari-hari besar itu masih bisa ditunda,” ungkapnya.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif