Soloraya
Jumat, 4 Juli 2014 - 09:02 WIB

Demi Rp50.000, Buruh Sragen Mengadu Nasib ke Gondangrejo Karanganyar

Redaksi Solopos.com  /  Rini Yustiningsih  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Lahan tebu di Karanganyar (Dol/JIBI/Solopos)

Solopos.com, SRAGEN—Sejumlah buruh serabutan asal Sragen mengadu nasib menjadi buruh tebas pertanian tebu di Desa Dayu, Gondangrejo, Karanganyar, Kamis (3/7/2014). Selama sepuluh hari, mereka ditugasi memanen tebu berusia tiga bulan di lahan seluas 1,5 hektare. Jika berhasil mendapatkan enam ton setiap satu kali angkut, per orang mendapatkan upah senilai Rp50.000.

“Satu angkatan atau satu rit, kami dibayar Rp50.000 per orang. Satu rit itu kira-kira 6 ton. Lahan seluas 1,5 hektar bisa dapat 30 ton,” terang salah seorang buruh tebas, Endar, 40, ditemui Solopos.com di sela aktivitas, Kamis. Bersama dengan lima orang temannya, ia indekost di salah satu rumah penduduk untuk menyelesaikan garapan.

Advertisement

“Terkadang kami beradu nasib kalau dalam 1,5 hektare itu ternyata hasilnya tidak sesuai harapan. Upahnya bisa dikurangi. Bisa jadi kami hanya menerima Rp30.000 per satu rit,” imbuhnya. Sebelum ke Gondangrejo, enam sekawan asal Tangen itu menyelesaikan lahan garapan di wilayah Bukuran, Kalijambe, Sragen. Mereka bekerja mulai pukul 06.00 WIB hingga pukul 16.00 WIB.

“Kemungkinan selama beberapa hari kami masih mendapat garapan lahan di Gondangrejo. Karena untuk lokalan Sragen belum bisa kami panen, lantaran jalannya baru selesai dibenahi,”: ungkapnya.

Musim tebang tebu di bulan-bulan ini, sambung dia, memaksanya harus berjauhan dari keluarga. Menurutnya, biaya transport tak sepadan dengan upah harian.

Advertisement

“Kalau dipakai beli bensin, pasti tidak akan cukup. Hitungannya sehari antara Rp30.000 hingga Rp50.000 bisa habis di jalan. Padahal satu kali garapan, meleset-melesetnya kami hanya memperoleh Rp300.000,” imbuh Endar.

Buruh tebas lain, Karno, 30, mengatakan truk penjemput tebu biasanya tiba sekitar pukul 10.00 WIB. Selain bertugas menebas, mereka juga diharuskan mengikat tebu dan mengangkatnya ke truk pengangkut. “Kami bertugas borongan kalau ada yang menawarkan garapan. Sama-sama satu kampung, jadi kami bebannya tidak terasa, karena ditanggung bersama,” tandas dia.

Advertisement
Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif