Jogja
Rabu, 25 Juni 2014 - 11:44 WIB

2015, Gendangsari Bebas Pernikahan Dini

Redaksi Solopos.com  /  Mediani Dyah Natalia  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Suasana evaluasi deklarasi pencegahan pernikahan dini di Kecamatan Gedangsari, Gunungkidul. (David Kurniawan/JIBI/Harian Jogja)

Harianjogja.com, GUNUNGKIDUL-Berupaya menekan angka pernikahan dini, warga Kecamatan Gedangsari, Gunungkidul sepakat mengeluarkan Deklarasi Pernikahan Dini.

Kecamatan Gedangsari termasuk salah satu kecamatan dengan kantong kemiskinan tertinggi di wilayah Gunungkidul. Kendati demikian, warga dan berbagai pihak terkait berupaya menekan kemiskinan secara aktif. Salah satu yang menjadi konsen di Kecamatan Gedangsari adalah mengurangi angka pernikahan dini. Berdasarkan data pengadilan agama (PA) Gunungkidul angka pernikahan dini terus mengalami peningkatan tiap tahunnya. Hal ini bisa dilihat sejak 2009 lalu, waktu itu kasus pengajuan dispensasi pernikahan 60 kasus, tapi di akhir 2013 meningkat dua kali lipat menjadi 161 kasus pernikahan dini.

Advertisement

Upaya dan komitmen bersama semua pihak diwujudkan dalam deklarasi Dukuh se-Kecamatan Gedangsari untuk mengurangi terjadinya pernikahan anak di usia dini. Indikasi kuat ini tertuang dalam program “2015, Gedangsari Bebas Kasus Pernikahan Dini”.

“Kami sangat mendukung gerakan ini, karena ini penting terutama untuk memberikan pendidikan anak serta melakukan pernikahan setelah benar-benar matang dari sisi usia atau kesiapan,” kata tokoh masyarakat di Desa Hargomulyo, Suparjo, Selasa (24/6/2014).

Menurut dia, 67 kepala dusun di Kecamatan Gedangsari sepakat untuk mendeklarasikan kampanye anti pernikahan dini itu. Hasilnya, setengah tahun ini, dari 49 kasus pengajuan dispensasi nikah di Gunungkidul, di Kecamatan Gedangsari, ada dua kasus.

Advertisement

Camat Gedangsari, Muhammad Setyawan Indrianto berpendapat, selain pasangan tersebut hamil terlebih dahulu, ada beberapa faktor menyebabkan terjadinya perkawinan dini. Di antaranya, adanya pandangan keliru dimasyarakat, terutama untuk anak perempuan, bahwa saat dilamar, ada ketakutan dari orang tua, bila menolak lamaran itu, maka sang anak akan menjadi perawan tua atau akan sulit menikah.

“Faktor lainnya adalah keadaan eknomi. Seperti yang terjadi di Dukuh Trembono, Desa Tegalrejo, orang tua memaksakan anak gadisnya untuk menikah. Padahal dari sisi usia, ia masih belia. Untung saja, Pak Dusunnya tanggap dan memberikan nasehat, akhirnya pernikahan itu diundur, hingga si anak gadis benar-benar matang. Sekolah yes, pernikahan dino no. Lebih baik sekolah dulu, baru memikirkan pernikahan saat sudah matang, baik dari sisi materi maupun usia,” katanya.

 

Advertisement

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif