Soloraya
Jumat, 25 April 2014 - 06:20 WIB

KISAH SUKSES CALEG : Bermodal Gotong-royong Buahkan Kursi di DPRD Solo

Redaksi Solopos.com  /  Anik Sulistyawati  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Wawanto di rumahnya (JIBI/Solopos/Tri Rahayu)

Solopos.com, SOLO–Angin bertiup mengibarkan bendera partai berlambang banteng moncong putih di atas pohon mangga. Bendera itu seolah menggambar kemenangan perjuangan seorang calon anggota legislatif (caleg) yang tinggal di rumah sederhana di dekat pohon itu. Ya, caleg asal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu tidak lain Wawanto.

Di teras rumah bercat hijau daun itu terlihat sosok lelaki berkemeja merah tengah santai duduk di kursi. Pria yang dikenal sebagai Ketua RT 011/RW 020 Kampung Bayan Krajan, Kadipiro, Banjarsari, Solo itu tampak asyik membaca koran Solopos sendirian. Dua buah kerai menjadi penutup teras di sisi timur dan utara. Dengan kerai itulah teras rumah yang menghadap ke matahari terbit itu disulap menjadi ruang tamu.

Advertisement

Meskipun rumah Ketua RT, tak ada yang istimewa di rumah itu. Pagar halaman pun nyaris tidak ada. Langit-langit rumah juga tak ada. Bahkan lantai rumah masih terbuat dari acian semen. Sekilas rumah yang dihuni sepasang suami istri dan dua anak laki-laki itu tak menunjukkan rumah seorang calon penghuni Gedung DPRD Solo.

Di tempat itulah, pria berkumis itu pun berkisah tentang perjuangannya untuk mendapatkan kursi di Gedung Dewan Karangasem. Kemauannya menjadi caleg terdorong oleh semangat yang selalu diberikan para pengurus ranting PDIP Kadipiro. Mereka menghendaki Kelurahan Kadipiro yang terdiri atas 147 tempat pemungutan suara (TPS) itu memiliki wakil di parlemen. Hanya sosok Sekretaris Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan (LPMK) Kadipiro itulah yang digadang-gadang jadi wakil mereka.

“Saya tidak mau mencalonkan diri. Kalau dicalonkan PDIP saya mau. Kalau dicalonkan kan ada pendukungnya. Kadipiro ini kelurahan paling besar di Solo. Selama ini hanya menjadi daerah operasi caleg. Dari keprihatinan itu, saya berani menerima tawaran ranting PDIP,” ujar Wawanto saat ditemui Espos di kediamannya, Jl. Samudra Pasai Bayan Krajan, Kadipiro, Rabu (23/4/2014) sore.

Advertisement

Bukan kali ini saja Wawanto menjadi caleg. Pileg 2009, ia pernah berkompetisi mendapatkan suara terbanyak. Sejak Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan Daftar Caleg Tetap (DCT), enam bulan lalu, Wawanto mulai bergerak. Ia memilih 100 sukarelawan sebagai tim suksesnya. “Mereka saya kumpulkan dan saya tanya. Mau tidak memenangkan saya tanpa imbalan apa pun? Ternyata mereka sanggup,” imbuh caleg nomor urut 6 untuk Daerah Pemilihan (Dapil) Kadipiro-Nurukan itu.

Sukarelawan tim sukses Wawanto tidak lain pengurus ranting, anak ranting, dan tokoh masyarakat di Kadipiro. Sebagai ketua RT, Wawanto juga cukup dekat dengan ratusan ketua RT di Kadipiro. Jaringan yang luas itu memudahkan Wawanto untuk bersosialisasi. Untuk mengenalkan diri, anak purnawirawan TNI itu hanya membuat 500 lembar banner alat peraga kampanye (APK).

“500 lembar APK itu tidak pesan sekaligus, tetapi dipesan 20 kali. Sekali pesan 20-30 lembar saja. Bahkan pesannya by request. Artinya, kalau ada yang butuh baru dipesankan. Maklum uang terbatas. Yang pesan pun kadang teman-teman juga dengan uang patungan mereka. Pokoknya yang ada uang dulu yang bayar,” jelasnya.

Advertisement

Wawanto hanya mengandalkan gotong-royong teman-temannya, mengingat pendapatannya sebagai pedagang ikan di Pasar Gede hanya pas-pasan. Wawanto hanya mengeluarkan uang untuk pesan 1.000 buah kaus senilai Rp15.500/kaus. Pemesanan kaus pun dilakukan dengan sistem mencicil yang diambilkan dari laba penjualan ikan segar. “Praktis saya mengeluarkan Rp50 juta. Setiap hari mengeluarkan uang berapa itu yang dicatat selama enam bulan terakhir dan ternyata ditotal ada Rp50 juta itu,” tuturnya.

Wawanto tak pasang target. Prinsipnya, ia hanya mencari suara sebanyak-banyaknya. Dengan perolehan 1.409 suara membuat Wawanto bisa mendapatkan kursi keempat PDIP di Dapil Kadipiro-Nusukan. Namun, perolehan suara itu tidaklah mudah. Wawanto menghadapi tekanan yang sungguh berat, terutama berkaitan dengan praktik politik transaksional yang sedemikian vulgar. Dia mengaku hampir 80% masyarakat yang ditemuinya meminta ganti materi atas dukungan mereka.

“Ketika saya sosialisasi di rapat RT, pasti yang ditanyakan mau ngasih bantuan apa. Selain itu, ada yang bilang kalau jadi paling lupa dan akhirnya korupsi. Stigma itu yang ingin saya ubah. Makanya saya tekankan dalam setiap sosialisasi. Saya datang untuk meminta sangu berupa aspirasi masyarakat dan tidak bisa memberi apa-apa,” akunya.

Bukan hanya kendala di lapangan, Wawanto juga menghadapi tekanan dari para saudaranya yang tidak menginginkannya menjadi caleg. Wawanto merupakan bungsu dari tujuh bersaudara dan dia satu-satunya yang terjun di dunia politik. Dia hanya menjalankan pesan ayahnya Nyono Sutowiyono. “Le, urip pisan iku supaya bisa berguna untuk masyarakat. Punya pikiran ya sumbangkan. Punya tenaga ya sumbangkan. Suatu ketika keinginanmu akan tercapai. Begitu pesan Bapak yang selalu saya ingat,” kisah laki-laki kelahiran Buleleng, 28 Februari 1969 itu.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif