Kolom
Senin, 6 Mei 2024 - 11:51 WIB

Percakapan

Redaksi Solopos.com  /  Ayu Prawitasari  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Ayu Prawitasari (Istimewa/Dokumen pribadi).

Solopos.com, SOLO—Dari teras, telinga saya menangkap bunyi air hujan yang jatuh membasahi daun, tanah, dan atap-atap rumah. Pukul 22.00 WIB lebih mungkin, saya tak begitu memperhatikan.

Pandangan mata saya lantas jatuh pada daun-daun pohon mangga di depan rumah yang bergoyang tak begitu kencang, menyesuaikan diri dengan gerakan angin dan air yang menimpanya. Ranting dan daun-daun jambu di depan rumah tetangga juga, tak ada satu pun yang tak terlibat dalam percakapan itu – semuanya bergerak pelan, merespons datangnya hujan. Pun, semak-semak maupun segala tanaman yang saya tanam di depan rumah, semua mengikuti gerakan kawan-kawan mereka.

Advertisement

Hari itu, tanah juga tak mau diam walau tentu saja saya tak bisa melihat bagaimana gerakannya. Saya hanya melihat tanah dengan senang hati menyerap air yang terus jatuh padanya dengan cepat sambil membiarkan lainnya mengalir begitu saja atau menuju selokan yang nyaris penuh.

Air terus bergerak, tidak ada yang diam di tempat. Malam itu saya melihat gerak kehidupan alam di sekitar rumah saya begitu aktif dan ramai.

Hujan menciptakan kemeriahan di malam yang biasanya sepi. Tidak seperti hujan pada malam-malam sebelumnya, malam itu hujan tidak lebat, meski juga bukan gerimis, sehingga saya bisa berdiri di dekat pagar yang tertutup atap tanpa takut terkena tampiasnya.

Advertisement

Di sela-sela air yang jatuh, saya melihat kilasan kilat yang beberapa kali datang menyapa langit gelap lalu bunyi gemuruh guntur yang cepat-cepat menjawabnya. Saya tersenyum kecut ketika memikirkan apa yang mereka bahas.

Keriuhan alam di depan saya yang biasanya tenang menimbulkan rasa takjub dan mengerikan sekaligus. Saya tak bisa membayangkan apabila saya berada di tengah hutan atau di pegunungan, bagaimana rasa yang akan menghampiri saya ketika melihat alam yang lebih megah itu saling bersahut-sahutan dalam percakapan tanpa putus.

Percakapan kecil mereka saja (yang berlangsung di depan rumah) sudah membuat saya kelu. Lidah saya yang atraktif itu kini beristirahat dengan baik. Dengan memilih mendengarkan dan melihat secara sungguh-sungguh yang terjadi, hati saya terus memikirkan dan merasakan konser alam di depan saya. Bukan hanya merasa kecil, namun entah kenapa saya merasa tiba-tiba begitu terkucil. Itu karena saya merasa tak bisa ikut ambil bagian dalam percakapan mereka.
Sebaliknya, saya biasanya justru menghindar ke dalam rumah yang dingin-hangat di mana pengatur suhu udara saya setel di angka 20. Saya rasa bukan hanya saya yang merasa terkucil dengan percakapan itu.

Segala tanaman hias yang berjajar di beranda beratap mungkin merasakan hal yang sama. Begitu pun burung-burung dalam sangkar di depan rumah para tetangga. Mereka hanya diam seperti saya: entah melamun, entah tidur, atau sedang dibuat takjub dengan alam, tempat mereka seharusnya berbaur!

Advertisement

Pagar memberi batasan yang jelas pada apa yang disebut alam dan pada apa yang disebut sosial. Beberapa hewan dan tanaman menjadi anomali ketika manusia seret ke dalam pagar hingga saya melihat kondisinya menjadi begitu pasif ketika hujan turun malam itu.

Keterkucilan. Kata inilah yang terparkir di kepala saya. Percakapan-percakapan alam dan percakapan sosial.

Hujan tidak selalu bersahabat dengan saya seperti hujan yang datang pada malam yang hangat itu dan beberapa malam lainnya. Bahkan seringkali kami dalam situasi tak bersahabat.

Saat tak berada di rumah melainkan di jalanan, apalagi di motor yang sedang melaju, saya nyaris tak pernah mendengarkan hujan apalagi menyimak percakapan alam sekitar. Sebaliknya, saya selalu sibuk bercakap-cakap dengan diri sendiri: mengomel, mengeluh, dan memaki spontan ketika ban motor melewati lubang jalan yang tertutup air atau mobil di samping saya melaju kencang hingga membuat bagian bawah celana saya basah.

Advertisement

Andai saya bisa melihat bagaimana rupa telinga hujan, mungkin warnanya mirip dengan daging rebus setelah mendengar segala keluhan dan penilaian saya. Dan bukan hanya saat hujan kalau saya ingat-ingat bagaimana dialog antara saya yang sangat sosial ini dengan alam nyaris tak pernah harmonis.

Sebenarnya, deretan respons berupa omelan, keluhan, dan makian itu jauh lebih berisik ketika siang hari. Panas yang menyengat menyebabkan gerutuan saya makin panjang, keluhan saya makin kacau, dan makian saya menjadi lagu rap yang buruk. Apalagi jika situasi itu ditambah dengan lalu lintas macet atau lampu merah menyala hingga saya harus terjebak di bawah langit yang rasanya berpijar hingga membuat kulit saya kesakitan.

Saat itu, saya merasa alam sedang sangat marah pada saya dan saya pun marah padanya. Begitulah dialog kami berlangsung.

Baca Juga: Mantra Storynomics

Advertisement

Pada siang hari, impian saya (yang selalu menjadi impian) adalah melewati kawasan Laweyan, Solo, khususnya di seputaran pusat batik, di mana pohon-pohon besar yang berjajar di pinggir jalan benar-benar melindungi kulit saya dari sensasi seperti digigit belasan semut.

Saya bayangkan kehidupan para pohon di sana adalah kehidupan sosial yang sehat sehingga saya yang melewatinya ikut merasakan sehatnya.
Sayangnya Laweyan tidak termasuk rute saya. Sebaliknya, setiap hari yang harus saya lewati adalah kawasan Nusukan di mana pembangunan rel layang dan underpass berlangsung hingga saat ini.

Sampai di Pasar Nusukan hingga Patung Keris, pohon besar bisa dihitung dengan jari. Ketika mulai memikirkan kelangkaan pohon ini dengan serius barulah saya menyadari perihal betapa buruk kehidupan sosial pohon-pohon di wilayah ini.

Tanah yang kering dan berapa banyak pohon yang ditebang, berganti menjadi bangunan batu bata pertokoan yang berjejal menciptakan kehidupan sosial yang buruk bagi pepohonan. Panas yang saya rasakan adalah kata-kata yang mereka sampaikan kepada saya dan orang-orang yang melintas perihal betapa kesepian dan gersangnya mereka.

Omelan saya juga omelan mereka. Sayangnya, wilayah gersang seperti Nusukan ini tidak hanya satu melainkan banyak dan makin lama juga makin bertambah. Jadi, sudah begitu berubahkan dialog antara manusia dengan alam? Saya mulai memikirkan tentang perubahan itu dan entah kenapa lama-kelamaan saya justru merasa pertanyaan saya kurang tepat.

Hati kecil saya mengatakan metafora perubahan mengantarkan saya pada cara pandang yang (menurut saya) keliru seolah manusia dan alam masih dalam satu irama meski sama-sama berubah. Penyebab perasaan terkucil yang saya rasakan saat hujan pelan-pelan menemukan jawabannya bahwa yang terjadi di sekitar saya bukan lagi perubahan komunikasi, bukan lagi perubahan alam, melainkan komunikasi yang buntu antara kedua belah pihak – sebuah krisis alam.
Alam yang tua makin meneguhkan posisinya yang inferior, sedangkan manusia makin superior.

Advertisement

Sederhananya seperti kita yang lama-lama menjadi tua maka kita akan menjadi orang tua yang meneguhkan versi muda kita. Menjadi tua bukan berarti kita punya karakter baru sebagai orang tua – tidak ada karakter baru – melainkan justru meneguhkan karakter di masa lalu.

Jika Anda orang kritis maka wajah tua Anda bisa jadi sebagai orang dengan mulut tajam yang meresahkan, jika Anda orang perfeksionis, Anda mungkin akan dikenal sebagai pengomel dan penuntut, jika Anda orang yang bersemangat mencapai tujuan, maka Anda mungkin akan dikenali sebagai orang sulit yang banyak maunya.

Begitu pun jika kita dididik menjadi orang yang serakah dan tak pernah puas, maka di masa tua kita tidak akan berubah menjadi orang yang dermawan dan secukupnya saja. Malam makin larut saat dialog hujan dengan kawan-kawannya terbawa dalam mimpi dan memberikan saya kegelisahan baru.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 6 Mei 2024. Penulis adalah wartawan Solopos Media Group)

 

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif