Bisnis
Jumat, 3 Mei 2024 - 07:46 WIB

Hadapi Fenomena Sell in May, Ini Rekomendasi Saham-saham Potensial dari Analis

Redaksi Solopos.com  /  Anik Sulistyawati  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Ilustrasi jual beli saham. (Freepik.com)

Solopos.com, JAKARTA — Memasuki bulan Mei 2024, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) disebut berisiko melemah karena dibayangi tekanan jual seiring dengan adanya fenomena Sell in May and Go Away.

Analis pun merekomendasikan beberapa saham potensial seperti CUAN, NCKL hingga BBRI. Fenomena Sell in May and Go Away mengacu pada strategi investor yang mengurangi porsi saham pada bulan Mei.

Advertisement

Tren tersebut umumnya diramaikan oleh aksi investor asing yang meninggalkan pasar saham untuk pergi berlibur selama musim panas, lalu masuk kembali ke pasar saham pada November.

Senior Vice President, Head of Retail, Product Research & Distribution Division Henan Putihrai Asset Management, Reza Fahmi Riawan mengatakan, secara historis IHSG menunjukkan bahwa tren Sell in May and go away tidak selalu berlaku. Dalam 20 tahun terakhir, IHSG lebih sering menguat selama Mei, dengan 11 kali naik dan 9 kali turun.

“Namun, dalam 5 tahun terakhir, kecenderungan IHSG untuk melemah selama Mei mulai terlihat. Oleh karena itu, meskipun IHSG telah melemah secara ytd, tidak dapat dipastikan apakah tren ini akan berlanjut di bulan Mei,” ujar Reza kepada Bisnis, dikutip Kamis, (2/5/2024) seperti dilansir Bisnis.com.

Advertisement

Menurutnya, beberapa sentimen yang perlu dicermati pada pasar saham yaitu pertumbuhan ekonomi global, kebijakan moneter, dan perdagangan internasional. Pasalnya, IHSG juga dipengaruhi sentimen The Fed yang menahan suku bunga acuan di level 5,25%-5,5% pada FOMC 1 Mei 2024.

Investor juga perlu mengamati kondisi ekonomi domestik seperti pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan kebijakan pemerintah. Selain itu, mencermati kinerja emiten-emiten di Bursa Efek Indonesia (BEI) seperti laba rugi, pertumbuhan pendapatan, dan proyeksi masa depan.

Sejarah Sell in May and Go Away

Vice President Corporate Finance Institute (CFI) Andrew Loo menjelaskan, jika investor mengikuti strategi Sell in May and Go Away, mereka menjual saham pada awal Mei, atau selama akhir musim semi, dan hasilnya disimpan dalam bentuk tunai. Kemudian, para investor akan berinvestasi lagi pada November, atau di akhir musim gugur.

Dengan mengikuti strategi ini, investor akan menghindari memegang saham selama bulan-bulan musim panas. Istilah tersebut awalnya berasal dari sebuah pepatah kuno di Inggris yang berbunyi: “Sell in May and go away, and come back on St. Leger’s Day” yang mengacu pada arena balap atau pacuan kuda.

Advertisement

Pepatah tersebut biasa dilontarkan di antara para pedagang, bangsawan, dan bankir di kota London ini sebetulnya merujuk pada kebiasaan mereka yang suka meninggalkan kota selama berbulan-bulan sepanjang musim panas untuk kemudian kembali pada pertengahan September untuk menonton gelaran pacuan kuda, St. Leger’s Day, di arena balap Doncaster, South Yorkshire. Andrew Loo mengatakan, salah satu alternatif untuk Sell in May and Go Away yang direkomendasikan oleh para analis adalah dengan merotasi dan memvariasikan portofolio daripada menjual investasi di bulan Mei.

“Alternatif lainnya bagi investor yang memiliki tujuan jangka panjang adalah dengan membeli dan menahan investasi atau tidak menjual investasinya di musim semi, namun tetap mempertahankan investasi tersebut dalam portofolio,” ujar Andrew dikutip dari laman resmi CFI Kamis (2/5/2024).

Menurutnya, data historis secara umum mendukung pepatah Sell in May and Go Away selama bertahun-tahun dan sejak 1945. Indeks S&P 500 telah mencatat kenaikan rata-rata kumulatif enam bulan sebesar 6,7% pada periode antara November hingga April, dibandingkan dengan kenaikan rata-rata sekitar 2% antara Mei dan Oktober.

Selain itu, S&P 500 biasanya menghasilkan imbal hasil positif sekitar dua pertiga dari periode Mei hingga Oktober, sementara persentase tersebut meningkat menjadi 77% dari November hingga April.

Advertisement

Sebelumnya,  IHSG Bursa Efek Indonesia (BEI) pada Kamis (2/5/2024) sore ditutup melemah dipimpin oleh saham-saham sektor keuangan.

IHSG ditutup melemah 116,78 poin atau 1,61 persen ke posisi 7.117,41, sementara kelompok 45 saham unggulan atau indeks LQ45 turun 27,97 poin atau 3,02 persen ke posisi 898,75.

“Bursa Asia bergerak mixed (variatif) lantaran pasar tampaknya ragu dengan langkah The Fed ke depan. Pada hari ini The Fed memutuskan untuk tidak menaikkan ataupun tidak menurunkan suku bunganya,” sebut Tim Riset Pilarmas Investindo Sekuritas dalam kajiannya di Jakarta, Kamis.

Presiden The Fed Jerome Powell menyebut bahwa dibutuhkan waktu lebih lama dari perkiraan untuk lebih yakin tentang pengembalian inflasi ke target 2 persen, namun di sisi lain, The Fed tampaknya menutup kemungkinan untuk kenaikan suku bunga pada tahun ini.

Advertisement

Selain itu, The Fed pada pertemuan kemarin juga mengumumkan untuk memperlambat pembelian aset, sehingga mengindikasikan bahwa The Fed masih berkomitmen terhadap higher for longer.

Dari dalam negeri, indeks PMI Manufaktur Indonesia pada April 2024 tercatat sebesar 52,9 poin atau turun dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 54,2 poin, namun masih dalam zona ekspansi atau di atas 50 poin.

Sementara itu, inflasi inti periode April 2024 turun 1,77 persen year on year (yoy) menjadi 1,82 persen, namun inflasi periode April 2024 menurun tipis dari awalnya 3,05 persen (yoy) menjadi 3,00 persen (yoy).

Berdasarkan Indeks Sektoral IDX-IC, dua sektor meningkat dipimpin sektor kesehatan yang naik 0,12 persen, diikuti sektor industri yang naik sebesar 0,11 persen.

Sedangkan sembilan sektor terkoreksi yaitu sektor keuangan turun paling dalam, minus 2,78 persen, diikuti sektor transportasi & logistik dan sektor barang konsumen non primer yang masing-masing minus 2,02 persen dan 1,75 persen.

Saham-saham yang menguat terbesar yaitu TRGU, NASI, MSKY, OKAS dan MHKI. Sedangkan saham-saham yang mengalami pelemahan terbesar yakni ATLA, ZINC, SMDR, MAPI dan BMRI.

Advertisement

Frekuensi perdagangan saham tercatat sebanyak 1.289.900 kali transaksi dengan jumlah saham yang diperdagangkan sebanyak 19,27 miliar lembar saham senilai Rp16,78 triliun. Sebanyak 187 saham naik, 405 saham menurun, dan 178 tidak bergerak nilainya.

Disclaimer: Berita ini tidak bertujuan mengajak membeli atau menjual saham. Keputusan investasi sepenuhnya ada di tangan pembaca. Solopos.com tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan investasi pembaca.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif