Soloraya
Sabtu, 19 April 2014 - 14:29 WIB

GAGASAN : Kota Informatif Bermuka Dua

Redaksi Solopos.com  /  Is Ariyanto  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Ridha al Qadri, Alumnus Kajian Budaya dan Media Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Dosen luar biasa di Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia

Dinamika kota tidak lepas dari proses perencanaan, pengembangan, dan pembangunan; baik ekonomi, sosial, dan politik. Sedangkan pengembangan kota tidak hanya berlangsung secara fisik, sebab hal-hal yang menopangnya sering kali bukan unsur-unsur material, melainkan juga aspek-aspek nonfisik.

Advertisement

Sebagaimana kita lihat sejak 2011 hingga 2014, yang pertama kali dipelopori Kota Solo dengan program cyber city, kota-kota di Indonesia serentak menyediakan hotspot sebagai sarana teknologi informasi (Internet) untuk menunjang pembangunan fisik dan nonfisik wilayah.

Tempat-tempat publik seperti taman, jalan kota, ruang pendidikan, area pelayanan publik, dan tempat wisata, disediakan fasilitas Internet gratis oleh pemerintah dan sponsor. Dengan hadirnya hotspot gratis, dinamika pembangunan kota diharapkan mengikuti kebutuhan informasi dan komunikasi global.

Di samping itu, ketertinggalan dengan kota-kota besar di negara lain, seperti Dubai dan Singapura, agaknya memaksa kota-kota di Indonesia mengejar pembangunan “infrastruktur kognitif” di wilayah.

Advertisement

 

Industri ke Informasi

Kita melihat kota-kota di Indonesia mulai digerakkan oleh determinasi teknologi informasi. Dalam istilah yang diramalkan Manuel Castells sebagai “kota informaif” (informational city) (1988), jauh sebelum Internet muncul, pembangunan kota yang dulunya bersandar pada industri material mulai dikuasai mode komunikasi dan informasi.

Kini, tiap kota harus menyediakan jaringan informasi untuk menopang dan mengikuti perilaku ekonomi dan ekspresi global kehidupan masyarakatnya. Determinasi teknologi informasi ini telah memaksa kota menjadi cyber cities.

Advertisement

Gejala ini merupakan bentuk konvergensi antara perkembangan teknologi dan pengembangan sosial (ekonomi, organisasi, dan pembangunan). Perkembangan teknologi informasi dianggap menjadi solusi untuk efektivitas produksi, konsumsi, distribusi, dan manajemen, dalam sistem kapitalisme.

Informasi menjadi bersifat ekonomis. Hal tersebut menimbulkan bentuk-bentuk dan cara-cara baru dalam bidang ekonomi masyarakat kota. Di satu sisi, pelaku industri informasi diuntungkan dengan besarnya kebutuhan penggunaan Internet.

Di lain sisi, peluang bisnis masyarakat semakin terbuka dan luas, karena semua bentuk ekonomi dapat menggunakan teknologi informasi sebagai sarana dan saluran promosi. Inilah ekonomi baru (new economy), bentuk-bentuk mencari untung yang bersandar pada prinsip informasionalisme, globalisme, dan berjaringan.

Tidak hanya ekonomi, semua aspek sosial di kota mengalami perubahan radikal dengan keberadaan Internet. Kemampuan mengakses informasi dari seluruh dunia tanpa harus bergerak secara fisik mengakibatkan berkurangnya interaksi sosial antarmasyarakat.

Advertisement

Sensitivitas atas tempat menjadi berkurang, beralih ke sensitivitas virtual. Faktor inilah yang sepertinya juga menjadi salah satu sebab pemerintah kota merasa perlu menyediakan fasilitas hotspot. Keberadaan hotspot gratis di ruang-ruang publik diharapkan memancing interaksi sosial secara fisik di ruang-ruang perkotaan.

Persoalannya, bagaimanakah pemerintah menggerakan masyarakat kota ke dalam interaksi sosial di lingkungan perkotaan? Dalam kalimat Manuell Castells, bagaimanakah “politik kota mampu menggerakkan warga di sekitar lingkungan (kota)?”

Masalahnya, masyarakat kota dalam teknologi informasi ini tak lagi sepenuhnya dikendalikan kekuasaan tunggal yang terpusat dari atas. Pemerintah tak lagi sanggup menguasai masyarakat informatif global karena jaringan dan arus informasi di Internet hampir mustahil diawasi pemerintah.

Pelbagai pusat kekuasaan muncul dari mana saja. Inilah suatu gambaran tentang “ruang arus” (space of flows) menurut Castells. Ia mengatakan arus yang jamak, flows, yakni arus ekonomi, informasi, dan kuasa, yang berasal dan mengalir ke segala arah.

Advertisement

Di sinilah mulai muncul pula kategori kedua atas ruang, yakni setelah ruang geografis (space of places), muncul “ruang arus” (ekonomi, informasi, kuasa). Kota modern yang menyediakan sarana teknologi informasi, niscaya menjadi kota dalam dualitas sistem ruang yang berbeda.

Akan tetapi, ”ruang arus” perlahan-lahan telah mengambil alih kendali atas ruang geografis. Kuasa space of flows tercermin dari kebutuhan penyediaan hotspot di kota. Tanpa fasilitas tersebut, aktivitas dan dinamika masyarakat kota sekarang ini akan dianggap statis. Bahkan, hotspot sebagai perluasan ”ruang arus” tersebut mulai merestrukturalisasi unsur-unsur sosio-ekonomi di seluruh dunia.

 

Kota Berpengetahuan

Hotspot disediakan di tempat-tempat khusus yang sebenarnya menjadi kepentingan kalangan profesional. Kebutuhan informasi dalam ruang pendidikan, tempat wisata, taman kota, kampus, area pemerintah, hingga kompleks pelayanan publik lainnya, adalah tempat-tempat yang lebih banyak diakses masyarakat yang sangat berkepentingan dengan informasi.

Masyarakat informatif tersebut adalah kelas-kelas sosial yang lebih akrab dan wajib melakukan aktivitas berjaringan Internet untuk menunjang pekerjaan, bisnis, pendidikan, sosialitas, dan pengetahuan. Relasi berjaringan untuk saling mengakses dan menyebar informasi lebih dibutuhkan kalangan masyarakat ini.

Advertisement

Di samping itu, kelas-kelas sosial yang lebih bersifat profesional, organisasi, dan manajemen, tak akan sanggup mengelak dari kebutuhan teknologi informasi ini. Siswa-siswa di sekolah sudah banyak yang diwajibkan mencari informasi di Internet. Kebutuhan-kebutuhan menunjang pekerjaan pun sangat sering disediakan di Internet.

Castell menyebut semua itu sebagai ”mode pengembangan informatif” (informational mode of development). Pembangunan kota yang menyandarkan teknologi informasi sebagai salah satu pilar sedang berada pada tranformasi sosial yang merestrukturisasi elemen-elemen organisasi, ekonomi, dan teknologi.

Restrukturalisasi yang paling mencolok adalah keberadaan masyarakat informatif yang mendasarkan pengetahuan sebagai salah satu komoditas. Di Internet, pengetahuan informatif adalah barang dagangan yang diperjualbelikan meski pengguna Internet hampir tak sadar dengan itu.

Akibatnya, kemunculan masyarakat informatif tak bisa dihindari lagi. Pertama, kalangan yang lebih terlibat dengan penyediaan, pelayanan, dan produksi teknologi komunikasi dan informasi. Kalangan ini lebih banyak berada di balik layar. Kedua, kalangan masyarakat yang terkait sebagai prosumer (produksi dan konsumsi) dalam sirkuit komunikasi virtual.

Masyarakat industri sudah tak lagi dominan dalam tatanan sosial seperti ini. Perlahan-lahan, masyarakat informatif menyalip mereka dan mengambil alih kendali. Terlebih lagi, orang-orang kecil dan miskin di perkotaan tak akan pernah mampu memiliki alat, perangkat, dan modal untuk mengakses informasi di Internet.

Mereka ibarat bagian dari muka ganda wajah kota-kota yang makin berciri dual city, yang sebagian menumpuk kapital dan sebagian mengais-ngais rezeki dengan susah payah.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif