Soloraya
Rabu, 16 April 2014 - 13:13 WIB

GAGASAN : Satria dalam Kemenangan, Satria dalam Kekalahan

Redaksi Solopos.com  /  Is Ariyanto  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Taufiq Effendi birulangite@yahoo.co.id Penikmat sejarah, tinggal di Solo

Taufiq Effendi
birulangite@yahoo.co.id
Penikmat sejarah,
tinggal di Solo

Tahun 2014 menjadi titik pertautan waktu pelaksanaan pemilihan umum (pemilu) ke-11 sejak Indonesia merdeka. Beberapa catatan mulai bermunculan terkait pelaksanaan teknis sampai penghimpunan suara partai politik peserta pemilu.

Advertisement

Setiap membaca jejak ritus lima tahunan ini, catatan perihal konsensus nasional pada 1955 selalu hangat untuk diperbincangkan dan menjadi salah satu sandaran mengkaji aspek politik dan demokrasi di negeri ini.

Pada era 1955, di tengah kurun waktu yang disebut Herbert Feith (1981) sebagai masa meraba-raba, mengarungi lautan tak dikenal, mencari doktrin bagi Indonesia, eksperimen nasional pertama untuk menentukan 257 ”abdi masyarakat” di Dewan Perwakilan Rakyat dilaksanakan.

Sebagai akibat dari suasana revolusi yang belum sepenuhnya mendukung maka satu dekade setelah proklamasi kemerdekaan pemilu nasional perdana baru berhasil dilaksanakan. Ihwal pemilu nasional sebenarnya sudah diumumkan pada 5 Oktober 1945.

Advertisement

Satu tahun kemudian, pada 1946 diselenggarakan beberapa pemilihan dalam cakupan daerah yang dilaksanakan di wilayah Karesidenan Kediri dan Karesidenan Surakarta. Selain di Karesidenan Kediri dan Surakarta, pemilu daerah guna memilih Dewan Perwakilan Daerah juga pernah diselenggarakan di beberapa tempat.

Pada 1951 dan awal 1952 diselenggarakan pemilu daerah di Minahasa, Sangir Talaud, Makassar, dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Pengalaman pengalaman pemilu di daerah ini di kemudian hari berguna sebagai bekal pengalaman menggelar pemilu nasional.

Pemilu 1955 sering dianggap sebagai pemilu yang paling baik dalam sejarah perpolitikan Indonesia. Kendati melibatkan puluhan partai politik besar, hajatan demokrasi ini tidak sempat mengguncang stabilitas nasional.

Sebanyak 37.875.299 warga negara Indonesia (87,65 % dari total pemilih) menggunakan hak suara mereka. Urutan lima besar partai politik peraih suara dalam Pemilu 1955 adalah Partai Nasional Indonesia (PNI), Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi), Nahdlatul Ulama (NU), Partai Komunis Indonesia (PKI), dan Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII).

Advertisement

Sastrawan Taufiq Ismail di sebuah acara talk show berita di salah satu televisi pada 10 April 2014 lalu menggambarkan Pemilu 1955 sebagai pemilu yang heroik. Kampanye para kontestan pemilu selalu diikuti massa simpatisan. Kondisi kampanye, menurut Taufiq, bahkan terasa sangat tegang.

Ketika massa kader dan simpatisan beberapa partai politik berpapasan di tengah jalan, para mereka saling mengepalkan tangan ke udara, dan meneriakkan jargon partai masing-masing.  Uniknya, tak ada acara baku hantam karena tiap partai seakan memahami bahwa mereka saling berhadapan karena (sekadar) urusan pilihan politik.

Hal senada juga diungkapkan Eep Saefulloh Fatah (2004). Menurut Eep, selama 10 tahun sejak proklamasi kemerdekaan, masyarakat telah dibiasakan hidup dengan tradisi berbeda secara sehat, dewasa, serta belajar menjadi pemenang dan pecundang ”yang baik”. Pemilu 1955 juga mendapatkan perhatian khusus dari dunia internasional.

Taufiq Ismail menceritakan sebuah majalah asing memuji kesuksesan Pemilu 1955. Disebutkan ada sebuah negara yang masih muda, yang baru merdeka 10 tahun, telah berhasil melaksanakan pemilu untuk kali pertama dengan sukses. Hal ini memang cukup menjadi sorotan karena di beberapa negara yang baru merdeka, pemilu berjalan ricuh dan penuh bentrokan.

Advertisement

Melihat kondisi Indonesia yang kala itu sedang bereksperimen dengan demokrasi liberal lewat sistem kepartaian, Wilopo (1983) menyatakan bahwa persaingan antarpartai pada Pemilu 1955 berwujud saling serang untuk memenangkan kekuasaan dan sering kali mendapat sorotan tajam dari masyarakat luas.

Kritik dari partai lawan serta pers yang bebas bersuara memiliki posisi yang penting dalam percaturan politik. Realitas semacam ini membuat partai-partai politik merasa malu dan menahan diri jika hendak menjalankan praktik akal-akalan, manipulasi, atau penyelewengan.

 

Pemilu 1955 di Solo

Advertisement

Pada 29 September 1955, sebanyak 215 tempat pemungutan suara (TPS) di lima kecamatan dan 51 kelurahan di Solo dipenuhi warga yang hendak berpartisipasi dalam pemilu. Tiap TPS meladeni sekitar 400 orang-600 orang yang akan memberikan hak suara.

Di Solo, di tiap kecamatan dan kelurahan terjadi ”lomba suara tripartai”. PKI, PNI, dan Masyumi secara berurutan menduduki tiga besar perolehan suara. Salah satu surat kabar pada masa itu, Dwi Warna (1955), menceritakan sketsa Kota Solo pada hari pemungutan suara.

Kondisi Kota Solo pada saat hari pemungutan suara tampak lengang. Jalanan kota terlihat sepi. Pasar-pasar pun sepi karena warga lebih memilih bertumpah ruah di TPS sejak pukul 07.00 WIB. Belum adanya sistem antrean nomor membuat panitia di beberapa TPS lumayan kewalahan.

Perempuan yang membawa anak kecil serta warga lanjut usia mendapat “voor-rang” alias didahulukan. Saking ramainya akibat banyak warga yang datang, beberapa TPS menggelar tikar serta menyuguhkan minuman untuk menampung antusiasme warga. Tepat pukul 14.00 WIB sirene kota meraung-raung pertanda batas waktu pemungutan suara usai.

Pemilu 1955 di Solo juga diwarnai proses pemungutan suara ulang di salah satu TPS di Kelurahan Penumping, Kecamata Laweyan. Penyebabnya adalah terdapat puluhan pemilih tidak terdaftar, tetapi turut menggunakan hak suara. Kejadian tersebut mendorong Panitia Pemungutan Suara (PPS) menyelenggarakan pemungutan suara ulang.

Peristiwa unik juga terlihat di Sasanasumewa (Pagelaran) Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Sebanyak 400 orang tunawisma, yang tidak mendaftarkan diri sebagai pemilih, berkumpul, memasak, dan bersenang-senang di hari pemungutan suara.

Advertisement

Banyak yang menduga Sasanasumewa juga menjadi TPS, padahal keseluruhan tunawisma tersebut berkumpul untuk menghindari kecurigaan pihak berwajib apabila terjadi tindak kriminal terkait lingkungan yang sepi semasa pencoblosan surat suara.

 

Akses informasi perihal perolehan suara pemilu pada masa itu dapat diperoleh dari berbagai sumber di antaranya surat kabar, TPS, dan kantor-kantor partai politik. Belum adanya sistem penghitungan secanggih quick count membuat para jurnalis surat kabar melakukan penghitungan cepat secara manual dengan menyambangi TPS di tiap kecamatan setiap waktu.

Dari jerih payah para jurnalis inilah data perolehan suara teraktual mampu menghapus dahaga informasi masyarakat. Tidak mengherankan, kala itu surat kabar sempat menjadi rebutan karena laris terjual. Bahkan beberapa orang rela membeli surat kabar dengan harga Rp10 atau 20 kali lipat dari harga normal.

Tingkat antusiasme masyarakat pada masa itu menjadi bukti dari aksi partai-partai politik dalam memenangkan hati para pemilih. Meskipun ditandai oleh kompetisi antarpartai yang sengit, Pemilu 1955 diisi kreativitas dan karya orang-orang dari beragam partai politik yang pandai membangun konsensus dan kompromi.

Kemenangan dan kekalahan dipahami sebagai laku yang harus diterima dengan penuh legawa. Petuah singkat di harian Dwi Warna yang terbit pada 1955, perihal hasil pemilu, layak untuk ditulis dan ditelaah ulang: kalah atau menang, peliharalah! Satria dalam kemenangan; satria dalam kekalahan.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif