Soloraya
Jumat, 11 April 2014 - 16:52 WIB

GAGASAN : Iklan Politik (Islam) yang Tak Simpatik

Redaksi Solopos.com  /  Is Ariyanto  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Muhammad Milkhan
milkopolo@rocketmail.com
Alumnus Program Studi Muamalah
Fakultas Syari’ah
Institut Agama Islam Negeri
Surakarta
Bergiat di Bilik Literasi Solo

Gambar Kakbah yang mulia itu dikelilingi ratusan ribu manusia dari segala penjuru dunia. Mereka begitu khusyuk beribadah memuji nama Allah. Di bawah gambar tersebut disertakan terjemahan ayat Al-Qur’an yang pincang: Dan (ingatlah), ketika kami menjadikan rumah itu (Baitullah) tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman” (Q.S. Al-Baqarah 125).

Advertisement

Kemudian, di bawah terjemahan yang pincang tersebut tertulis kalimat ”Tanggal 9 coblos nomor 9, untuk Indonesia berkah”. Sebagai pelengkap dari iklan politik tersebut, di pojok kanan terpampang gambar partai dan nomor urutnya, disertai dengan kalimat di bawahnya ”rumah besar umat Islam”.

Iklan partai politik tersebut ada di halaman dua Harian Kompas edisi 2 April. Iklan tersebut menampilkan gambar asli Kakbah dan ratusan ribu umat Islam yang sedang khusyuk beribadah di Masjidil Haram. Belum cukup sampai di situ, untuk mengukuhkan identitas keislamannya, partai tersebut mencatut nama Allah dalam salah satu ayat Q.S. Al-Baqarah ayat 125.

Terjemahan ayat yang dijadikan tageline partai tersebut terkesan hanya memenggal kurang dari separuh terjemahan satu ayat saja, dan tidak ada penanda kode etik penulisan yang menunjukan ayat tersebut masih ada sambungannya.

Advertisement

Tentu ini akan membuat metode tafsir Alquran yang digunakan terkesan sembrono. Ini sangat berbahaya manakala penafsiran sebuah ayat hanya memenggal kata per kata.  Menggunakan ayat Alquran untuk urusan politik memang sangat rentan dengan konflik.

Tapi, bukan berarti penggunaan ayat Alquran ini merupakan tindakan yang salah, asalkan pencatutan dan penerjemahan ayat tidak dipelintir sedemikian rupa demi ambisi politik yang menggebu-gebu. Iklan poliltik dengan menampilkan ayat Alquran seakan-akan memberikan penegasan bahwa partai politik tersebut adalah partai politik yang berkitab suci.

Seolah ingin mengajak banyak orang untuk memilih partai yang tidak hanya mengandalkan visi dan misi semata, namun pilihlah partai yang memiliki kitab suci. Meskipun identitas keislaman tersebut hanya terbaca dari visualisasi lambang, bukan dari nama partainya, namun cukup jelas bahwa penggunaan lambang kiblat umat Islam tersebut sudah menjadi bukti otentik seolah-olah partai itu benar-benar partai Islami.

Penggunaan ayat Alquran dalam urusan politik juga pernah kita temui beberapa tahun lalu, ketika isu pengangkatan Megawati Soekarnoputri sebagai calon presiden mencuat. Ketika itu, banyak pihak dari kalangan Islam menolak Megawati menjadi pemimpin di negeri yang mayoritas warganya beragama Islam hanya karena Megawati adalah seorang perempuan.

Advertisement

Jurus penggunaan ayat Alquran untuk manuver politik oleh sebagian kelompok terbukti manjur, meskipun akhirnya Megawati menempati kursi kepresidenan juga. Namun, kontroversi ayat Alquran yang dijadikan dalih pengharaman memilih pemimpin perempuan meninggalkan tanda tanya besar. Benarkah perempuan dilarang menjadi pemimpin?

Kakbah di Arab Saudi adalah tempat mulia bagi umat Islam di seantero dunia. Kota Mekah tempat Kakbah berada disebut sebagai tempat suci bagi umat Islam. Setiap tahun, saat musim haji, jutaan orang muslim dari segala penjuru dunia hadir di Mekah untuk menunaikan ibadah haji demi penyempuarnaan keislaman mereka.

Ibadah haji merupakan salah satu rukun Islam yang mempunyai makna religius yang tinggi. Ibadah haji adalah penghayatan peran manusia sebagai hamba Allah dan khalifah di muka bumi. Manifestasi ini menjadi nyata ketika seorang menunaikan ibadah haji. Betapa kecilnya diri seseorang di antara jutaan muslim lainnya yang sama-sama sedang melakukan ibadah haji di Baitullah. Betapa kecil dan kerdilnya kuasa kita sebagai manusia dengan segala kemampuan yang kita miliki. Itu semua tidak ada artinya di hadapan Allah penguasa alam semesta.

Berbeda dengan Kakbah di Indonesia yang hanya sebatas lambang salah satu partai peserta pemilihan umum (pemilu). Kakbah di Indonesia hanyalah Kakbah tempat bernaungnya politikus-politikus yang konon merasa membawa aspirasi umat Islam di Indonesia. Kakbah di Indonesia adalah labirin yang menyalurkan hasrat kekuasaan bagi beberapa politikus semata.

Advertisement

 

Gulung Tikar

Kakbah di Masjidil Haram adalah rumah Allah yang dirindukan semua kaum muslim di dunia. Mereka ingin hadir di sana memenuhi panggilan Sang Khalik. Makna ini kemudian berubah ketika Kakbah dihadirkan di Indonesia. Dalam iklan politik di atas, gambar Kakbah diberi pengertian sebagai ”rumah besar umat Islam” bukan lagi ”rumah Allah” seperti pengertian Kakbah yang selama ini kita ketahui.

Degradasi makna Kakbah ini mungkin terjadi karena adanya kepentingan politik yang mencampuradukkan simbol-simbol agama secara serampangan tanpa melalui telaah mendalam. Kepentingan praktis politis ini juga membuat iklan tersebut terkesan asal mencomot ayat Alquran dan mengabaikan kaidah-kaidah dalam metode tafsir Alquran.

Advertisement

Dalam iklan politik di atas, Q.S. Al-Baqarah: 125 mengesankan bahwa Kakbah yang dimaksud adalah Partai Kakbah peserta pemilu di Indonesia. Oleh karena itu, bagi umat Islam yang menjadikan Kakbah sebagai kiblat ibadah, dianjurkan untuk memilih partai yang menggunakan Kakbah sebagai lambangnya.

Padahal terjemahan ayat Alquran yang digunakan untuk iklan politik di atas bahkan tidak lengkap. Masih ada terjemahan selanjutnya yang dipangkas begitu saja tanpa memberikan penanda kode baca, bahwa kalimat yang dikutip tersebut masih ada lanjutannya.

Selain kode etik penulisan yang diabaikan, politisisasi ayat Alquran dalam iklan politik di atas telah mengerdilkan makna ayat Alquran yang sesungguhnya. Sebagai umat Islam tentu kita prihatin melihat fenomena yang demikian. Partai politik yang bernapaskan Islam dan menggunakan simbol-simbol Islam sebagai daya tariknya, justru menempatkan Islam pada posisi yang salah kaprah.

Ketika Islam ditempatkan di wilayah politik semata, tentu tidak cukup hanya mengandalkan simbol-simbol Islam sebagai pola perekrutan massa. Namun, yang perlu ditekankan adalah substansi nilai-nilai Islam yang tertanam pada diri masing-masing pelaku politik. Emha Ainun Nadjib (1999) pernah mengingatkan kalau ada partai politik yang pilar perjuangannya adalah amar makruf nahi mungkar dan akhlaqul karimah maka secara substansial telah bersyahadat, telah Islam.

Dengan demikian, kalau ada partai politik yang memperjuangkan demokrasi, pemerataan kesejahteraan, keadilan sosial, dan penghormatan atas hak asasi manusia, secara substansial bisa kita sebut partai Islam. Islam sebagai ideologi partai tentu tak cukup hanya sebatas simbol, yang mana ketika kita tidak memilih partai yang menggunakan simbol Islam akan luntur keislaman kita.

Jauh lebih penting dari itu semua, sebagai umat Islam yang mempunyai hasrat politik, tentu yang perlu kita pegang adalah prinsip-prinsip perjuangan politik yang membawa kemaslahatan bagi umat manusia seluruhnya, bukan hanya kelompok.

Advertisement

Iklan politik dengan menggunakan gambar Kakbah (asli) dan pencomotan ayat Alquran secara pincang justru akan menjadi bumerang tersendiri. Strategi yang demikian akan meredupkan simpati masyarakat untuk memberikan suara kepada partai tersebut.

Dengan sumber informasi dan kecanggihan teknologi yang semakin maju, rakyat kini semakin cerdas untuk membuat pilihan politik yang sesuai dengan kehendak hati mereka. Jika kecerdasan ini tidak diimbangi partai politik dalam menawarkan visi dan misi melalui iklan politik yang cerdas pula, atau hanya mengandalkan fanatisme ideologi, tidak menutup kemungkinan partai-partai yang abai terhadap apatisme rakyat yang sedang marak akan membuat partai-partai tersebut lekas gulung tikar karena merosotnya jumlah konstituen.

 

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif