Soloraya
Rabu, 26 Maret 2014 - 13:11 WIB

GAGASAN : Kampanye Mencegah Kebodohan Kolektif

Redaksi Solopos.com  /  Is Ariyanto  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Slamet Sutrisno
slamet.sutrisno@yahoo.com
Peminat kajian kebudayaan

Menyitir Amartya Sen, kemiskinan ekonomi itu berakar pada fenomena kemiskinan pengetahuan. Kemiskinan itu sendiri, notabene, adalah cacat warisan kolonial yang selama berabad-abad bertengger bersama keterbelakangan dan kebodohan, alias kemiskinan pengetahuan.

Advertisement

Pernyataan Amartya Sen cocok dengan prinsip yang dipegang mendiang Dr. The Liang Gie. Dalam upaya mengatasi tiga cacat dasar kebangsaan itu—kemiskinan, keterbelakangan, dan kebodohan—mesti dimulai dari memberantas kebodohan karena memang kebodohanlah akar dari semuanya.

Dan peri kebodohan itu tak ayal lagi merambah di banyak bidang kehidupan masyarakat, tak terkecuali kebodohan politik. Selama ini aksi-aksi kampanye partai politik tak pernah terlepas dari kebisingan yang amat polutif, dengan suara knalpot sepeda motor yang dimaksimalkan.

Ada lagi apa yang dikenal dengan ”perang ayat,” frasa yang muncul di era Orde Baru dimana para juru kampanye (jurkam) berlomba  memanfaatkan ayat-ayat suci keagamaan untuk memperoleh keuntungan politik.

Laku kampanye pemilihan umum (pemilu) sering berlangsung secara panas, bahkan panas-panasan. Akal sehat pun ditindas sedemikian rupa oleh luapan emosi dalam rangka egoisme golongan dan pendiskreditan pihak lain.

Ini sama sekali jauh dari sifat dasar kebangsaan kita yang dikenal luas, minimal di masa silam: toleran, ramah tamah, kasih sayang, dan mudah memberi. Jauh pula jarak psikologis antarpartai politik yang mengaku sama-sama berideologi Pancasila.

”Bodoh” itu sendiri tak kurang adalah istilah dalam Alquran. Dalam salah satu ayat tertera dengan tegas:…suruhlah mengerjakan kebaikan dan berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh” (Q.S. Al-A’raaf: 199). Kebodohan-kebodohan yang tidak perlu agaknya cukup terasakan dalam jagat kepolitikan dan perpolitikan di negeri kita.

Jika dalam sidang pleno parlemen yang beranggotakan 550 orang hanya nongol secara fisik kurang dari 50 orang, hal ini bukan cuma kebodohan melainkan sebuah pembodohan publik.

Advertisement

Kealpaan partai politik untuk melaksanakan perintah undang-undang, misalnya pasal pendidikan politik, malah diganti dengan kemunculan berbagai demagogi yang otomatis menjauh dari keniscayaan pedagogi.

Itu tak ayal merupakan arus pembodohan oleh serangkaian sikap bodoh subjek politik sendiri. Yang saya maksudkan dengan kebodohan adalah kurangnya pengetahuan bukan hanya kepolitikan melainkan dimensi-dimensi nonpolitik yang sekiranya menjadi kendala atau mendukung tercapainya suatu tujuan politik.

Contohnya adalah kebodohan kolektif manakala sampai sekarang masih beredar dalam benak kaum politikus bahwa politik itu (memang) kotor. Mereka tak paham bahwa ”politio” (Latin) bermakna ”menghaluskan”, ”menggilapkan”.

Politik, perpolitikan, dan kepolitikan adalah terutama bukanlah ”hasil” atau ”produk” melainkan proses penggilapan dan penghalusan. Frasa etimologis ini akan tepat dalam mengisi demokrasi Pancasila, bukan demokrasi liberalis individualis yang dekat korelasinya dengan apa yang dikatakan Plautus sebagai homo homini lupus, bahwa: manusia adalah serigala bagi sesamanya (Jawa: asu gedhe menang kerahe).

Sadar atau tidak, jagat perpolitikan di negeri ini selama belasan tahun belakangan diwarnai, jika pun bukan dipenuhi, serigala dan “asu-asu” yang secara tega dan ”tegel” memangsa makhluk sejenis.

Jika total korupsi yang dilakukan elite politik dicamkan, pasti akan menyentuh angka sekian triliun rupiah. Bukankah ini simbol ke-tegel-an mereka ”memangsa” sesama warga negara?

Selain kebodohan masif mengira politik itu kotor, mayoritas mereka yang terlibat dalam kepolitikan memiliki persepsi sempit tentang apa itu politik, sebatas pada politik praktis. Politik dalam arti policy (kebijakan) maupun terlebih dalam makna ide atau gagasan besar, tidak diketahui.

Advertisement

Pada hal, politik praktis hanya sebagian aksi yang dihasilkan dari sebuah kebijakan. Pada hulunya, kebijakan ini hanyalah sebagian faset dari terjemahan atas konsep besar yang di dalamnya eksis sejumlah agregat manusawi: ”logos”, ”patos”, dan ”etos” perjuangan.

Semua bermula dari ”logos” yang bermakna ”sabda awal” pemberi pengetahuan fundamental kenegarabangsaan yang wujudnya tidak lain  adalah proklamasi kemerdekaan kebangsaan. ”Logos” ini menarik keyakinan dan hasrat kita menuju kepada tujuan besar yang dahulu dengan apik dirumuskan sebagai “masyarakat adil dan makmur.”

Tarikan magnetik mistis ”logos” kebangsaan itu memberi kita nilai-nilai dasar kejuangan yang berujud ”pathos” yang mengejawantah dalam dedikasi dan panggilan hati. Persis seorang rohaniwan terpanggil dalam pelayanan umat, politikus sejati merasa terpanggil dalam pelayanan rakyat.

 

Memanggul Amanah

Dalam kalamangsa yang sama, ”logos” melahirkan ”ethos” kejuangan, yakni kehendak dan karakter memanggul amanah yang membola salju dalam tekad kolektif. Kelemahan, alias kebodohan selama ini dalam pemahaman ”logos”, ”pathos”, dan ”ethos” politik itulah memiskinkan aksi-aksi politik praktis yang kini menghamba pada kekasaran moral dan sikap pragmatis hedonis.

Model-model naif kampanye hanyalah risiko dari kebutahurufan politikus atas apa yang sudah dipaparkan. Bahkan, secara salah kaprah politik bukan lagi merupakan medan pengabdian melainkan secara nyata terdegradasi menjadi lahan pencarian nafkah, lahan permalingan kekayaan negara, dan lahan permakelaran.

Advertisement

Di tengah lahan yang diperhinakan itulah terkadang menyemburat kaveling-kaveling persekongkolan, pengkhianatan, dan bahkan permaksiatan. Sejumlah anggota parlemen bukan hanya dicokok Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), melainkan juga diwarnai oleh tendensi dan rumor perselingkuhan.

Dalam menapaki hari-hari kampanye pemilihan umum (pemilu) sekarang ini akan terasakan manakah ungkapan-ungkapan kepolitikan yang membenarkan atau menyimpangi tulisan ini. Tidak kebetulan di masa lalu diserukan agar partai politik melakukan kampanye yang cerdas.

Hal ini langsung berarti dibutuhkan kehadiran partai politik yang mampu mencerdaskan masyarakat. Akan dibutuhkan benar kehadiran elite kepartaian yang kentara intelektualitasnya, dan lebih jauh akan dituntut kesiapan para kader partai politik yang bersedia belajar untuk senantiasa mencerdaskan diri mereka.

Seruan ini dengan sendirinya mengajak untuk tidak melakukan kebodohan-kebodohan dalam kampanye itu. Contoh riil, seruan tersebut sama sekali tidak menganjurkan agar para kader partai politik gemar melakukan, misalnya, mengumbar emosi dengan membuka knalpot yang menghasilkan kebisingan, cap jempol darah, jihad keagamaan demi kemenangan partai, produk- produk kecaman, makian, dan umpatan yang dilemparkan semena-mena oleh kader partai kepada partai lainnya.

Deklarasi pemilu damai yang serentak diikrarkan di seluruh negeri bukan jaminan tidak akan terjadi gesekan dan gosokan yang hanya akan merepotkan aparat keamanan dan ketertiban. Para elite dan kader partai politik perlu mencamkan ucapan Albert Einstein: perang berakar pada pikiran, jika menghendaki perdamaian harus dimulai dari pembenahan pikiran manusia.”

Politik analoginya bisa disandingkan dengan sepak bola sebagai suatu permainan di mana tujuan akhirnya adalah memasukkan bola ke gawang lawan. Yang terutama harus dipahami adalah aturan main manakah yang harus ditaati dan kiat serta seni bermain semacam apa yang selama ini dipelajari dari pelatih dan sumber lainnya.

Baik aturan main maupun kiat dan seni bermain keduanya bisa diintegrasikan ke dalam konteks praksis kehidupan. Politikus yang abai terhadap kaidah manusiawi kehidupan akan dengan vulgar bermain ”tembak langsung” yang akan membentuk dirinya sebagai politikus masinal robotik.

Advertisement

Ucapan dan pernyataan politik justru harus bersifat politis. Bila ucapan politikus gampang ditebak ke mana arahnya, dia bukan politikus melainkan ahli hukum atau tukang parkir.

Adalah watak kehidupan yang senantiasa berjalan seturut kaidah, baik kaidah alam maupun manusiawi. Adalah keperluan kehidupan untuk dijalani secara rasional-inteligen (kiat) maupun sekaligus dalam napas  sepenuh nada dan irama (seni).

Luwes Dalam Implementasi

Politik tidak bisa dijalani secara hitam putih, zakelijk, atau dalam frasa Orde Lama sering disebut ”hantam krama”. Politik menghendaki kelenturan, fleksibilitas, teguh dalam prinsip, namun luwes dalam implementasinya. Bung Karno senantiasa membedakan benar asas, taktik, dan strategi dalam berbagai ucapan dan perjuangannya.

Alangkah baiknya para politikus merenungkan apa yang dalam ajaran kejawaan muncul dalam berbagai kata bijak, seperti empan papan, duga prayoga, ajur ajer, dan ngono ya ngono nanging aja ngono. Persis seperti pemain depan kesebelasan sepak bola, walau pun sudah sampai di pertigaan lapangan wilayah lawan, jika perlu bisa ditendang ke belakang ke arah gawang sendiri.

Itu akan membuka ruang pertahanan lawan lebih menganga. Sebagaimana pernah diajarkan politikus negarawan tiga zaman, Roeslan Abdulgani, politik itu merangkul hangat tubuh pesaing demi perolehan simpati dan empati.

Namun, mantan Menteri Luar Negeri dan Duta Besar Republik Indonesia untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) itu juga menyatakan sebuah rangkulan mesra  di mana perlu dengan cekatan dapat dikuatkan rangkulan  itu dan–boleh jadi–berubah menjadi cekikan.

Advertisement

Dalam kenyataannya, para politikus baru sampai pada taraf paling luar dari bangunan kepolitikan di mana yang paling mudah dikenali di setiap kampanye adalah memuja-muji golongan dan tokoh idola sendiri.

Kosok balen dari egoisme dan penonjolan (golongan) sendiri, kampanye politik akan jauh lebih enak dan elok ketika diwarnai dengan semangat kebersamaan dan kerelaan menghargai golongan dan partai lainnya.

Filsuf dan budayawan Dr. Sindhunata, S.J. menulis: para caleg itu nyaris tak punya otoritas yang diharapkan masyarakat. Otoritas adalah fundamental bagi politik, semacam inteligensi sosial. Bagi kebanyakan orang melihat keutamaan lawan bukanlah hal yang mudah. Biasanya orang hanya melihat apa yang negatif pada lawannya. Lain dengan orang yang berotoritas, apalagi otoritas politik. Dia dengan mudah melihat keutamaan lawan, mengakuinya, dan mempersatukan keutamaan itu untuk meraih tujuan bersama (Kompas,18 Maret 2014).

Di negara maju, lazim untuk melakukan tata krama semacam itu, semisal memberi salut dan selamat atas pencalonan presiden oleh partai politik lain. Pihak yang kalah dalam pemilu akan dengan dada terbuka dan tersenyum mengucapkan selamat kepada pihak pemenang.

Politik yang secara etimologis bermuatan penggilapan dan penghalusan berarti terpaut langsung dengan kebudayaan dan peradaban. Hal ihwal yang antibudaya dan kebiadaban semestinya diajuhkan dari praksis politik.

Secuil fenomena bertendensi antibudaya itu adalah seperti berikut, di mana opini dilempar tanpa rasionalitas memadai. Tak sampai dua hari, berita tentang Joko Widodo (Gubernur DKI Jakarta) menjadi calon presiden dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) segera diikuti gugatan, ejekan dan sinisme, bahkan pemvonisan bahwa Jokowi sama sekali gagal mengendalikan banjir di Jakarta.

Kebodohan dari kritik ini adalah logika yang jauh panggang dari api sebab di negeri Belanda yang jagoan teknologi irigasi dan perairan, dibutuhkan dua abad untuk menangani banjir. Tidak ada manusia Indonesia sejenius apa pun sanggup mengurus banjir di Jakarta yang akut hanya dalam waktu kurang dari dua tahun.

Advertisement

Bila seseorang tidak sadar bahwa kritik yang dilontarkan sebenarnya adalah kecaman dan sinisme, itu adalah gelagat kebodohan. Kaidah kehidupan manusiawi itu senantiasa terpaut ke dalam trinorma yang dibedakan menjadi norma tata krama atau kesopansantunan, norma hukum, dan norma moral atau etika.

Menyampaikan selamat dan salut atas keberhasilan pihak lain adalah tata krama atau fatsun politik. Apabila tata krama ini tidak dimengerti padahal merupakan norma paling dangkal dalam trinorma tersebut, konon pula bakal tak sanggup menghayati norma hukum.

Tentu saja akan makin berat ketika dituntut merealisasikan norma moral etik, sebab inilah norma terdalam yang paling bermakna dalam jagat kehidupan manusiawi.

Di era 1950-an, perbedaan mendasar ideologi politik tidak membuat mereka berjauhan dalam pergaulan, melainkan tetap mesra dalam persahabatan. Inilah contoh penghayatan norma moral etik.

Untuk mengikuti petunjuk Einstein, pembenahan pikiran manusia menjadi yang terpenting ketika politik diharapkan menghasilkan bukan hanya kesejahteraan, tetapi sekaligus ketenteraman dan kedamaian.

Caranya dengan mengenali, memahami, dan lantas menghayati nilai-nilai instrumental yang menopang nilai dasar tenteram dan damai itu. Misalnya toleransi, keramahan, solidaritas, dan jangan melupakan nilai penghargaan atau respek kepada sesama kontestan.

Sebenarnya norma ini sekaligus bersifat universal, seperti ajaran keagamaan: apabila tidak ingin dicubit janganlah mencubit, apabila ingin dihargai menghargailah orang lain.

Dalam deklarasi kampanye damai di sebuah wilayah di kawasan Soloraya beberapa waktu lalu, ketua tim ahli sebuah partai politik yang mewakili partainya berorasi selama empat menit–seperti pimpinan partai lainnya– menekankan pada nilai respek atau penghargaan ini.

Hari itu semua surat kabar mencuatkan headline pencalonan Jokowi sebagai presiden yang diberi mandat oleh Megawati Soekarnoputri, maka dilontarkanlah dengan sengaja ucapan selamat kepada Ketua DPC PDIP setempat atas mandat tersebut seraya berseru dari panggung: Hidup Jokowi!

Itu sebenarnya tak lebih dari sebuah salut yang lazim dilakukan di kalangan kepartaian negara maju. Kader dan caleg partai politik yang miskin orator itu, karenanya meminta tim ahlinya berorasi; tiba-tiba langsung meninggalkan tempat disaksikan oleh banyak hadirin.

Kader dan caleg partai itu konon sambil meneriaki ”bodoh” kepada wakilnya di panggung. Sebetulnya siapa yang bodoh dalam kasus tersebut? Mungkin kader dan para caleg sebuah partai kelas menengah itu merasa mempunyai calon presiden sendiri yang dianggap jauh lebih hebat, akan tetapi mereka buta huruf tentang fatsun atau tata krama politik.

Mengucapkan salut kepada ”liyan” bukan berarti rendah diri, melainkan itulah sikap rendah hati yang sangat dibutuhkan dalam nation and character building. Indonesia sudah saatnya meninggalkan segala macam kepremanan politik untuk menunjukkan kesanggupan berpolitik secara  santun, indah, dan inteligen.

Menjadi politikus bukan hanya perlu IQ yang tinggi melainkan sekaligus EQ dan SQ yang memadai. Maka itu, dalam menjalani hari-hari kampanye cobalah tunjukkan bukti bahwa Anda mampu melakukannya dengan dan dalam respek.

Ketika respek menjadi lensa untuk memandang kehidupan, Anda dapat memetik manfaat yang tak terhingga; demikian kata Dr. Nolle C. Nelson, yang menulis buku The Power of Appreciation bersama Jeannine L. Calaba.

 

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif