Entertainment
Kamis, 20 Maret 2014 - 21:42 WIB

WAYANG KAMPUNG SEBELAH Beri Pelajaran Demokrasi...

Redaksi Solopos.com  /  Rahmat Wibisono  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Pergelaran Wayang Kampung Sebelah (WKS) di GOR Universitas Muhammadiyah Surakarta, Kampus Pabelan, Kartasura, Sukoharjo, Rabu (19/3/2014) malam. (Septian Ade Mahendra/JIBI/Solopos)

Solopos.com, SUKOHARJO — Wayang Kampung Sebelah (WKS), Rabu (19/3/2014) malam, mengajak ratusan orang yang memadati GOR Universitas Muhammadiyah Surakarta, Kampus Pabelan, Sukoharjo untuk memaknai kembali arti demokrasi. Pementasan yang digelar dalam rangka ulang tahun ke-16 lembaga swadaya masyarakat (LSM) Kontras ini mengusung lakon Mawas Diri Menakar Berani.

Sebelum membawakan pementasannya, WKS terlebih dahulu menyuguhkan empat lagu yang sarat kritik sosial, salah satunya berjudul Pemilu. Dalang kritis Ki Jlitheng Suparman kemudian menyampaikan pandangannya yang terselip dalam lirik lagu tersebut.

Advertisement

“Kedaulatan rakyat hanya ditentukan sekian detik di bilik suara. Demokrasi nonsense [tidak masuk akal]. Pemilu harusnya jadi pesta demokrasi. Kepala negara hanya ditentukan sebatas angka. Bukan suara yang didengar dari bawah. Pesta demokrasi semacam ini hanya prosedural dan transaksional,” tandasnya.

Selesai menyanyi, Ki Jlitheng bedhol kayon untuk menampilkan potret kecil demokrasi Indonesia lewat ajang Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) Bangunjiwo yang sarat kecurangan. Dikisahkan pilkades yang diikuti tiga calon kades tersebut dimenangkan pemilik nomor urut dua, Somad.

Kemenangan kades bertanda gambar “Iwak Koyor” ini diperoleh setelah dirinya menyuap Ketua Panitia Pilkades Bangunjiwo, Sidik Wacono. Kecurangan tersebut rupanya terendus pesaing Somad, Klungsur. Pemilik nomor urut satu bertanda gambar “Tahu Bacem” ini emoh tinggal diam. Uang yang telah ia keluarkan untuk “serangan fajar” pemenangannya menyulut amarah lelaki yang digambarkan mirip Vicky Prasetyo ini.

Advertisement

Klungsur pun menggandeng Jhonny menyusun siasat untuk menggugat kecurangan Somad. Serangan dilancarkan saat pesta pemenangan Kades Bangunjiwo digelar. Di sela kemeriahan acara pentas dangdut, Jhonny mendadak naik ke panggung dan berorasi. “Apa jadinya desa ini kalau dipimpin orang yang sejak awal sudah bertindak curang!” teriak Jhonny.

Sosok pemabuk desa andalan WKS, Kampret, terusik ulah Jhonny yang mengganggu keseruannya menikmati aksi para biduan. Di bawah pengaruh alkohol, Kampret balik menuding Jhonny sebagai pejuang demokrasi yang tidak bersih karena hanya mau berjuang lantaran dibayar Klungsur. Kericuhan pun meletus.

Di tengah konflik yang sedang memanas, datanglah Karyo yang menagih pertanggungjawaban penyelenggaraan acara kepada polisi, tentara, modin, hingga lurah yang baru dilantik. Bukannya penyelesaian yang didapat, justru semuanya saling lempar tanggung jawab.

Advertisement

“Ternyata kita belum berdemokrasi, kita belum bisa bernegara, kita belum bisa berdaulat. Saatnya bangsa ini sadar. Kesadaran akan muncul ketika kita mau mawas diri. Jujur melihat kekurangan dan kelebihan yang ada pada diri kita. Mawas diri sangat diperlukan agar muncul tekad dan keberanian melakukan perubahan,” kata Karyo.

Dalang Ki Jlitheng Suparman tak hanya menghadirkan perenungan. Penonton pun  disuguhi tawa di sepanjang pertunjukan yang berlangsung selama hampir tiga jam. Salah satu penonton, Gilang Swara Respati, 26, pun menikmati pertunjukan tersebut. Mahasiswa Semester VIII Fakultas Psikologi UMS ini mengaku pementasan yang sarat pesan ini cukup menghibur.

“Biasanya menonton di televisi. Aslinya lebih seru. Gaya bercandanya mengena sekali. Lokal banget. Di musim kampanye seperti ini ternyata masih ada dalang yang peduli pada penyadaran politik yang sehat,” ujar Gilang.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif