Lifestyle
Rabu, 19 Maret 2014 - 06:30 WIB

KULINER SOLORAYA : Ada Kisah Unik di Balik Kafe Wedangan

Redaksi Solopos.com  /  Rahmat Wibisono  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Ilustrasi Kafe (Farid Syafrodhi/JIBI/Solopos)

Solopos.com, SOLO — Sejumlah kafe dengan suasana layaknya angkringan—warung tempat menongkrong khas Solo—bermunculan di sejumlah kawasan Kota Solo. Umumnya kafe-kafe yang layak untuk menongkrong sembari minum wedang atau wedangan itu mengusung kesan kuno.

Kesan itu setidaknya tercermin dari namanya yang bernuansa feodal. Sebut saja misalnya Wedangan D’joeragan di Kompleks Perumahan Fajar Indah, Wedangan Omah Lodjie (WOL) di depan RSUD dr Moewardi, atau Rumah Nenek di Kampoeng Batik Laweyan.

Advertisement

Bukan nama dengan nuansa feodal, perilaku pengelolanya pun demikian. Lihat saja pada cara tiga orang pramusaji D’joeragan yang berdiri di belakang gerobak kedai itu. Kala Solopos.com singgah di tempat itu, Selasa (11/3/2014) malam, para pramusaji itu langsung menebarkan senyuman sambil mengucapkan, “Mangga juragan,” kepada beberapa orang tua dan anak kecil yang datang.

Sapaan bernuansa feodal itu memang menjadi ciri khas sambutan pramusaji di D’joeragan. “Siapa pun yang datang ke wedangan, baik anak kecil, orang tua dan muda, semua kami panggil juragan,” aku salah seorang pengelola D’joeragan, Yefta Hari, saat ditemui Solopos.com, Selasa malam.

Advertisement

Sapaan bernuansa feodal itu memang menjadi ciri khas sambutan pramusaji di D’joeragan. “Siapa pun yang datang ke wedangan, baik anak kecil, orang tua dan muda, semua kami panggil juragan,” aku salah seorang pengelola D’joeragan, Yefta Hari, saat ditemui Solopos.com, Selasa malam.

Tak hanya sapaan, Yefta mengatakan pramusaji juga akan melayani pengunjung seolah mereka itu juragan. Untuk memanjakan pengunjung, ke depan pihaknya juga berencana menyediakan aneka minuman dari susu. Penyediaan susu itu, imbuh Yefta, tak lepas dari misi D’joeragan yang akan diwujudkan menjadi one stop culinary di Kota Solo.

Berbeda dengan layanan yang disajikan di Wedangan Omah Lodjie (WOL) di Jl. Kolonel Sutarto, Jebres. Pengelola menyediakan tempat parkir yang luas bagi pengunjung. Sebelumnya, lokasi parkir itu adalah lahan kebun yang penuh dengan semak-semak.

Advertisement

“Salah satu alumnus yang kebetulan juga pemilik bangunan rumah ini, memperbolehkan rumahnya dibuat wedangan. Akhirnya tak berapa lama, wedangan ini berdiri,” ujar Patmanto saat ditemui Espos, Selasa malam.

Beberapa alumnus, imbuh dia, akhirnya sepakat kafe wedangan tersebut sebagai tempat kumpul bareng saat pulang ke Kota Bengawan. Lebih lanjut Patmanto menjelaskan, arti kata Omah Lodjie adalah rumah besar. Kata tersebut merujuk pada rumah besar zaman dulu yang sering disebut loji.

Sebelum kafe wedangan itu secara resmi dibuka, ada beberapa bagian yang perlu mendapatkan perawatan. Salah satunya pengecatan dinding serta penyediaan meja dan kursi di dalam rumah dan balkon. Setiap hari dia juga menyediakan organ tunggal bagi para pengunjung yang ingin bernyanyi.

Advertisement

“Ada satu ruangan lagi yang masih kosong. Ke depan ruangan itu akan kami gunakan untuk kantor. Beberapa teman berminat untuk menjadikan ruangan itu sebagai kantor karena mereka memiliki beberapa bisnis di Jakarta dan akan membuka kantor di Solo,” ujar Patmanto.

Beda lagi cerita tentang kafe wedangan Rumah Nenek. Pemilik Rumah Nenek, Alberto Fatah Yasin, mengatakan rumah tersebut adalah milik seorang pengusaha yang kini tinggal di Surabaya. Si pemilik rumah, kata Alberto, kala itu ingin menyewakan rumahnya agar terpelihara dengan baik.

Menurut Alberto, waktu itu ada dua pihak yang akan menyewa rumah bergaya Belanda itu, yakni dirinya dan pengusaha konfeksi. Namun rumah tua tersebut berhasil disewa Alberto. Dia pun berjanji kepada pemilik rumah untuk menjaga semua yang ada di rumah tersebut dengan baik.

Advertisement

“Ternyata memelihara rumah tua itu butuh biaya yang tidak sedikit. Untuk pengecatan butuh teknik khusus. Lantainya pun perlu dirawat karena tegelnya asli zaman dulu,” ujar dia.

Agar kesan zaman dulu masih menempel kuat pada rumah itu, dia pun pilah-pilih dalam memasang perabot, seperti meja dan kursi. Beberapa perabot tua, seperti almari besi, sepeda dan alat makan, sengaja dia tempatkan di sejumlah titik agar kesan zaman dulu mendominasi.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif