Soloraya
Senin, 27 Mei 2024 - 08:13 WIB

Unik, Begini Cara Warga Ngasinan Etan Gelar Tirakatan Hari Jadi Sragen

Redaksi Solopos.com  /  Anik Sulistyawati  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Warga duduk lesehan dengan menggelar tikar di sepanjang gang 100 meter dengan penerangan obor saat tirakatan Hari Jadi Sragen di Dukuh Ngasinan Etan, Desa Gebang, Masaran, Sragen, Minggu (26/5/2024).(Istimewa/Suteja)

Solopos.com, SRAGEN—Malam Hari Jadi ke-278 Kabupaten Sragen dirayakan seluruh warga di lebih dari 5.000 rukun tetangga (RT) untuk menggelar tirakatan atau sarasehan bersama, Minggu (26/5/2024).

Setiap RT melaksanakan tirakatan malam Hari Jadi Sragen dengan caranya sendiri. Pada malam itu pula, Bupati Sragen dan para pejabat juga mengadakan sarasehan di Pendapa Pandak, Desa Krikilan, Masaran, Sragen, yang konon menjadi tonggak berdirinya Kabupaten Sragen.

Advertisement

Tirakatan di setiap RT digelar dengan sederhana dan ada pula yang menyewa organ tunggal untuk meramaikan suasana. Seperti kebiasaan tahun-tahun sebelumnya, di setiap malam tirakatan itu selalu dibacakan sejarah singkat Kabupaten Sragen dengan menggunakan bahasa Jawa dan sambutan Bupati Sragen.

Tahun ini warga Dukuh Ngasinan Etan, Desa Gebang, Kecamatan Masaran, Sragen, menggelar tirakatan dengan cara yang berbeda. Sebanyak 250-an warga dari RT 025 dan RT 026 kompak melakukan tradisi tirakatan dengan penerangan obor atau kembali pada masa-masa tempo dulu sebelum ada listrik masuk desa. Para warga datang dengan mengenakan pakaian tradisional. Mereka menggelar tikar di gang masuk di dukuh itu sepanjang hampir 100 meter. Para warga makan bersama dengan makanan disajikan di tengah tikar dengan alas daun pisang.

Sejarah Hari Jadi Sragen dibacakan dengan iringan gamelan rengeng-rengeng. Warga yang mendengar pun dapat menghayati makna, isi, dan pesan yang terkandung dalam cerita sejarah tersebut.

Advertisement

Ketua RT 025, Ngasinan Etan, Suteja, kepada Solopos.com, Senin (27/5/2024), mengungkapkan tirakatan ini sengaja dikemas dengan nuansa yang berbeda agar memberi makna lebih bagi warga terhadap perjuangan para pendahulu Sragen. Dia menyampaikan 250 warga tumplek blek dan kompak mengikuti tirakatan sampai selesai.

“Model tirakatan tempo dulu ini dilakukan untuk melestarikan budaya tradisional zaman simbah-simabh dulu serta mengenang suasana zaman dulu. Tirakatan seperti ini juga mengenalkan sejarah dan budaya tradisional kepada generasi muda, terutama generasi milenial. Jadi suasananya malam, semua lampu listrik mati yang ada obor dari bambu. Ada kesenian gejuk lesung dan gamelan bersenandung di bawah bulan purnama. Saat itulah dibacakan sejarah Hari Jadi Sragen,” jelas Teja.

Dia mengatakan tahun lalu tidak seperti ini konsepnya tetapi hanya di pendapa secara formal dan biasa sesuai dengan edaran Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sragen. Dia mengungkapkan yang membacakan sejarah Sragen adalah Ketua Karangtaruna Budi Santoso. Dalam tirakatan itu, kata dia, panitia menyiapkan 250 nasi bungkus gudangan, tumpeng satu buah, dan nasi ceting ada 50 buah.

Advertisement

“Semua dimakan secara bersama-sama,” ujarnya.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif