News
Jumat, 14 Maret 2014 - 06:15 WIB

KISAH INPIRATIF : Kisah Agil, Siswa SMA yang Hidup Sendiri

Redaksi Solopos.com  /  Nina Atmasari  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Mustofa Agil Prabowo, siswa kelas XI IPS 3 Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Sewon (SMA N 1 Sewon) yang hidup sendiri di rumahnya. (Uli Febriarni/JIBI/Harian Jogja)

Mustofa Agil Prabowo, seorang anak yatim selalu bersemangat menjalani hidup meski sendirian tanpa orangtua dengan keterbatasan ekonomi. Berikut laporan wartawan Harian Jogja Uli Febriarni.

Siswa kelas XI IPS 3 Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Sewon (SMA N 1 Sewon) tersebut bertubuh bongsor. Tingginya 179 centimeter, berat 80 kilogram. Tubuhnya atletis karena rutin berlatih kempo di Sekolah Menengah Pertama 2 Piyungan, dekat rumahnya. Di rumahnya, di ruang tamu tanpa meja, Agil, berbagi mengenai semangat hidupnya kepada Harianjogja.com, baru-baru ini.

Advertisement

“Sendirian di sini,” begitu jawaban pembuka dari Agil, ketika ditanya bersama siapa ia tinggal di rumah.

Di ruang tamu dengan dinding lembab terkelupas itu, ia bercerita aktivitas sehari-harinya. Rumah itu warisan kakek dan nenek Agil dari almarhumah ibunya.

Advertisement

Di ruang tamu dengan dinding lembab terkelupas itu, ia bercerita aktivitas sehari-harinya. Rumah itu warisan kakek dan nenek Agil dari almarhumah ibunya.

Kesendirian Agil sebenarnya sudah dimulai sejak remaja. Saat itu, perpisahan ayah dan ibu Agil, akibat perceraian, membuat Agil sebagai remaja tak memahami hal yang menimpanya.

Diberikan kesempatan memilih mengikuti ayah atau ibu, Agil memilih kakek dan neneknya. “Saya dari kecil sering ditinggal orangtua, akrabnya sama simbah, jadi ikut simbah saja,” lanjut dia santai tanpa beban.
Hingga pada 2010, ibunya wafat, karena perdarahan ketika melahirkan adiknya.

Advertisement

“Kesepian sih. Enggak ada kawan ngobrol. Pernah diajak ikut bapak ke Tangerang tapi saya enggak mau, bapak juga kerja pagi pulang sore di sana. Sama saja sepi”, papar Agil, yang punya siasat penghematan biaya listrik dengan mematikan lampu ketika tidak digunakan.

Ayah Agil, Parlan, tinggal di Tangerang, sudah menikah lagi, bekerja sebagai buruh pabrik. Parlan hanya mampu mengirimi uang Rp500.000 hingga Rp600.000 sebulan.

Agil harus membagi uang tersebut untuk membayar uang sekolah Rp160.000, membayar listrik, dan kebutuhan sehari-hari. Agil merasa cukup. Bahkan sangat cukup. Ia beruntung karena pihak sekolah membantunya dalam bentuk beasiswa. “Sehari-hari masak sendiri, kadang kalau habis, ada tetangga bantu kasih,” ujar Agil.

Advertisement

Menyadari kekurangan dalam hak ekonomi, cucu Harjowiyono dan Rubinem ini sempat mengajukan beasiswa untuk sekolahnya, namun tak dilanjutkan karena terkendala saat mengurus Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM).

“Saya takut ketinggalan pelajaran karena mengurusi surat itu,” ungkapnya.

Menurutnya, lebih baik SKTM tidak diurus, daripada harus bolos sekolah.

Advertisement

Dari rumahnya di Sampakan, Sitimulyo, Piyungan, Bantul ke sekolah, Agil mengendarai sepeda hadiah gurunya.

“Itu anaknya rajin, selalu tepat waktu, walau rumahnya jauh,” kata Bambang Untoro, Wakil Kepala Sekolah bidang Kesiswaan SMAN 1 Sewon.

Bambang mengisahkan, Agil semula berangkat naik bus. Atas inisiatif beberapa guru, mereka menghadiahkan sepeda polygon hijau untuknya. “Syaratnya, pokoknya harus dipakai untuk sekolah,” kata Bambang.

Secara akademis, Agil memang tidak menonjol. Nilai rata-rata Agil semester kemarin 80, 36. Dari 31 siswa di kelas, ia berada di peringkat 14. Namun ada guru yang menilai Agil memiliki kemampuan intelektual cukup tinggi.

“Secara kognitif, anak itu [Agil] di atas rata-rata. Tugas dari guru selalu dikerjakan, kalau sedang pelajaran dia sering tanya”, kisah Sri Riyandari, guru akuntansi kelas XI, yang juga mengajar Agil.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif