Soloraya
Jumat, 14 Maret 2014 - 16:11 WIB

TUDINGAN GRATIFIKASI BUPATI SENO : Pakar: Tanda Tangani Akta Privat, Bupati Sudah Fatal

Redaksi Solopos.com  /  Adib Muttaqin Asfar  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Seno Samodro (JIBI/SOLOPOS/Farida Trisnaningtyas)

Solopos.com, BOYOLALI — Pakar Hukum Tata Negara Universitas Slamet Riyadi (Unisri) Solo, Wibowo Murti Samadi, menilai tercantumnya nama Bupati Seno Samodro dalam sebuah akta perjanjian dengan No.10 tanggal 25 November 2011, merupakan kesalahan fatal seorang pejabat publik.

Wibowo yang juga Ketua Pusat Kajian Konstitusi Unisri Solo itu juga menyebutkan Bupati Seno telah salah karena telah melakukan perbuatan hukum privat untuk kepentingan diri sendiri. “Pejabat publik harusnya melakukan perbuatan-perbuatan untuk kepentingan publik. Yang dia lakukan sudah masuk ranah hukum privat, dan ini secara moral dan etika pejabat publik sudah merupakan kesalahan besar,” kata Wibowo, kepada Solopos.com, Jumat (14/3/2014).

Advertisement

Seperti diketahui, Bupati Seno Samodro telah mengakui pihaknya pada 2011 lalu telah menandatangani sebuah akta perjanjian dengan orang yang bernama Heru Setiabudi di notaris Anita Riza Yanthi yang beralamat di Mojosongo, Boyolali. Akta perjanjian itu dibuat terkait rencana investasi di Sriwedari Solo oleh seorang investor asal Singapura yang dibawa Heru Setiabudi.

Salah satu pasal dalam akta perjanjian itu menyebutkan Seno akan mendapat bayaran atau fee sebesar Rp350 miliar. Seno dijanjikan mendapatkan tambahan Rp25 miliar jika bisa menjembatani Heru Setiabudi dengan pemilik hak atas tanah atau ahli waris juga dengan Pemkot Solo yang saat itu masih dipimpin Joko Widodo (Jokowi).

Wibowo menyatakan tidak akan mengkritik besar kecilnya uang yang dijanjikan sebagai fee dari pihak Heru Setiabudi kepada Bupati. “Jangan dilihat angkanya. Termasuk kalau bupati ternyata tidak menerima pembayaran atas fee yang dijanjikan. Tapi, Bupati sudah mau tanda tangan di akta perjanjian semacam itu sudah merupakan kesalahan fatal,” kata Wibowo.

Advertisement

Menurut Wibowo, bupati telah melakukan perbuatan yang berlawanan dengan kepentingannya sebagai seorang bupati. “Ya ini juga persoalan moral dan etika pejabat. Apapun yang dilakukan harus bisa dipertanggungjawabkan secara publik. Termasuk data otentik akta perjanjian itu. Jadi mulai sekarang bupati harus mulai mawas diri dan responsif terhadap setiap masukan.”

Terkait dibawanya dokumen akta perjanjian tersebut ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) oleh Barisan Merah Putih Pengging (BMPP), Wibowo menyebutkan bahwa itu adalah hak setiap masyarakat. Sebelumnya, Notaris Anita Riza Yanthi, menyebutkan Seno Samodro bertanda tangan dalam akta perjanjian itu hanya untuk diri pribadi. Dengan status yang dicantumkan saat itu adalah sebagai wiraswasta.

“Ya tidak salah kalau Pak Seno membuat perjanjian bertindak untuk dirinya sendiri. Kapasitas dia dalam hal ini bukan atas nama bupati, pekerjaan ini tidak ada hubungannya dengan pemerintah, jadi siapapun boleh untuk membuat akta perjanjian seperti ini,” kata Anita.

Advertisement

Sementara Bupati juga menyebutkan tercantumnya nama dirinya dalam sebuah akta perjanjian tidak perlu dipermasalahkan. Seno Samodro mengklaim nama itu hanya simbol saja agar ada kepercayaan dari ahli waris Sriwedari terhadap tawaran investor yang dibawa Heru Setiabudi. Nama Seno Samodro, kata dia, hanya dipinjam oleh adik iparnya, Darmanto, yang lebih mengetahui seluk beluk pembuatan akta perjanjian itu.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif