Soloraya
Kamis, 13 Maret 2014 - 10:52 WIB

GAGASAN : Urgensi Pendidikan Kemaritiman dan Kegunungan

Redaksi Solopos.com  /  Is Ariyanto  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

 

Fadjar Sutardi
fajarredisutta_bumipranata@yahoo.com
Bergiat di Seni Rebana
Maskumambang Mujahadah
Sumberlawang, Sragen

Advertisement

Berpulangnya Guru Besar Filsafat Universitas Gadjah Mada, Damardjati Supadjar, beberapa waktu lalu, hampir bersamaan dengan datangnya ujian alam, yakni meletusnya Gunung Kelud dengan hujan abu yang menyelimuti Kota Jogja, Solo, kawasan lain di Jawa

Damardjati meninggalkan sejumlah ajaran yang menarik untuk kita renungkan untuk mewujudkan keinginan hidup yang tenang dengan pola kesederhanaan namun membahagiakan, yakni tentang ngelmu yang dilakoni Damardjati sepanjang hidupnya.

Saya merasa dekat dengan pemikiran Damardjati sepekan sebelum runtuhnya kekuasaan Orde Baru pada 1998. Saat itu beliau berceramah di forum pengajian di Clupak, Sumberlawang, Sragen yang diselenggarakan oleh komunitas Teater Dialog bersama masyarakat kampung di mana saya hidup bersama anak dan istri.

Damardjati dikaruniai ketajaman pikiran dan perasaan oleh Tuhan yang terus diasah sampai berpulang keharibaan-Nya, Senin, 17 Februari 2014, pukul 17.05 WIB. Pemikiran Damardjati sebenarnya sangat penting untuk dikaji dan didalami oleh siapa pun yang menginginkan bangsa ini berkualitas dan dijauhkan dari keterpurukan mental di tengah berbagai bencana alam dan bencana jiwa manusia yang bernama korupsi.

Beberapa pemikiran Damardjati yang terangkum dalam bukunya Nawangwangi dan Filsafat Sosial Sastra Gending dapat kita jadikan renungan dan catatan penting untuk menatap masa depan bangsa ini. Berikut sebagian pemikiran tersebut.

Pertama, bangsa ini perlu mengenal kembali pentingnya pendidikan dasar kemaritiman dan kegunungan, utamanya bagi generasi muda. Kita tahu sejak zaman dahulu negeri ini memang terkenal dengan sebutan negeri bahari atau negeri maritim. Negeri ini terdiri dari ribuan pulau yang tersebar di lautan luas yang terbentang dari Selat Malaka sampai Laut Arafuru, dari Laut China Selatan sampai Samudra Hindia.

Nenek moyang kita terkenal di dunia dengan panggilan bangsa pelaut. Mereka tidak gentar mengarungi samudra, tidak takut gulungan ombak. Samudra dan lautan menjadi bagian hidup dan jiwa nenek moyang bangsa ini. Bukti kemaritiman negeri ini dapat kita lihat di artefak dinding-dinding Candi Borobudur, Prambanan, dan peninggalan lain yang tersebar di kawasan kepulauan Nusantara.

Advertisement

Kegagahan dan keberanian nenek moyang kita menguasai samudra dan lautan terjaga dari waktu ke waktu. Hal tersebut dapat dilakukan karena mereka mampu memegang kendali ilmu kelautan yang berguna tidak hanya untuk menaklukkan lautan, tetapi menghormati lautan dengan dialog terus-menerus dengan “sang penguasa” laut.

Perihal kelautan, dalam khasanah Jawa terdapat ajaran mistik Dewa Ruci dalam lakon Bima Suci. Lakon ini menggambarkan betapa ilmu pangracutan, mencair seperti air, melaut di tengah lautan luas, merupakan jalan awal untuk menemukan eksistensi dan esensi diri, yakni apa yang disebut ngluruh sarira.

Ngluruh sarira adalah pertemuan antara Bima ”kecil” dengan  Bima-Bima ”besar” yang bernama Bimasakti dalam galaksi semesta yang menjadi medan ”melaut” bagi Bima ”kecil”, yakni manusia yang pada asal mulanya dibekali sifat kamil.

Ajaran ini memberikan ruang pelajaran kepada para pejalan sejati, untuk menyadari bahwa memikrajkan diri untuk bertemu dengan Sang Maha Diri merupakan keniscayaan dengan izin  Sang Adikodrati tersebut. Istilah manunggaling kawula gusti dalam khasanah Jawa berangkat dari ajaran lakon Bima Suci ini. Dan, dari sini manusia mendapatkan pengetahuan tentang sangkan paraning dumadi.

Memiliki jiwa kemaritiman bukan berarti bertujuan mengeksploitasi lautan dengan segala kekayaannya, tetapi merujuk kepada keselamatan dan penghormatan kepada lautan, agar kehidupan tetap terjaga lestari. Penghormatan bukan berarti penyembahan, tetapi kesadaran untuk memelihara diri dari kerakusan atas lautan dan isinya.

Kemudian, tentang pengenalan kepada jiwa kegunungan, secara harfiah berarti mengilmui mengenai keberadaan gunung dan karakternya. Mengajarkan ilmi itu kepada para pelajar dan masyarakat. Secara kebetulan bumi Nusantara dikaruniai kalung mutiara merah menyala yang menjadi penjaga keseimbangan dengan kemahadahsyatan lautan.

Gunung mengandung energi api yang menjadi penggerak bumi dan lautan. Dalam khasanah Islam, dari api inilah Musa juga mendapatkan kesadaran tentang kemahakuasaan Tuhan di Bukit Tursina. Mulai saat itu Musa merasa menemukan Tuhan dengan segala keagungan-Nya.

Advertisement

Mendekatkan gunung ke dalam ruang kelas sekolah atau pondok pesantren merupakan cara untuk memaknai kuasa air dan kuasa api. Gunung mengeluarkan api, lautan menjaga keperkasaan air. Api dan air menjadi simbol dinamika hidup yang sesungguhnya. Pendidikan kelautan dan kegunungan selama ini belum pernah ada dalam rancangan pendidikan nasional kita.

Bangsa ini hanya menggemari hidup di daratan karena tidak ada pendidikan kelautan dan kegunungan. Bila manusia hanya mengerti hidup di daratan maka daratan menjadi sesak, sumpek, dan gelap. Di daratan yang penuh  kesumpekan ini akhirnya melahirkan karakter buta ijo yang gemar makan tanah dan penghuninya.

Yang terjadi bukan keselamatan, tetapi justru keterpurukan demi keterpurukan. Dalam bahasa Jawa istilah daratan sering ditulis jaratan yang berarti kuburan atau dimaknai kegelapan dan kematian. Sekali lagi pendidikan kemaritiman dan kepegunungan menjadi sesuatu yang penting bagi keberlangsungan bangsa ini.

Bila kemaritiman dan kegunungan telah menjiwai para pelajar atau mahasiswa, akan lahir tokoh dan pemikir cerdas yang mampu menaklukkan air dan api di Nusantara. Dari sini pula nantinya perhatian tentang ilmu ketsunamian dan keerupsian gunung api menjadi ilmu milik seluruh bangsa ini.

Artinya, bila karunia tsunami dan erupsi diberikan Tuhan maka masyarakat yang telah mendapatkan perihal pendidikan kemaritiman dan kegunungan tidak akan menyebut sebagai bencana atau musibah, tetapi dinamakan rahmat yang berkah. Penaklukan air dan api menjadi ilmu yang bermanfaat.

Kedua, bangsa ini perlu memahami kuasa alam berupa kekuatan air dan api tersebut dengan dilengkapi pendidikan budaya dalam perspektif spiritual dan teknologial. Budaya ada karena diadakan manusia. Budaya diperlukan manusia karena dapat difungsikan untuk memahami keberadaan-Nya.

Keberadaa-Nya perlu dikenali manusia, karena Sang Ada memerintah manusia untuk mengelola diri dan lingkungan yang membesarkan mereka, yakni air, api, angin, dan tanah ciptaan-Nya untuk dipelihara keutuhannya.

Advertisement

Air, api, angin, dan tanah menjadi media penting untuk menghidupkan roh yang dirahmati agar ngrembaka, tumbuh berkembang, slamet, dan wilujeng di bumi ini. Manusia diperintah menjadi khalifah untuk memimpin ( ukan merusak) air, api, angin, dan tanah agar bumi seisinya dapat dijadikan laboratorium atau kawah candradimuka bagi manusia.

 

Jiwa Spiritual

Intinya, setiap manusia perlu diberi dasar-dasar pendidikan tentang fungsi budaya yang dibuat manusia tersebut untuk memperkaya jiwa mereka agar terwarnai spiritualitas-spiritualitas-Nya, sehingga manusia dapat ”merasa” sebagai khalifah terpenting di antara makhluk-makhluk lainnya.

Jiwa spiritual dapat berkekuatan dahsyat ketika teknologi yang dibuat manusia difungsikan untuk menjaga alam ini secara harmonis. Harmonisasi alam dan kehidupan akan terwujud apabila manusia benar-benar siap menjadi conductor atau dirigen bagi orkestra besar di panggung dunia ini.

Bila terjadi demikian, makna la haula wala quwwata illa billah dan inna lillahi wa ina ilaihi roji’un dapat bekerja dengan tuntas dan hidup manusia sebagai dirigen dipastikan khusnul khotimah. Disinilah fungsi pendidikan budaya yang bermuatan nilai spiritual dengan pendekatan teknologial diperlukan.

Ketiga, perlu mengembangkan nilai-nilai spiritual Islam dan agama lain sebagai media transformasi sosial di tengah dunia material yang mengglobal. Nilai spiritual agama berada pada titik inti hakikat agama, yakni tentang perlunya membangunkan kesadaran manusia agar patuh dan hormat pada tata tertib alam atau netepi pranataning jagad, tunduk kepada hukum-hukum alam atau netepi pranataning ukum alam, juga penyadaran adanya ketetapan ilahi yang bernama takdir.

Advertisement

Manusia memerlukan dasar-dasar ketertiban alam dan siklusnya agar manusia tidak  terhinggapi sifat jemawa dan selalu menyadari bahwa manusia tidak bisa lepas dari ketergantungan kepada ilahi. Spiritualitas Islam di sini benar-benar bernilai rahmatan lil ‘alamin.

Manusia yang merasa bisa lepas dari Tuhan dan tidak mau bergantung pada-Nya berarti belum sampai pada tujuan hidup yang sebenarnya. Mereka, oleh Damardjati, dikatakan sebagai orang yang belum mau melepaskan alas kaki untuk kemudian pergi melaut atau mendaki puncak gunung tinggi untuk mencari hikmah kepemimpinan bagi dirinya.

Orang yang mau melepas alas kakinya ditandai dengan semakin menyukai kebaikan-kebaikan, mendalami makna kecintaan hakiki dan abadi, mengerti dan mempratikkan keinsafan-keinsafan atas kesalahan dosanya dan memiliki ketakjuban akan ada-Nya. Bila sudah melalui tahap demikian, manusia merasakan kefanaan atau rasa hilang atas dirinya dan yang ada hanyalah Yang Menguasai Jagad seisinya.

Manusia yang dikerubuti kemewahan semu yang bernama kemodernan global tidak akan pernah merasakan suasana keilahian. Adanya hanya frustrasi, tidak ada harapan, bosan, sulit merasakan kebahagiaan, dan tidak bisa menikmati peribadahan yang khusyuk, suci, dan agung.

Kondisi ini seperti digambarkan Francis Fukuyama sebagai suasana de-eruption. Keruntuhan suatu bangsa akan terjadi bila manusia tidak mau menjumput nilai-nilai spiritual yang datang dari-Nya. Keempat, perlunya pendidikan kesadaran tentang pentingnya harkat dan martabat perempuan. Keluhuran bangsa tergantung kepada para perempuan. Bila perempuan memiliki budi yang luhur, peradaban bangsa tidak akan musnah.

Perempuan memiliki kedudukan yang mulia. Perempuan dianggap sebagai pusat pusaran dan muara hidup dan kehidupan bagi siapa pun. Pusaran dan muara itu berpusat pada rahim dan kerahiman seorang ibu. Surga pun juga dikiaskan terletak di bawah kaki para ibu. Ibu yang memiliki karakter kasih sayang atau rahman dan rahim, mensifati salah  satu asma Tuhan yang berjumlah 99 itu.

Perempuan menjadi kunci ketenangan dan kesenangan dalam rumah tangga dan masyarakat dunia. Perempuan secara spesifik akan melahirkan anak-anak yang akan mengubah dunia. Anak yang lahir diharapkan memiliki bobot atau kualitas yang diharapkan oleh orang tua dan bangsanya.

Advertisement

Istilah mbobot dalam bahasa Jawa dimaksudkan agar anak yang lahir berbobot, saleh, dan cerdas dalam melaksanakan kebaikan-kebaikan. Sebuah bangsa yang menghargai perempuan sebagai belahan kekuatan bagi para pemimpin yang didominasi laki-laki akan dijauhkan dari pepeteng.

Pendidikan keperempuanan tidak hanya bermuara pada bidang peningkatan keterampilan dan keahlian untuk tujuan emansipasi perempuan. Tetapi, lebih ke arah kualitas akhlak perempuan dalam mengemban misi keluhuran budi dan lingkungan masyarakat yang bersuasana surgawi.

Pendidikan keperempuanan juga mengarah pada penghormatan pada harkat, derajat, dan martabat perempuan. Bukan pada pengeksplotasian dan pemanfaatan dari sisi jasmaniahnya belaka. Keluhuran dan kesucian seorang perempuan termaktub dalam kitab suci, yakni Siti Maryam atau Maria Magdalena.

 

Simbol Penghargaan

Siti Maryam menjadi simbol penghargaan kesucian atas harkat dan martabat perempuan, yang disepanjang abad selalu dijadikan alat pemuas nafsu kaum laki-laki. Efeknya adalah seperti diisyaratkan pujangga besar Ranggawarsita, yakni wong Jawa ilang jawane, kali ilang kedhunge, pasar ilang kumandhange, wong wadon ilang wadine kari wirange, wong lanang ilang kaprawirane.

Kuasa Tuhan atas peristiwa kejadian nan agung ini seharusnya dapat dijadikan perenungan bagi kita semua. Runtuhnya peradaban manusia, disebabkan tidak adanya penghargaan yang tinggi atas perempuan. Kelima, perlunya mengenalkan kembali pendidikan kualitas-kualitas hubungan antara keumaraan (pemerintah dan jajarannya) dan keulamaan (ilmuwan, ulama, dan para santrinya ) pada posisi yang sama lurus dan sama tingginya. Sejak zaman kerajaan Demak, posisi ulama dan umaro’ tidak ada bedanya.

Advertisement

Keberadaan ulama dan umara yang terwakili dalam kekuatan dwi tunggal, yakni sunan dan sultan. Sunan menjalankan tugas dakwah amar makruf nahi mungkar di tengah masyarakat yang majemuk. Sultan melaksanakan hukum dan undang-undang sesuai perintah Tuhan yang tercantum dalam kitab suci dan sunah nabi.

Sunan bersama masyarakat bawah mengembangkan diri sesuai dengan strategi wilayah serta menggunakan pendekatan tafsir yang bersifat problem solving. Sultan memperkuat otoritas daya masyarakat yang beragam dengan uswah hasanah atau keteladanan dalam pikiran, ucapan, dan tindakannya.

Tidak ada pergolakan, tidak ada perseteruan, karena antara sunan dan sultan memahami hakikat kekhalifahan sebenarnya. Kualitas hubungan kawula gusti terjalin menjadi anyaman jalin menjalin antara kawula yang mengawula kepada gusti  dan gusti yang ngumawula kepada para kawula.

Hubungan kualitas sunan dan sultan tersebut tergambarkan dalam kalimat pitutur Jawa: manungsa iku kadunungan dzating Pangeran, ananging aja darbe pangira menawa manungsa mau bisa diarani Pangeran. Butir-butir sebagian pemikiran Damardjati sesungguhnya mengingatkan kita semua, sebagai bangsa memiliki tanggung jawab dan amanah yang besar untuk mewujudkan masyarakat yang maju jiwa dan raganya, cerdas dalam memahami orkestra alam yang terkadang cukup mengagetkan iramanya.

Sedangkan kita sebagai bangsa yang berada dalam gugusan gunung-gunung, lautan, dan bintang-bintang pada kenyataannya sering dilanda kegagapan-kegagapan yang disebabkan ketidaktahuan dan ketidakmampuan dalam mengilmui kekuatan alam.

Selain itu, tugas terbesar bangsa ini adalah mewujudkan lima dasar berbangsa dan bernegara dengan sungguh-sungguh dan tetap mengedepankan satu rasa satu nasib dan satu sepenanggungan. Kapisan, pasrahanane nagara iki marang Kang Murbeng Dumadi. Kapindho, pracaya menawa anane manungsa iki saka Kang Murbeng Dumadi.

Kaping telu, aja sira nglirwakake bangsanira pribadi. Kaping papat, sira aja mung kepingin ngrengkuh menange dhewe, mula prelu rerembugan amrih becike. Kaping lima, nduwenana rasa kewajiban aweh sandhang kalawan pangan lan uga njaga katentreman lair lan batin.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif