Soloraya
Selasa, 11 Maret 2014 - 13:31 WIB

MIMBAR KAMPUS : Penjara Suci Bernama Pendidikan

Redaksi Solopos.com  /  Is Ariyanto  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Redza Dwi Putra obe_vort@yahoo.co.id Mahasiswa Pendidikan Biologi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret

Redza Dwi Putra
obe_vort@yahoo.co.id
Mahasiswa Pendidikan Biologi
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Sebelas Maret

Indonesia kini punya ruang kebebasan berekspresi yang kian terbuka. Setiap orang punya hak untuk memilih, menyatakan pendapat, berekspresi sesuai minat dan bakat. Seharusnya tak ada lagi manusia-manusia yang terjajah. Yang seharusnya ada adalah manusia-manusia merdeka.

Advertisement

Preambul UUD 1945 menyatakan secara gamblang bahwa penjajahan di atas dunia harus dihapuskan. Kini, problem kontemporer bukan lagi penjajahan fisik, tetapi telah berevolusi menjadi penjajahan gaya baru. Penjajahan baru telah masuk dalam ranah psikis, termasuk dalam pendidikan.

Tak jarang kita temui ada institusi pendidikan yang menjadikan pendidikan sebagai ”alat pemaksaan kehendak”. Siswa tak lagi diberi kesempatan menjadi dirinya sendiri. Siswa dididik laksana kertas putih kosong yang hanya berhak ditulisi atau digambari oleh pendidik sesuai kehendaknya. Akibatnya, anak didik seakan menjadi robot yang tak bisa melakukan apa pun.

Dalam pandangan Ki Hajar Dewantara, anak didik adalah pribadi unik yang masing-masing memiliki bakat dan minat. Dengan demikian, pendidik tidak bisa memaksakan kehendak kepada anak didiknya. Bukankah pendidikan seharusnya menjadikan manusia yang berjiwa merdeka secara utuh? Baik merdeka secara lahir, batin, maupun secara pemikiran.

Advertisement

Aamir Kahn dalam film karyanya, Taree Zaman Par (2007), berhasil menyadarkan dunia pendidikan bahwa setiap anak memiliki keunikan yang berbeda-beda. Film itu menceritakan seorang bocah umur sembilan tahun yang dipandang payah dalam urusan apa pun di sekolahnya.

Bocah itu melihat segalanya melalui imajinasi. Namun sayang, orang-orang di sekelilingya tidak peduli terhadap imajinasi. Hingga pada akhirnya, bocah tersebut dipindahkan ke sekolah berasrama dan menemukan sesosok guru yang menginspirasinya.

Film ini tentu hanyalah ilustrasi yang menggambarkan sebagian realitas pendidikan. Tak jarang kita temui seorang anak didik yang datang ke sekolah hanya diberi kesempatan untuk duduk, mendengarkan, mencatat, dan menghafal.

Seolah-olah anak didik telah dipenjarakan sekaligus diiingkari fitrah kemanusiaannya. Padahal, dengan pendidikan itulah merupakan salah satu sarana memerdekakan bangsa.

Advertisement

 

Kebebasan Bertanggung Jawab

Seberapa penting kebebasan dalam pendidikan? Pertanyaan ini merupakan sebuah pertanyaan reflektif, khususnya bagi para pelaku utama dunia pendidikan. Tentu pertanyaan ini adalah hal yang sangat penting.

Kebebasan bukan hanya sebatas hal-hal tabu yang sering dipikirkan banyak orang. Mengapa? Karena kebebasan dalam pengertian sempit sering mengakibatkan hal-hal yang tak diinginkan. Bebas mengeluarkan pendapat bisa berakibat ucapan-ucapan bahkan kebijakan yang kurang tepat.

Advertisement

Bebas memilih bisa berakibat pemilihan kegiatan yang cenderung melanggar norma-norma hukum dan agama. Tentulah kebebasan di sini dalam arti kebebasan yang diberikan kepada anak didik dalam meraih kesempatan untuk menjadi diri mereka sendiri. Anak didik bukan lagi sebatas kertas putih kosong yang hanya berhak diisi oleh kehendak pendidik.

Kebebasan yang ada haruslah kebebasan yang bertanggung jawab. Di sebuah institusi pendidikan, anak didik diberi kebebasan penuh. Itu bukan berarti boleh berbuat ”semau gue”, tanpa ada sedikit pun kendali.

Bebas yang bertanggung jawab berarti bebas yang disertai kesediaan menanggung risiko akibat kebebasan yang dipilihnya. Tentu pula dibatasi dengan prinsip kepentingan umum, kepentingan keadilan, dalam bingkai kemanusiaan.

Anak didik tentu harus menerima konsekuensi dari pilihan kebebasannya. Kebebasan bertanggung jawab yang dipilih tentu pula berkaitan dengan pilihan hierarki nilai tertinggi yang diputuskannya. Nilai-nilai tertinggi berarti berkaitan dengan pilihan-pilihan moral yang dipertanggungjawabkan.

Advertisement

Itulah sebabnya, dalam pendidikan penanaman kebebasan perlu menyentuh nilai-nilai moral, agar siswa tidak hanya menjalani kebebasan atas dasar kesediaan menanggung risiko tetapi juga berlandasan moral yang kuat.

Dengan begitu kebebasan tidak sekadar memberikan pilihan, tetapi juga memberi tempat untuk melatih anak didik bertanggung jawab. Bukankah kita tidak pernah ingin punya generasi penerus yang terjangkit virus tunamoral dan tunatanggung jawab?

 

Kemerdekaan

Ibarat sumur tanpa dasar, segala upaya membenahi pendidikan tanpa kontemplasi yang mendalam tentu akan bermuara kepada kesia-siaan, terutama jika anak didik tak diberi kesempatan untuk memerdekakan diri mereka. Barangkali di luar mereka tampak merdeka, tetapi jiwa mereka telah ”dikuasai” pihak asing agar kemerdekaan mereka tumpul, tak berdaya. Kebebasan mengekspresikan diri justru disegel oleh pihak-pihak yang bertanggung jawab atas masa depan anak didik.

Pendidikan yang baik tentu tak pernah terlepas dari bagaimana pendidik memahami seluk-beluk anak didiknya. Barangkali selama ini anak didik dimuliakan dengan sistem yang menurut paksaan, tapi dikhianati dengan kebebasan yang dikekang.

Advertisement

Alhasil, pendidikan tak lagi memandang setiap individu adalah makhluk yang unik. Wewengan mengatur dirinya sendiri untuk menjadi apa yang diinginkan telah hilang, menguap bersama harapan-harapannya yang kandas.

Pendidikan yang utuh tentunya membantu seseorang dalam mengembangkan kemampuan dirinya. Pendidik tidak bisa menjadikan setiap anak didik mainan dengan remote control. Pendidik tentu harus memahami bahwa anak didik adalah manusia finite akan hal-hal tertentu, bukan lagi infinite atas segala sesuatu.

Sekalipun pendidikannya mungkin baik dan berhasil, tetapi menjajah kebebasan anak-anak didik untuk mengekspresikan diri sama saja dengan mengurung mutiara yang berkilauan dalam sebuah tempat kecil yang terkunci.

Kita berharap semoga kita bisa menemukan suasana baru yang lebih segar dari upaya memerdekakan anak didik untuk menjadi apa yang mereka inginkan. Kita berharap pendidikan kita lebih memerdekaan. Semoga…

 

 

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif