Soloraya
Kamis, 6 Maret 2014 - 14:06 WIB

GAGASAN : Kegagalan Parpol dan Figur Palsu

Redaksi Solopos.com  /  Is Ariyanto  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Bambang Arianto bulaksumur4@yahoo.com Direktur Eksekutif dan Peneliti Politik Bulaksumur Empat Research and Consulting Yogyakarta

Bambang Arianto
bulaksumur4@yahoo.com
Direktur Eksekutif
dan Peneliti Politik
Bulaksumur Empat
Research and Consulting
Yogyakarta

Kontestasi Pemilihan Umum (Pemilu) 2014 yang serba bebas menjadikan penggunaan media pencitraan, terutama iklan politik dan lembaga survei, menjadi sebuah keniscayaan. Aspek personalisasi lebih dikedepankan ketimbang pencitraan melalui partai politik (parpol) pengusung.

Advertisement

Realitas ini disimpulkan demikian didasari banyaknya figur politik yang masih menggantungkan tingkat keterpilihan kepada iklan politik yang akhrinya banyak melahirkan figur palsu. Dampak dari semua itu di setiap daerah pemilihan acap kali kita temui lebih banyak iklan figur politik ketimbang iklan parpol.

Elektabilitas parpol akhirnya kalah jauh ketimbang figur politiknya. Hal ini diperkuat oleh terus merebaknya politik preferensi dalam kultur politik Indonesia. Sosok figur personal sampai saat ini dianggap lebih penting ketimbang platform apalagi ideologi parpol.

Jadi, menjelang kampanye terbuka dan dialogis, pastilah publik akan selalu disuguhi perang iklan politik antarfigur palsu. Ideologi dan platform parpol hanya dijadikan simboli dan pemanis politik.

Advertisement

Mereka—para politikus–tampil dengan balutan iklan seolah-olah sebagai figur sejati, merakyat, mengayomi, dan diterima oleh semua etnis. Sisanya kata-kata manis yang hiper-realitas. Personalitas memang diperlukan dalam era demokrasi langsung, sebab figur politik harus dikenal luas agar benar-benar tertancap di benak publik.

Dengan iklan politik yang gencar dan terus-menerus, aspek personalitas sang figur akan semakin meroket. Konsekuensinya, figur politik harus dipasarkan menurut gaya yang tidak berbeda dengan produk-produk dalam nalar konsumerisme dan selebritas.

Bahkan, terkadang iklan politik juga harus mengikuti segmentasi psikografi pemilih. Artinya, harus memperhatikan aspek kebiasaan, life style, dan perilaku yang mungkin terkait dengan isu-isu politik pemilih. (Firmanzah; 2011).

Hal ini didasari persepsi bahwa figur politik harus menggunakan media massa agar pesan-pesan politik mereka diterima oleh publik melalui suatu bentuk reportase ataupun pemberitaan politik tertentu oleh media (Mc Nair; 2003).

Advertisement

Ujung dari aktivitas ini tentu saja sebuah dukungan publik untuk mewujudkan tujuan-tujuan politik. Dalam menggapai popularitas, kandidat acap kali mengonstruksi diri dan berevolusi menjadi selebritas, yang kemudian menjadi figur palsu di mata publik.

Cornel J. dan Pels D. (2003) dalam Media and The Restyling of Politics menyatakan demokrasi langsung telah membuat ritme politik menjadi menggelombang ke dalam konsumerisme (consumerism), selebritas (celebrity), dan sinisme (cynism). Politik telah dikemas dalam ranah selera konsumen dan selebritas.

Popularitas memang membutuhkan ongkos politik yang tidak sedikit. Perang iklan akhirnya identik dengan perang pencitraan, perang popularitas dalam merebut simpati dan dukungan pemilih. Dalam jangka panjang keawetan sebuah parpol ditentukan oleh seberapa kuat institusinya, bukan seberapa besar pengaruh figurnya.

Figur politik bersifat jangka pendek karena terbatas pada durasi waktu dan cenderung palsu. Institusi adalah nilai, sistem kemandirian infrastruktur, dan citra. Citra hanyalah sebagian dari proses pelembagaan partai.

Advertisement

Namun, ini berbeda dengan partai baru, personalisasi menjadi kata kunci keberhasilan dalam jangka pendek. Untuk jangka panjang kelangsungan hidupnya bergantung pada proses pelembagaan. Oleh sebab itu, iklan figur politik secara personal dapat menjebak.

Figur politik itu penting, namun parpol lebih penting, sehingga jangan sampai parpol hanya dijadikan sebatas pemanis politik. Iklan politik yang saat ini bertebaran berupaya mencitrakan sosok yang diiklankan sebagai figur pemimpin yang arif, empatik, dan cerdas.

Mereka dengan lihainya memilih kata-kata yang persuasif, dengan diiringi pilihan redaksional yang memperjuangkan perubahan. Slogan-slogan pro rakyat dikedepankan. Slogan perubahan demi perbaiki kondisi bangsa dinilai dapat menjadi magnet dalam menggaet atensi pemilih.

Artinya, kebanyakan figur politik ingin didengar bila mereka mampu melakukan perbaikan yang hasilnya lebih baik ketimbang lawan politiknya. Persoalannya, publik pasti tidak dapat secara serta-merta menerima mereka sesuai dengan realitas, sebab dunia popularitas pastilah bersifat artifisial.

Advertisement

Rivalitas

Sepanjang sejarah nasional, partai politik telah mengalami kegagalan dalam melahirkan figur politik. Justru sebaliknya, figur politik yang melahirkan dan membesarkan partai politik. Sebut saja Soekarno melahirkan Partai Nasional Indonesia (PNI), Soeharto membentuk Golongan Karya (Golkar), Abdurrahman Wahid alias Gus Dur melahirkan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Megawati Soekarnoputri merekonstruksi Partai Demokrasi Indonesia (PDI) menjadi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Surya Paloh membentuk Partai Nasdem, dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) melahirkan Partai Demokrat (PD).

Kegagalan parpol melahirkan figur politik menjadikan pemilih setiap hari memiliki kecenderungan meninggalkan parpol (deparpolisasi). Sayangnya, niat dan sarana untuk menggali rekam jejak dan kesejatian sang figur politik masih sangat minim.

Hal ini diakibatkan pesan yang disampaikan secara lisan lebih mudah diterima, ketimbang bahasa tulis yang disampikan media massa. Pemilih juga kerap tergoda dan terbius oleh akal cerdik figur palsu. Artinya, realitas menyatakan daya tawar iklan politik masih sangat efektif dalam melejitkan tingkat popularitas dan elektabilitas seorang figur politik.

Personalitas itu perlu dalam politik, namun itu bersifat sementara. Yang abadi adalah pelembagaan politik. Ironis bila popularitas figurnya melejit, namun elektabilitas parpol jauh tertinggal.

Sistem proprosional terbuka berdampak pada kemungkinan rivalitas antarfigur politik. Oleh sebab itu, dalam proses pelembagaan parpol yang diperlukan adalah justru deparpolisasi politik.

Advertisement

Kegagalan parpol dalam menyemai figur politik harus ditutupi dengan program kerja dan pengaderan yang sistematis. Personalisasi tetap diperlukan dalam kancah politik, namun hendaknya harus dengan kadar yang proporsional dan masuk akal.

Parpol jelas membutuhkan figur politik yang berwajah publik. Bila proses pelembagaan kepartaian dapat berjalan, itu artinya publik dapat melihat kualitas kepemimpinan figur partai secara verbal, bukan sebatas sosok fisiknya saja.

*

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif