Soloraya
Rabu, 5 Maret 2014 - 13:11 WIB

GAGASAN : Kesadaran Mengemban Amanat Sejarah

Redaksi Solopos.com  /  Is Ariyanto  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Aloysius Waryono (Istimewa) aloyswaryono@yahoo.co.id Guru SMKN 2 Klaten Alumnus Pascasarjana Teknik Metalurgi Institut Teknologi Bandung

Aloysius Waryono
aloyswaryono@yahoo.co.id
Guru SMKN 2 Klaten
Alumnus Pascasarjana
Teknik Metalurgi
Institut Teknologi Bandung

Dalam sejarah umat manusia, dikenal banyak tokoh pemimpin, orang besar, yang bercita-cita setinggi bintang dan kemampuan sekeras baja. Pengaruh mereka luar biasa dan mencapai hasil yang mengagumkan.

Advertisement

Mereka rela menderita dan mengorbankan seluruh milik mereka, bahkan nyawa mereka, demi kejayaan nusa bangsa. Di antara mereka ada yang dijiwai cita-cita luhur dan membimbing rakyat ke tujuan yang mulia, seperti Soekarno, Hatta, Ki Hajar Dewantara, Jenderal Soedirman, Abraham Lincoln, Mahatma Gandhi, dan Nelson Mandela.

Ada yang hanya mencari nama dan kekuasaan seperti Napoleon dan Jenghis Khan. Ada pula yang ingin mengembangkan suatu ideologi, kelas, atau bangsa tertentu seperti Bennito Mussolini, Tenno Haika, dan Adolf Hitler.

Mereka adalah tokoh, orang besar, dan pemimpin yang memiliki daya tarik yang hebat. Mereka mampu ”menggenggam” banyak orang sehingga membuat mereka menjadi resah, gelisah, terguncang hati mereka, dan bangkit semangat mereka.

Ada yang mengagumi, memuji, dan meneladani. Ada pula yang merasa terganggu, mencurigai, membenci, memusuhi,  bahkan ingin membunuh mereka. Seorang besar belum temtu seorang pemimpin. Seorang pemimpin belum berarti pemimpin yang baik.

Dalam perjalanan sejarah bangsa ini ada pemimpin pemberontakan, pemimpin gerakan pengacau keamanan (GPK), pemimpin perampokan, pemimpin pembunuhan, dan pemimpin penipuan.

Dalam sejarah zaman ini ada pula pemimpin mafia jual beli perkara di lembaga peradilan, mafia pajak, mafia pemilihan kepala daerah, mafia narkoba, serta mafia korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Kebesaran pemimpin sering melenceng dari kebaikan dan kebenaran. Kepemimpinan sering menindas, memperbudak, dan mengisap darah sesama atau rakyat. Keringat, tangis, darah, dan nasib sesama atau orang lain bukanlah apa-apa.

Advertisement

Satu-satunya ukuran adalah sukses atau tidak. Ibarat patung, matanya hanya bisa memandang satu arah: sukses–kaya–berkuasa. Tak peduli di kepalanya banyak kotoran burung yang menempel.

Sejarah bangsa Indonesia ditaburi hiasan bintang-bintang orang besar, pemimpin, dan para pahlawan kusuma bangsa yang mampu menembus masa sulit, menelan berbagai krisis, dan meraih masa kejayaan. Mereka rela menderita, dipenjara, disiksa, bahkan mati demi kebenaran, kebaikan, dan masa depan nusa bangsa.

Jiwa patriot dan ksatria terus mengalir, bangkit, memberontak, dan melawan penindasan, penjajahan, ketidakadilan, kemiskinan, dan penderitaan rakyat. Kemerdekaan sebagai harga diri bangsa, hanya itulah impian mereka.

Kepandaian yang dimiliki dipakai untuk menggalang persatuan dan kesatuan bangsa. Kecerdasan untuk mempelajari berbagai alternatif pembangunan yang lebih baik agar tercipta bangsa Indonesia yang mampu berdiri di atas kaki sendiri dan mampu bersaing dengan negara-negara lain.

Aneka ragam suku, bahasa, kepercayaan, dan budaya menjadi modal utama untuk mempertebal perjuangan. Bangsa Indonesia bukan bangsa tempe. Itulah kata-kata Bung Karno untuk menggembleng bangsanya menjadi bangsa yang kuat, ulet, tahan bantingan, dan pantang mundur atau menyerah.

 

 

Advertisement

Historia Magistra

Kemerdekaan negeri ini bukanlah ”hadiah” bangsa lain, melainkan hasil kerja keras, perjuangan dan pengorbanan para pejuang dan founding fathers (bapak-bapak bangsa) se-Nusantara dengan aneka ragam latar belakang.

Semboyan bertumpah darah satu tanah air Indonesia, berbangsa satu bangsa Indonesia, dan berbahasa satu bahasa Indonesia terus menggema seantero Nusantara.

Sebagai bangsa yang besar, kebinekaan atau perbedaan latar belakang adalah anugerah yang harus terus disyukuri bersama dalam membangun negeri yang terbentang luas bagaikan serpihan surga yang terkenal kaya raya tanah airnya, luhur ajarannya, dan mulia cita-citanya.

Peristiwa sejarah mulai zaman revolusi prakemerdekaan sampai era reformasi hanya terjadi sekali. Tetapi, makna dan pengaruhnya sangat besar, sangat jauh, dan bersifat permanen.

Tidak ada satu pun manusia, terlebih para pemimpin atau penguasa, yang hidupnya lepas dari sejarah. Sejarah adalah saksi zaman, sinar kebenaran, kenangan hidup, guru kehidupan, dan pesan dari masa silam.

Hikmah peradaban adalah tidak ada kekinian tanpa kelampauan. Peristiwa sejarah masa lalu sekecil apa pun adalah guru kehidupan yang dapat memberikan pesan dari masa silam dalam konteks kekinian ruang dan waktu.

Advertisement

Menurut Nicollo Machiavelli, sejarah adalah guru kehidupan, historia magistra.  Dengan membanding-bandingkan berbagai peristiwa sejarah masa silam serta masa yang baru saja lewat maka dapat menimba ajaran-ajaran praktis.

Untuk itulah Soekarno selalu mengingatkan jangan sekali-sekali melupakan sejarah. Bangsa yang besar adalah bangsa yang selalu belajar dari sejarah dan menghargai jasa para pahlawannya.

Ketika sebuah bangsa telah lupa pada sejarahnya, bangsa itu akan kehilangan jati diri dan ”kesaktiannya”. Dan ”kesaktian” bangsa ini terletak pada kesetiaan menumbuhkan nilai-nilai ksatria sebagai pemimpin untuk mengemban amanat sejarah.

Pemimpin seperti apa yang mampu mengembang amanat sejarah? Banyak ahli yang mendefiniskan, tetapi pada hakikatnya sama. Pemimpin tersebut harus memiliki cita-cita setinggi bintang, visioner, rasa tanggung jawab, semangat berapi-api, cerdas merumuskan cita-cita, pandai berbicara, punya keseimbangan emosional, kepercayaan terhadap diri sendiri, serta tenaga yang berimpah-limpah.

Hal yang paling utama dalam kehidupannya ada keseimbangan antara tindakan dan ucapan. Tampak jelas, insaf, dan menganggap kepemimpinan itu sebagai suatu kesempatan untuk melayani atau mengabdi.

Para pengikutnya tidak hanya merupakan alat baginya untuk mencari keuntungan, nama, atau kekuasaan. Pemimpin bertanggung jawab atas perilakunya di masa lalu dan masa kini yang akan berdampak pada sejarah masa depan.

Kalau tidak demikian, ia sebetulnya hanya seorang penipu yang akan lari dan mengkhianati amanat sejarah. Menurut Jakob Sumardjo, sangat mudah menilai karakter seorang pemimpin yang mengemban atau mengkianati amanat sejarah.

Advertisement

Jakob berkata,”Masuklah sebuah kota, dan Anda akan mampu melihat bagaimana karakter para pemimpinnya. Sebab, wajah sebuah kota itulah wajah para pemimpinnya. Lubang-lubang di jalan, itulah lubang-lubang wajah dan hatinya. Kemesuman kota, itulah kemesuman pemimpinnya”.

Adalah aneh bin ajaib apabila para pemimpin punya rumah megah bak iklan di majalah, tetapi jalan di kota mereka bagaikan sungai di musim kering. Para pemimpin gemuk berlemak dan berpenampilan mewah tetapi rakyat miskin, menderita, bahkan ada yang mati karena busung lapar.

Anak–anak bangsa yang ingin sekolah agar pandai dan berguna untuk nusa dan bangsanya terancam keselamatan mereka karena gedung sekolah mereka rusak dan hampir ambruk.

Siklus Kehidupan

Zaman terus berubah. Perubahan zaman yang pesat di samping memuaskan kebutuhan tetapi juga menggusur nilai-nilai luhur bangsa. Di celah-celah kehidupan, rasa solidarias sosial dan faktor etis cenderung melemah.

Tujuan seolah-olah dapat menghalalkan berbagai cara. Kecenderungan mengutamakan hasil, kekuatan, dan jalan pintas lebih menonjol daripada prestasi, keringat, kejujuran, dan kebenaran.

Siklus kehidupan: sekolah (biaya)–pandai–lulus–bekerja (biaya)–sukses–berkuasa, terasa lebih dominan daripada: sekolah–pandai–berguna untuk nusa dan bangsa. Kecenderungan seperti itu tanpa disadari telah merebak ke berbagai aspek kehidupan masyarakat.

Advertisement

Berpola pikir matematis adalah hal yang wajar dan benar menurut pikiran sempit mereka dan akhirnya banyak pemimpin yang tidak amanah, ingkar janji, serta mengkianati amanat sejarah.

Pemimpin semacam itu tidak akan tahan melihat gebyar-gebyar kemewahan di sekitarnya. Tidak berdaya dengan pandangan masyarakat di kelasnya yang seolah-olah mengharuskan seorang pemimpin harus bermobil mewah, berumah mewah, dan berpenampilan mewah.

Maka, berbagai cara ditempuh untuk memenuhi ambisi agar bisa segera memamerkan kehebatan. Itu dilakukan di tengah kegalauan masyarakat yang sedang dilanda impitan ekonomi karena inflasi harga kebutuhan pokok yang tinggi, dan ironi banyaknya korupsi yang dilakukan para pejabat di hampir semua bidang baik eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di pendidikan Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhanas), 2 November 2013, memberikan pelajaran yang sungguh relevan dengan keadaan ini. SBY mengatakan pendidikan harus membuat manusia Indonesia tangguh, tidak mudah menyerah, tidak cengeng, tidak mengeluh, tak berbudaya saling salah meyalahkan, tak pesimistis, tak skeptis, dan tak berpikiran negatif.

Apa jadinya ketika foto-foto sejarah zaman ini kelak ditempel dan diceritakan sebagai zaman yang penuh kebohongan? Para pemimpinnya terlalu cengeng, manja, rakus, dan tamak. Bagaimana kalau perilaku mereka ini kelak dijadikan model tunas-tunas muda bangsa?

Salah siapa ketika para generasi muda banyak yang lari ke dunia maya (narkoba, seks bebas, perkelaian, mabuk-mabukan, dan kebut-kebutan)? Mereka malas belajar dan bekerja tetapi ingin hidup sukses dan bahagia selama-lamanya.

Di tengah krisis kepemimpinan dan keteladanan masih ada hiburan dan harapan atas prestasi anak bangsa, salah satunya yang ditunjukkan Joko Widodo, Gubernur DKI Jakarta, yang mantan Wali Kota Solo, yang menempati urutan ke-39 dari 134 tokoh dunia.

Advertisement

Majalah Foreign Policy di Amerika Serikat memuatnya dalam kategori challengers berkat aksi blusukan untuk melihat, mendengar, merasakan, berkomunikasi, agar segera dapat mencari solusi atas permasalahan yang dihadapi rakyat.

Demikian pula di tengah degradasi moral berupa korupsi, kerusakan lingkungan, kemiskinan, lunturnya kepedulian sosial, ternyata masih ada rakyat biasa dengan segala keterbatasan mampu melakukan hal yang luar bisa.

Irma Suryati asal Kebumen, Jawa Tengah, seorang lulusan SMA dan penyandang cacat, berhasil membangun industri kerajian dan mempunyai binaan sekitar 2.500 orang, termasuk kalangan pekerja seks komersial (PSK).

Dadang Heriadi, bekas pegawai Perusahaan Listruk Negara (PLN), rela mengorbankan hidupnya mengurus orang-orang gila yang menggelandang di Tasikmalaya. Sejarah akan tetap mencatat Irma dan Dadang sebagai sosok pahlawan kehidupan.

Dengan kekurangan dan keterbatasan, mereka mampu memberi, berbagi, dan mendarmabaktikan hidup untuk sesamanya yang membutuhkan bahkan disingkirkan.

Walaupun tidak kaya harta benda, tetapi hidup mereka lebih berkualitas, lebih terhormat, dan lebih kaya yang sesungguhnya daripada para pejabat di negeri ini yang ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Sebagai bangsa yang besar, meratapi kegagalan dan kejelekan, apalagi menyalahkan dan menumpahkan kesalahan pada sejarah masa lalu dan masa kini, jelas tidak akan menyelesaikan masalah.

Yang pasti semua anak bangsa harus memiliki kesadaan yang mendalam dan bertanggung jawab atas kesejarahan saat ini. Setiap dari kita mempunyai tanggung jawab yang sama untuk mengemban amanat sejarah dengan mencari solusi dan berbuat yang terbaik agar sejarah masa depan negeri ini  tak semakin kusut diterpa sang waktu.

 

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif