Soloraya
Jumat, 21 Februari 2014 - 13:17 WIB

GAGASAN : Ingatan Sejarah dan Prinsip Dakwah

Redaksi Solopos.com  /  Is Ariyanto  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Kalis Mardi Asih kalis.mardiasih@gmail.com Penulis, tinggal di Solo

Kalis Mardi Asih
kalis.mardiasih@gmail.com
Penulis,
tinggal di Solo

Aktivitas Front Pembela Islam (FPI) yang membubarkan bedah buku Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia Jilid IV, karya Harry A. Poeze di sebuah rumah di Surabaya pada Jumat malam (7/2) cukup unik.

Advertisement

Biasanya, aktivitas FPI selalu berkaitan dengan hal-hal ”syariat” seperti penertiban (sweeping) warung-warung penjual minuman keras (miras), meminta penutupan diskotek, pelarangan kegiatan yang diduga sebagai aliran sesat, atau  dalam kontroversi terkait pendirian rumah-rumah ibadah.

Saya nilai unik karena kali ini FPI “beraktivitas” di ranah kebebasan publik dalam menyampaikan kehendak dan kebebasan berpendapat. Hal tersebut tampak dari ucapan Ketua Bidang Nahi Munkar FPI Jawa Timur, K.H. Dhofir yang menjelaskan bedah buku tentang Tan Malaka lebih baik digelar di kampus.

Menurut dia, kampus adalah tempat belajar dan buku tersebut dapat dikaji secara ilmiah. Sedangkan aktivitas memebdah buku ihwal Tan Malaka di luar kampus tersebut dikhawatirkan dapat mengajak orang untuk beraktivitas yang tidak benar. Aktivitas FPI di Surabaya yang unik ini bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat.

Advertisement

FPI jamaknya beraktivitas menghentikan acara-acara yang menurut mereka tergolong kemunkaran. Hal yang perlu kita tanyakan adalah kemunkaran seperti apa yang mereka maksudkan terkait bedah buku tentang Tan Malaka itu?

Marilah kita mengkajinya. Tan Malaka adalah seorang Pahlawan Nasional yang ditetapkan Presiden Soekarno pada 28 Maret 1963 melalui Keputusan Presiden (Keppres) No. 53/1963.

Berkaitan dengan komunisme, Tan Malaka justru dianggap sebagai musuh terbesar Partai Komunis Indonesia (PKI) karena mendirikan Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Murba) pada 1948).

Nama Tan Malaka lebih bersinar karena karya tulisnya yang hidup dan menjadi referensi sejarah negeri ini. Pada 1925, Tan Malaka telah menulis Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia).

Advertisement

Mahakarya intelektual tersebut menyuarakan bahwa bangsa Indonesia harus bersegera merebut kemerdekaan dengan memahami situasi sosial dan ekonomi bangsa dengan belajar dari situasi politik dunia setelah Perang Dunia I pada 1914-1918.

Karya-karya lain yang dicatat sebagai bagian yang terpenting adalah Materialisme, Dialektika, Logika (Madilog); Aksi Massa;  dan Gerilya, Politik, dan Ekonomi (Gerpolek). Majalah Tempo pernah mengabadikan kehidupan Tan Malaka dengan tajuk Bapak Republik yang Dilupakan.

Tan Malaka dihapus dari ingatan bangsa ini karena ideologi komunis yang dia anut. Padahal, sebagai ideologi, komunis bukanlah suatu kejahatan. Ideologi komunis pernah dianut oleh sebagian warga bangsa kita secara legal.

Bahkan, tokoh PKI, Munawar Musso, adalah mantan pengurus Sarekat Islam dan tinggal di rumah H.O.S Tjokroaminoto bersama Soekarno, Alimin, Semaun, dan Kartosuwiryo. Namun, ketika Orde Baru berkuasa, ideologi ini diberangus.

Advertisement

PKI dibubarkan diikitu eksekusi mati dan pengasingan tokoh-tokohnya, bahkan simpatisan pun turut disikat, serta tidak sedikit rakyat jelata yang tidak tahu-menahu menjadi korban kekerasan setelah tragedi Gerakan 30 September 1965.

Pemakluman bangsa atas tragedi tersebut berhenti pada kenyataan sejarah bahwa rezim Soeharto berkuasa dengan didukung Amerika Serikat dan sekutunya. Rezim yang berkuasa selama 32 tahun itu didukung negara-negara liberal, yang tak lain merupakan negara-negara yang memusuhi komunisme.

Mitos ketakutan pada ”ekstrem kiri” hampir setiap hari diidoktrinasi oleh Orde Baru kepada rakyat. Fobia terhadap ideologi komunis telanjur mendarah daging pada bangsa yang dibesarkan rezim Orde Baru.

Satu lagi yang tidak boleh dilupakan oleh FPI adalah Tan Malaka pernah berpidato di Kongres Komunis Internasional pada 1922 dengan menyatakan bahwa Islam tidak sekadar agama, namun menyangkut semua hal, termasuk politik, ekonomi, dan sosial budaya sehingga perjuangan kemerdekaan semua yang tertindas adalah tanggung jawab persaudaraan semua muslim.

Advertisement

Tan Malaka adalah representasi muslim rahmatan lil alamiin. Bangsa Indonesia memiliki utang besar pada Harry A. Poeze, warga keturunan Belanda, yang mendedikasikan 40 tahun hidupnya untuk meneliti Tan Malaka. Pahlawan Nasional itu selalu menjadi mutiara lewat buah pikirnya.

 

Tafsir Kemerdekaan Berpendapat

FPI yang mengaku bertujuan menjaga dan mempertahankan harkat dan martabat Islam seharusnya mengkaji kembali bagaimana Islam sangat terbuka dalam hal kemerdekaan berpendapat.

Untuk itu saya ingin mengkaji kembali kaidah-kaidah dakwah dalam Islam dan prinsip-prinsipnya, wasilah (sarana-sarana), dan metode-metodenya. Dalam Alquran surat An Nahl (16) ayat 125, terdapat penjelasan tiga macam metode dakwah yang harus disesuaikan dengan sasaran dakwah.

Pertama, bilhikmah, yakni metode yang digunakan kepada cendekiawan yang memiliki pengetahuan tinggi. Dakwah bilhikmah adalah berdialog dengan kata-kata bijak sesuai tingkat kepandaian mereka.

Advertisement

Kedua, terhadap kaum awam diperintahkan untuk mau’izhah yakni memberikan nasihat dan perumpamaan yang menyentuh jiwa sesuai pengetahuan mereka yang sederhana.

Ketiga, terhadap ahl al-kitab dan penganut agama-agama lain yang diperintahkan adalah jidal, mujadalah billati hiya ahsan,  atau perdebatan dengan cara yang terbaik yaitu dengan logika dan retorika yang halus, lepas dari kekerasan.

Kata ”hikmah” menurut Endang Saifuddin Anshari dalam buku Wawasan Islam diartikan sebagai sesuatu yang bila digunakan/diperhatikan akan mendatangkan kemaslahatan dan kemudahan yang besar atau lebih besar, serta menghalangi terjadinya mudarat atau kesulitan yang besar atau lebih besar.

Lagipula, makna ”hikmah” ini secara sharaf berasal dari kata hakamah, yang berarti kendali. Dapat kita simpulkan, perwujudan dari hikmah adalah memilih perbuatan yang terbaik dan sesuai.

Memilih yang terbaik dan sesuai dari dua hal yang buruk pun dinamai hikmah, dan pelakunya dinamai hakim (bijaksana). Siapa yang tepat dalam penilaiannya dan dalam pengaturannya, dialah yang wajar menyandang sifat ini atau dengan kata lain dia adalah hakim.

Kaum radikal yang mengusung kekerasan sesungguhnya bertentangan dengan tajuk ”Islam” yang mereka gunakan sebagai semangat gerakan. Jika mereka bersembunyi di balik alasan bahwa perang dibenarkan pada masa Rasulullah sAW, kenyataannya perang yang dilakukan di masa Rasulullah lebih bersifat defensif (upaya untuk bertahan dari serangan lawan) dan bukan ofensif atau menyerang (Q.S. Al-Baqarah [2]: 191).

Selebihnya, Rasulullah mengajarkan umatnya untuk berdakwah dengan penuh kelembutan, kebijaksanaan, dan bertahap (at-tadarruj fi ad-da’wah). Secara retoris, pengurus dan anggota FPI berkali-kali menyatakan dukungan mereka terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), tetapi kenyataannya tidak demikian.

Perilaku mereka dengan merusak dan mengancam warga lain yang dianggap tidak sejalan dengan mereka merupakan ancaman serius bagi stabilitas negara. Kesetiaan pada NKRI tidak cukup dinyatakan lewat kata-kata, apalagi sekadar retorika kepura-puraan.

Kesetiaan itu harus dibuktikan dengan perilaku, tentu saja yang dimaksud adalah perilaku yang sesuai dengan Pancasila dan konstitusi. Sendi-sendi yang paling asasi dalam negeri ini  mencakup nilai-nilai tentang kemerdekaan dalam menyampaikan pendapat, yang tidak boleh digugat lewat jalan apa pun, apalagi lewat jalan kekerasan.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif