Soloraya
Selasa, 18 Februari 2014 - 17:04 WIB

MIMBAR KAMPUS : Liburan Bersama Buku dan Sinau

Redaksi Solopos.com  /  Is Ariyanto  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Lutfy Mairizal Putra lutfymputra@gmail.com Mahasiswa Jurusan Ekonomi Administrasi Universitas Negeri Jakarta

Lutfy Mairizal Putra
lutfymputra@gmail.com
Mahasiswa Jurusan
Ekonomi Administrasi
Universitas Negeri Jakarta

Kisah ini dimulai 30 Januari 2014. Ketika itu, saya berangkat dari Jakarta ke Solo untuk berlibur. Saya berangkat siang hari, pukul 14.00 WIB. Saya berangkat menggunakan kereta api dari Stasiun Pasar Senen, Jakarta.

Advertisement

Ini kali pertama saya bepergian jauh menggunakan kereta api. Sebelumnya, Bogor adalah jarak terjauh yang saya tempuh menggunakan kereta api. Itu pun tanpa tiket. Kini, saya kelimpungan, bagaimana caranya menggunakan kereta api menuju Solo.

Saya harus bertanya cara mengantre untuk membeli tiket, cara mengetahui gerbong kereta, juga nomor tempat duduk. Akhirnya, saya berada di dalam kereta api. Setelah duduk, saya harus memastikan kembali: apakah gerbong saya benar, tempat duduk saya tak salah?

Satu per satu penumpang memenuhi kursi kereta. Mereka berpakaian apik. Siap menghadapi liburan. Anak-anak muda tertawa riang bersama pasangan mereka. Orang tua berpenampilan rapi. Mungkin ingin melepas rindu bertemu keluarga.

Advertisement

Saya adalah tipe pelancong yang tak patut dicontoh. Saya tak punya persiapan. Tas hanya berisi pakaian dan buku. Saya pergi menuju Desa Gedongan, Kecamatan Colomadu, Karanganyar, Jawa Tengah. Saya hendak menghabiskan liburan panjang selama 14 hari.

Saya tak bermaksud untuk berlagak jadi borjuis, jadi pelancong, keluar dari ibu kota negara menuju desa di Karanganyar. Tak ada ruang untuk makanan di dalam tas. Apologinya, sebagai mahasiswa saya harus menghemat uang.

Namun, pergi jauh tanpa bekal itu hal bodoh. Beruntung, saya bertemu seorang tua yang mentraktir saya kopi hitam dan mi rebus. Ia sedang bahagia rupanya. Pagi harinya ia mengantarkan anaknya yang diterima menjadi pegawai negeri sipil.

Saya sampai di Stasiun Jebres, Solo, tengah malam, kira-kira pukul 00.30 WIB. Kedatangan kereta terlambat setengah jam dari jadwal yang tertera di tiket. Saya mesti menunggu teman saya yang datang dari Jakarta. Kami berbeda kereta.

Advertisement

Kawan saya berangkat pukul 16.00 WIB. Kata dia sampai Solo pukul 02.00 WIB. Namun, keterlambatan kereta juga menimpanya. Ia sampai di Stasiun Jebres, Solo pukul 06.00 WIB. Maklum, saya dan kawan saya  itu naik kereta kelas ekonomi.

Apa yang dilakukan mahasiswa saat mereka memiliki waktu untuk berlibur? Apakah seperti saya? Mahasiswa abad ke-21 menggunakan waktu berlibur mereka untuk berekreasi. Waktu senggang menjadi penebusan diri mencari penghiburan, lepas dari kesibukan belajar dan mengerjakan tugas yang selalu datang bertubi-tubi.

Maka, tempat tujaan mereka untuk melakukan ritual perayaan waktu senggang jamaknya adalah mal, rumah makan, tempat wisata. Berlibur dipahami dengan kegiatan meninggalkan rumah.

Apakah liburan saya berbeda dengan mereka? Saya berlibur meninggalkan rumah untuk datang ke rumah. Maksudnya? Selama 14 hari saya berlibur dengan tujuan sinau, mengikuti acara aneh, yakni Residensi Literasi: 14 Hari, Sinau!

Advertisement

 

Laku

Saya meninggalkan buku perkuliahan untuk bertemu ribuan buku di Bilik Literasi di Desa Gedongan, Kecamatan Colomadu, Karanganyar. Artinya, saya dari kota ke desa untuk sinau, membaca, menulis, sepanjang 1–14 Februari 2014, dari pagi sampai malam.

Saya bukan satu-satunya mahasiswa yang datang di rumah itu. Di sana juga datang mahasiswa dari Jogja, Jepara, Salatiga, Solo, Semarang, Tulungagung, dan Kediri. Kami sinau bersama. Kami mempelajari berbagai hal: menulis esai sampai ualasan buku, siasat mendengar sampai berbicara.

Advertisement

Ritus kemahasiswaan tak harus ditinggalkan saat berlibur. Liburan tak berarti meninggalkan buku. Liburan tak berarti membuat buku merasa sepi tanpa ada tangan yang membolak-balik tiap halamannya, menorehkan catatan, membuat kertasnya tak lurus lagi karena terkena keringat si pembaca.

Saya jadi teringat Soe Hok Gie, mahasiswa yang dikenal sebagai motor demonstrasi ada masa 1960-an. Sebagai mahasiswa, Gie [ada pula yang menyapanya dengan Soe] sibuk sekali. Ritusnya selama menjadi mahasiswa, selain berdemonstrasi adalah menulis, membaca, berdiskusi.

Walau kutu buku, Gie tak anti dengan liburan. Gie bahkan mendirikan komunitas pencinta alam. Kegiatan komunitas pencinta alam itu adalah pergi berlibur menjauhi rumah. Apa yang dilakukan Gie saat berlibur? Gie mengajak seoran kawan perempuannya mengunjungi Candi Prambanan.

Perempuan kawan Gie itu sempat khawatir akan mitos Rara Jonggrang: pasangan yang datang ke sana akan mengalami patah hati, “putus cinta”. Akhirnya, Gie pergi sendiri. Gie takjub ketika melihat candi induk yang megah. Kemegahannya menjadi dramatis ketika sinar bulan dan lampu sorot meneranginya. Gie merasa seolah-olah berhadapan dengan raksasa.

Gie duduk termenung ditemani suara sayup-sayup gamelan dari jauh. Gie termenung. Ia berkontemplasi mengenai persoalan yang dihadapinya dan dihadapi bangsanya. Tahun 1969 bukanlah tahun yang damai bagi Indonesia.

Suasana kala itu masih mengandung kecurigaan dan kehati-hatian. Beberapa tahun sebelumnya peristiwa besar telah terjadi. Pembantaian ribuan manusia Indonesia, dan kini tak banyak mahasiswa yang mengetahuinya.

Advertisement

Selama liburan, Gie tetap sinau. Sinau tak sama dengan belajar. Belajar kita pahami berada dalam ruangan tertentu. Berhadapan dengan buku dan guru. Sinau berada dalam konteks bernuansa Jawa. Sinau dipahami dengan melakukan ritus keseharian.

Belajar bukan berarti mengisolasi diri, tapi juga melakukan kegiatan: mencuci piring, mengepel, memasak, mencuci pakaian, mencabuti rumput liar, mendengarkan musik. Dalam konteks Gie, walau ia sedang mencari penghiburan, ia tetap berpikir tentang dan bangsanya.

Saya tak ingin sama dengan Gie, tapi tetap menginginkan liburan yang beradab sekaligus intelektual. Mahasiswa abad ke-21 kehilangan laku. Dalam konteks Jawa, laku melibatkan proses internal yang mendalam. Proses yang total. Mahasiswa abad ke-21 tak berangkat dari buku dalam berpikir.

Pikiran mereka tak ampuh untuk melihat realitas yang mereka alami. Mahasiswa sering melihat dan mengartikan dunia dengan ”membeli”  melalui perangkat teknologi, bukannya menjadi manusia produktif dengan buku, peristiwa, ide, tulisan.

Laku mahasiswa sekarang adalah hura-hura, kesenangan tak berbatas, kesiaa-siaan, akibat mengejar hiburan, bahkan mencanduinya. Akhirnya, saya sadar, berlibur dengan buku dan sinau adalah usaha untuk menjadi manusia beradab.

Berlibur yang saya lakoni beberapa hari lalu adalah pergi meninggalkan kota kelahiran dan tempat tinggal menuju ke desa untuk sinau bersama  mahasiswa lain yang berarti kesadaran atas laku intelektual, yang tak mutlak harus dijalani di kampus dan kota.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif