Soloraya
Sabtu, 15 Februari 2014 - 14:48 WIB

GAGASAN : Membangun Ketergantungan dan Keterbelakangan

Redaksi Solopos.com  /  Is Ariyanto  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Mulyanto yanto.mul@gmail.com Dosen di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sebelas Maret (UNS) Kepala Pusat Informasi dan Pembangunan Wilayah LPPM UNS Solo

Mulyanto
yanto.mul@gmail.com
Dosen di Fakultas
Ekonomi dan Bisnis
Universitas Sebelas Maret (UNS)
Kepala Pusat Informasi
dan Pembangunan Wilayah
LPPM UNS Solo

Tahun 2014 oleh banyak pihak disebut sebagai tahun politik. Pada tahun ini akan dipilih wakil rakyat dan pemimpin bangsa yang akan menentukan seperti apa wajah pembangunan Indonesia untuk kurun waktu lima tahun mendatang (2015-2019).

Advertisement

Para wakil rakyat dan pemimpin hasil Pemilihan Umum (Pemilu) 2014, seperti yang diharapkan mantan Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Ahmad Syafii Maarif (ASM), saat berpidato dalam pelantikan pengurus Himpunan Indonesia untuk Pengembangan Ilmu-Ilmu Sosial (HIPIIS) di kampus Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, 29 Januari 2014, semestinya adalah para wakil rakyat dan pemimpin yang mempunyai sifat unggul akan nilai-nilai kebangsaan serta kenegarawanan.

Sebuah sistem demokrasi yang berada di tangan politikus yang defisit nilai-nilai kebangsaan dan kenegarawanan tidak akan menjadi solusi penerang bagi bangsa Indonesia, tetapi justru akan menjadi racun yang mematikan harapan rakyat banyak.

Kehadiran para politikus yang tunavisi dan tunamoral di panggung politik nasional maupun daerah akan semakin memperpanjang penderitaan rakyat dan memperberat beban yang harus dipikul bangsa Indonesia dan generasi berikutnya. Politikus dalam kategori ini biasanya juga jauh dari nilai-nilai tanggung jawab dan nilai-nilai kejujuran. Dalam kondisi seperti sekarang ini, ASM berharap perguruan tinggi (PT) mulai bicara lantang.

Advertisement

Sikap membisu PT terhadap masalah-masalah kebangsaan dan kenegaraan sama artinya dengan membiarkan negeri ini terlunta-lunta dalam upaya meraih tujuan kemerdekaan berupa tegaknya keadilan yang merata bagi seluruh rakyat.

Kemerdekaan dapat dilihat dari semakin jauhnya kita dari ketergantungan kepada pihak asing, dan juga semakin jauhnya penduduk dan masyarakat negeri ini dari kondisi keterbelakangan di semua aspek kehidupan. Kerisauan terhadap keterbelakangan pernah menjadi pertanyaan besar para ekonom di Amerika Latin pada 1965.

Mereka berusaha mencari serangkaian faktor yang menjadi penyebab timbulnya masalah tersebut. Hasil diskusi para ahli ini kemudian melahirkan Deklarasi Ekonomi Amerika Latin (Sritua Arief dan Adi Sasono, 2013). Salah satu butir dari deklarasi tersebut menyatakan rintangan utama yang menghambat dan merusak perkembangan ekonomi dan sosial di Amerika Latin bersifat struktural, baik yang terdapat dalam struktur ekonomi, struktur sosial, maupun dalam sifat ketergantungan terhadap kekuatan asing.

 

Advertisement

Tesis Ketergantungan

Sifat ketergantungan terhadap kekuatan asing ternyata menjadi faktor dominan yang membawa Amerika Latin berada dalam kondisi ekonomi yang terbelakang. Situasi ini oleh para pencetusnya, yaitu Andre Gunder Frank, Fernando Henrique Gardoso, Theotonio Dos Santos, dan Samir Amin; dinamakan sebagai Tesis Ketergantungan (Dependency Thesis).

Tesis ini menyatakan faktor utama yang menjadi penyebab keterbelakangan negara-negara Amerika Latin yang begitu kaya dengan bahan-bahan mentah adalah proses eksploitasi dan perampasan oleh pihak asing sebagai akibat hubungan ekonomi dengan pihak asing yang sifatnya tidak seimbang dan tidak adil.

Pada mulanya berkembang suatu teori yang menyatakan kemajuan ekonomi di negara-negara miskin akan terjadi sebagai akibat hubungan dengan negara maju yang akan mendatangkan aliran modal, peningkatan keterampilan dan teknologi, perkembangan nilai-nilai kelembagaan/institusi, dan faktor dinamis lainnya ke negara-negara miskin.

Advertisement

Dalam perkembangannya, tesis ketergantungan mendapat kritik dari para pemikir dari luar Amerika Latin. Richard Fagen, Ivar Oxaal, Christian Palloix, dan Ranjit Sao, misalnya, menyatakan proses eksploitasi yang terjadi di negara miskin karena mendapatkan bantuan dari kekuatan dalam negeri.

Kelas-kelas yang membantu proses eksploitasi ini disebut sebagai kelas komprador (compradore class), yang tidak lain merupkan sekelompok orang yang terlibat langsung dalam proses penindasan dan perampasan di negaranya sendiri, tanpa memikirkan nasib dan penderitaan rakyat/masyarakat di sekelilingnya.

Kritik yang terakhir ini justru menjadi penguat terhadap tesis ketergantungan, sehingga secara keseluruhan analisis menjadi satu-kesatuan utuh yang disebut sebagai Tesis Ketergantungan dan Keterbelakangan (Dependency and Underdevelopment Thesis). Tesis pembangunan yang terakhir ini dianut oleh  banyak pemikir di negara miskin dan terbelakang untuk keluar dari cengkeraman negara asing yang hanya ingin mengeruk keuntungan dari negara-negara berkembang yang kaya sumber daya alam tetapi belum mampu mengolahnya sendiri.

Apa yang terjadi di Amerika Latin beberapa waktu yang lalu sepertinya mirip dengan kondisi yang terjadi di Indonesia untuk beberapa kurun waktu yang lalu hingga saat ini. Capaian keberhasilan pembangunan yang sering dipaparkan pemerintah masih menyisakan masalah besar berupa tingginya angka kemiskinan dan semakin besarnya indeks ketimpangan dalam distribusi pendapatan antargolongan penerima pendapatan.

Advertisement

Proyeksi capaian tingkat kemiskinan dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional 2010-2014 yang diharapkan akan mencapai angka 8% pada akhir 2014, pada tahun kemarin (2013) masih berada pada angka 11,47% (atau sekitar 28,55 juta jiwa). Pada tahun yang sama, tingkat kemiskinan di Jawa Tengah masih sebesar 14,44% (atau sekitar 4,86 juta jiwa).

 

Ketimpangan Distribusi

Di lain pihak tingkat ketimpangan distribusi pendapatan yang diukur dengan indeks gini (gini ratio/GR) pada 2013 untuk nasional mencapai 0,42, sedangkan di Jawa Tengah mencapai angka 0,39. Meskipun besaran GR yang berada pada rentangan nilai 0,30-0,50 masih masuk dalam kategori ketimpangan sedang, tetapi kecenderungannya menunjukkan tren yang semakin meningkat (semakin ke bentuk/pola ketimpangan berat/tinggi).

Hal ini akan membawa implikasi semakin tidak meratanya distribusi pendapatan antargolongan penerima pendapatan di Indonesia pada umumnya dan di daerah pada khususnya. Jangan-jangan anekdot para ahli/tokoh sosial yang menyatakan ”yang kaya semakin banyak harta, yang miskin semakin bertambah anaknya” akan terbukti.

Hal ini tentu membahayakan proses pembangunan yang sedang berlangsung di Indonesia. Pada tingkat lokal, khususnya di wilayah Soloraya, ketimpangan dalam distribusi pendapatan menunjukkan kondisi yang semakin memburuk (lihat Tabel 1, baris terakhir/rerata, kolom 3–5), di mana Kabupaten Karanganyar mempunyai indeks ketimpangan paling tinggi (lihat tabel 1, baris 4, kolom 7).

Advertisement

Sementara untuk tingkat kemiskinan, Kabupaten Sragen menempati urutan teratas dalam hal persentase tingkat kemiskinan penduduk yang paling besar/tinggi (lihat tabel 1, baris 6, kolom 10). Berdasar pada narasi dan data pendukung di atas, pertanyaan yang muncul adalah: apakah pada 2014 ini bangsa Indonesia akan berhasil memilih para wakil rakyat dan pemimpin yang mempunyai sifat unggul dan punya nilai-nilai kebangsaan serta kenegarawanan?

Sifat negarawan berdasar versi ASM adalah sosok pemimpim yang tidak bisa dan tidak biasa berpura-pura, ucapan dan tindakannya adalah suara hati nuraninya. Antara otak, hati, dan perbuatan tidak diberi peluang untuk pecah kongsi. Otak berpikir jernih, hati memancarkan kearifan, perbuatan hanyalah mengaktualisasikan kejernihan dan kearifan, yang kesemuanya ditujukan untuk mengurus masalah-masalah negara dan bangsa.

Seorang negarawan membangun program atas dasar kebenaran yang kukuh, tak berubah, dan mendasar. Dengan pedoman moral yang diyakininya, seorang negarawan tidak hanyut dan dipermainkan oleh opini publik dan menyesuaikan dirinya dengan opini publik tersebut.

Seorang negarawan tidak memerintah berdasarkan jajak pendapat opini publik. Visinya tentang ke mana rakyat dan negerinya harus dibawa terbaca dengan jelas, bukan saja untuk masa dekat, tetapi juga masa jauh menembus masa depan.

Pada 2014 ini, kita semua punya peran besar untuk memilih dan menghasilkan wakil rakyat dan pemimpin bangsa yang diharapkan mampu membangun kemajuan dan peradaban bangsa yang lebih baik, dan bukan sebaliknya, memilih dan menghasilkan wakil rakyat dan pemimpin yang hanya bisa membangun dan melestarikan ketergantungan ke pihak asing, serta hanya mampu menghasilkan keterbelakangan penduduk dan masyarakat yang diwakilinya, seperti pada judul di atas.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif