Entertainment
Senin, 10 Februari 2014 - 04:14 WIB

SLAMET GUNDONO MENINGGAL : Ada Wayang Sampah di 40 Hari Meninggalnya Slamet Gundono

Redaksi Solopos.com  /  Rahmat Wibisono  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Aksi dalang Azis Wisanggeni saat mementaskan lakon Dasamuka Kalah Sama Dalang di Sanggar Tanggul Budaya, Danukusuman, Serengan, Solo, Minggu (9/2/2014). Pementasan ini menjadi salah satu kegiatan dalam Gerilya Budaya Mengeti Slamet Gundono yang digelar Komunitas Tanggul Budaya. (Mahardini Nur Afifah/JIBI/Solopos)

Solopos.com, SOLO — Komunitas Tanggul Budaya memperingati 40 hari meninggalnya dalang wayang suket Slamet Gundono dengan menggelar Gerilya Budaya Mengeti Slamet Gundono di Taman Budaya Surakarta (TBS), Minggu (9/2/2014) siang. Ada wayang sampah yang dipertunjukkan dalam kesempatan itu.

Tak ada kelir yang menjadi latar pertunjukan itu. Tujuh niyaga menjadi satu-satunya pemandangan pendukung sajian pertunjukan utama. Bedhol kayon yang lazimnya menggunakan gunungan, diganti sapu lidi. Sementara sang dalang yang berambut gimbal, mengawali pementasan dengan suara keprekan yang dihasilkan dari pukulan stik drum pada loyang bekas.

Advertisement

Begitulah pembukaan pertunjukan wayang sampah oleh dalang Azis Wisanggeni saat mementaskan lakon Dasamuka Kalah Sama Dalang di Sanggar Tanggul Budaya, Danukusuman, Serengan, Solo. Pementasan ini menjadi salah satu kegiatan dalam Gerilya Budaya Mengeti Slamet Gundono.

Jauh dari kesan klasik dan elegan pada pentas pertunjukan wayang kulit tradisional, karakter utama wayang yang digunakan dalang asal Kecamatan Kayen, Kabupaten Pati ini terbilang sederhana. Tubuh Dasamuka yang gagah dibuat dengan kombinasi bekas mainan plastik, botol detergen cair, dan dibalut dengan alumunium foil bekas.

Advertisement

Jauh dari kesan klasik dan elegan pada pentas pertunjukan wayang kulit tradisional, karakter utama wayang yang digunakan dalang asal Kecamatan Kayen, Kabupaten Pati ini terbilang sederhana. Tubuh Dasamuka yang gagah dibuat dengan kombinasi bekas mainan plastik, botol detergen cair, dan dibalut dengan alumunium foil bekas.

Dikisahkan Azis, Dasamuka yang kadung gandrung dengan Dewi Sinta rela mengorbankan harta dan keluarganya. Semua cara untuk memukau istri Rama ini ditempuh Dasamuka. Hingga dua keponakannya yang merupakan putra Kumbakarna, Prabu Kumba Kumba dan Prabu Asmani Kumba, gugur di medan laga untuk mempertahankan Alengka.

“Sinta… Sinta. Kurang apa aku dulu? Istana aku punya. Sementara kamu cuma diajak buru celeng dan kidang [oleh Rama]. Apakah semuanya harus aku korbankan? Termasuk adikku Kumbakarna, hanya untuk mendapatkan cintamu. Edan! Perempuan zaman sekarang bikin ngelu,” ratap Dasamuka mengetahui dua keponakannya terbunuh.

Advertisement

Akhir lakon carangan (lakon ciptaan baru) yang dibawakan dalang yang enggan disebut Ki ini dibuat mengambang. Bagi Azis, dalang tidak punya otoritas mematikan karakter wayang yang ia mainkan. Begitu juga dengan pemberian label baik atau jahat. Para penonton yang berhak memberikan penilaian.

Wayang sampah bukanlah medium penyampaian pesan sosial tanpa tujuan. Bagi Azis, ini menjadi kritik bagi dalang wayang kulit yang biasanya memasang harga selangit untuk pertunjukan mereka. Semua itu dia lakukan untuk meniru Gundono.

“Saya mencoba meniru Slamet Gundono. Tiga tahun yang lalu kami bertemu saat dia pentas di Kayen untuk mendukung demo penolakan pembangunan pabrik semen di Pati. Setelah itu saya tergerak memainkan wayang sampah. Saya prihatin saat masyarakat mau wayangan mereka harus membayar mahal,” ujar Azis selepas pementasan.

Advertisement

Selain membuat pertunjukannya bisa dijangkau semua kalangan, pengajar Bahasa Indonesia di SMAN 2 PGRI Kayen, Pati ini, juga menggandeng murid-muridnya menjadi niyaga dan penari. Baginya, ini menjadi salah satu ajaran Slamet Gundono yang mau berbaur dengan pelaku seni dari semua golongan.

“Slamet Gundono kreatif saat menggarap lakon. Carangan ini saya coba kembangkan seperti dia. Selain itu, beliau juga sosok yang mau berbaur dengan semua kalangan. Ini yang menginspirasi saya untuk melanjutkan perjuangannya dengan medium wayang sampah,” katanya.

Tak hanya wayang sampah, sejumlah seniman dan kelompok seni lain seperti Galuh Tulus Utama (Gresik), Teater Ruang (Solo), komunitas seni asal Sangiran dan Tawangmangu, Teater Reakses (Pekalongan), Teater Kusuma (Surabaya), Borneo Syndicate, Tonny Broer (Bandung), dan tahlil bersama Komunitas Gusdurian Klaten, turut mengisi acara yang digelar seharian itu.

Advertisement

Ketua penyelenggara acara, Joko Bibit Santoso, mengatakan kegiatan mengenang Slamet Gundono ini sengaja melibatkan seniman muda asal berbagai daerah. “Solo sekarang ini saya lihat sedang krisis regenerasi seniman muda yang kreatif seperti Gundono, maka kami libatkan seniman muda,” ujarnya.

 

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif