Entertainment
Sabtu, 8 Februari 2014 - 02:16 WIB

DALANG MUDA : Pentas Wayang Unik Ala Ki Purwacarita

Redaksi Solopos.com  /  Rahmat Wibisono  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Ilustrasi pergelaran wayang kulit (Farida Trisnaningtyas/JIBI/Solopos)

Solopos.com, SOLO — Dalang muda asal Klaten, Arif Hartarta, atau yang akrab disapa Ki Purwacarita, secara perdana bakal mementaskan lakon Sutasoma di Dukuh Srebeggede RT 008/RW 004, Desa Trucuk, Kecamatan Trucuk, Klaten, Kamis (13/2/2014) malam.

Tak hanya menampilkan lakon di luar pakem epik Ramayana-Mahabarata, pentas wayang kulit semalam suntuk ini akan diabadikan dengan aksi melukis spontan oleh enam perupa asal Soloraya antara lain Tunter, Yudi, Ompong, Jhoni, Black, dan Ninggar.

Advertisement

Ki Purwacarita mengatakan pementasan ini telah direncanakan sejak pertengahan 2013 lalu. Berbekal riset komprehensif dengan mengumpulkan data dari Kakawin Sutasoma dan naskah Cantakaparwa, dalang lulusan Magister Kajian Budaya Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo ini berani menampilkan kisah di luar pakem wayang kulit purwa.

“Memahami Sutasoma memang tidak bisa dibaca sendirian. Dibutuhkan intertekstualitas [istilah seni, memahami makna dari sebuah karya] dari Cantakaparwa. Di Jawa sepengetahuan saya belum pernah dipentaskan dalam bentuk wayang kulit. Kalau di Bali dijadikan kidungan,” terangnya ketika menggelar jumpa pers di Omah Sinten, Jumat (7/2/2014) sore.

Menurut Ki Purwacarita, dirinya tergerak mementaskan Kakawin Sutasoma karena lakon ini menjadi bagian sejarah bangsa. “Motto negara ini dipilih dari Sutasoma. Di samping itu nilai yang terkandung dalam cerita ini bisa menunjukkan perjalanan transendental [bersifat kerohanian] Sutasoma. Perjalanannya menemukan pencerahan bisa menaklukkan sang kala dengan humanisme,” ujarnya.

Advertisement

Selain menggandeng enam perupa untuk mengabadikan lakon Sutasoma yang ia pentaskan, Ki Purwacarita juga bakal tampil spesial dengan mengenakan beskap yang sudah dilukis pelukis asal Solo, Guh S. Mana. Dia mengaku sengaja mengajak sejumlah seniman karena ingin memupuk rasa persaudaraan antarseniman.

“Saya sengaja menggandeng rekan seniman untuk memupuk rasa persaudaraan sesama seniman. Di Klaten sendiri iklimnya jegal-jegalan. Nanti saya juga pakai pakaian serba hitam untuk memperingati 1.000 hari meninggalnya ibu saya. Beskap yang saya pakai dilukis Guh S. Mana dengan tinta akrilik dari Belanda,” urainya.

Perwakilan perupa yang ikut dalam mengabadikan lakon Sutasoma, Jhoni, mengatakan dirinya bakal merespons lakon yang dibawakan Ki Purwacarita secara spontan. “Saya akan menyajikan satu karya seni rupa yang bisa mewakili pementasan semalam suntuk ini. Kami nanti akan pakai kanvas terpisah dengan kombinasi media basah dan kering. Untuk melukis spontan ini hasilnya pasti akan beraliran ekspresif. Yang penting bisa menyimbolkan Bhinneka Tunggal Ika,” imbuhnya.

Advertisement

Lakon Sutasoma diawali dengan kisah kehidupan penguasa Ratnakanda, Prabu Purusada, yang gemar menyantap daging manusia. Suatu ketika, kaki cucu Patih Sengkuni ini terkena tembakan anak panah. Prabu Purusada frustasi dengan luka kecil di kakinya yang tak kunjung sembuh.

Dirinya pun bersumpah akan mempersembahkan 100 kepala raja jika penyakitnya sembuh. Permohonannya dikabulkan Batara Kala. Demi menepati janjinya, Prabu Purusada mulai menaklukkan penguasa di negeri tetangga.

 

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif