Soloraya
Kamis, 6 Februari 2014 - 06:40 WIB

BIROKRASI BOYOLALI : Keprihatinan Tokoh Agama Terus Bergulir

Redaksi Solopos.com  /  Anik Sulistyawati  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Ketua DPRD Boyolali, S Paryanto (JIBI/Dok)

Solopos.com, BOYOLALI–Keprihatinan dari kalangan umat beragama terkait dinamika politik dan birokrasi di Boyolali terus bergulir. Setelah Syuriah PCNU Boyolali, KH Abdul Khamid, kini giliran tokoh agama dari Muhammadiyah dan tokoh Kristiani mulai angkat bicara. Ketua Muhammadiyah Boyolali, Ali Muchson, bahkan tengah menyiapkan gerakan keprihatinan terhadap kepemimpinan Bupati Boyolali, Seno Samodro. Menurutnya, pemerintahan Boyolali saat ini lebih buruk dari order baru.

“Kami ingin sekali menyampaikan ungkapan keprihatinan kami terhadap pemerintahan di Boyolali sekarang. Bahkan ada usul dari beberapa ulama, bahwa perlu digelar mujahadah atau doa bersama untuk Bupati,” kata Muchson, saat ditemui Espos, Selasa (4/3/2014).

Advertisement

Menurut Muchson, keprihatinan ini layak disampaikan karena kondisi birokrasi dan manajemen di Boyolali saat ini dinilai lumpuh. Dia menilai, pegawai negeri sipil (PNS) di Boyolali sudah tidak ada yang mempunyai orientasi kerja dan konsen menyusun program kerja. “Semua berada di bawah tekanan mutasi. Banyak sekali PNS yang menyampaikan kepada saya, mereka bilang minta maaf karena untuk sementara ini harus tunduk dan manut terhadap pemimpin yang ada saat ini.”

Dengan adanya kata ‘sementara ini harus tunduk’, menurut Muchson, ada wujud tekanan dan keterpaksaan dari PNS. “Ini masih lebih baik karena terpaksa, artinya PNS sebenarnya tahu bahwa ada yang tidak benar dalam perjalanan birokrasi ini.”

Advertisement

Dengan adanya kata ‘sementara ini harus tunduk’, menurut Muchson, ada wujud tekanan dan keterpaksaan dari PNS. “Ini masih lebih baik karena terpaksa, artinya PNS sebenarnya tahu bahwa ada yang tidak benar dalam perjalanan birokrasi ini.”

Tekanan ini begitu dirasakan pihak Muhammadiyah ketika 30 guru Muhammadiyah di Boyolali tiba-tiba dimutasi dengan jarak yang sangat jauh. “Dari beberapa guru yang dimutasi, waktu itu ada beberapa yang bisa dikembalikan dekat tapi dengan kontrak politik tertentu.”

Mengenai bentuk keprihatinan yang akan disampaikan kalangan ulama, Muchson menyebutkan bahwa langkah itu semestinya tidak hanya berhenti pada penyampaian keprihatinan. Menurutnya, perlu ada pendekatan agama atau terapi spiritual kepada pejabat yang sedang mengalami trauma dan kinerja yang lumpuh.

Advertisement

Pihaknya juga cukup menyayangkan karena selama ini DPRD yang semestinya diharapkan untuk bisa mengawasi kinerja birokrasi juga tidak berjalan sesuai fungsinya.

Ungkapan keprihatinan juga disampaikan Tokoh Umat Kristiani Boyolali, Sarijo, yang didasarkan pada opini yang berkembang mengenai jalannya pemerintahan saat ini.

Sejak awal kepemimpinan Bupati Seno Samodro, Sarijo tidak melihat adanya pembangunan yang riil dalam rencana pembangunan jangka menengah dan pendek Kabupaten Boyolali.

Advertisement

“Masalah utama Boyolali yang harusnya diselesaikan dalam RPJM sama sekali tidak terlihat. Anggaran Boyolali yang sudah mencapai Rp1 triliun lebih itu untuk menyelesaikan masalah apa? Apakah hanya perkantoran saja yang menjadi prioritas?”

Pihaknya juga cukup menyayangkan, karena dalam kehidupan berdemokrasi seperti sekarang ini, pendapat masyarakat yang berbeda sama sekali tidak diakomodir bahkan cenderung disingkirkan. “Saya berharap semua masyarakat yang merasa punya Boyolali wajib menyelesaikan masalah ini bersama-sama.”

Menyambung persoalan keprihatinan yang disampaikan kalangan ulama, Ketua DPD PKS Boyolali, Syaifudin, menyatakan partai siap duduk bersama dengan kalangan ulama dari berbagai paham termasuk tokoh agama terkait upaya menyelesaikan persoalan di Boyolali. Bahkan pihaknya mengklaim tetap komitmen sebagai partai oposisi.

Advertisement

“Bahkan belum lama ini saya juga bertemu dengan KH Khamid sedikit berdiskusi bahwa ada urusan kemaslahatan umat yang mesti diselesaikan bersama.”

Sementara itu, Ketua DPRD Boyolali, S.Paryanto, saat dimintai tanggapan mengenai keprihatinan para ulama ini menyebutkan bahwa hubungan Bupati dengan DPRD selama ini adalah lembaga formal.

“Apa yang kami lakukan sudah didasari norma yang ada dan apa yang kami putuskan adalah untuk kepentingan masyarat. Kalau ada yang tidak puas itu hak semua orang. Alim ulama silakan berdialog dengan kami.”

Soal tanggapan tentang pemerintahan yang hampir sama dengan Orde Baru, Paryanto membantah itu. “Itu hanya asumsi orang saja.”

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif