Jogja
Jumat, 31 Januari 2014 - 13:32 WIB

Kisah Penyadap Nira Kelapa, Bertaruh Nyawa demi Gula

Redaksi Solopos.com  /  Nina Atmasari  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Ilustrasi penyadap nira (JIBI/Harian Jogja/Kusnul Isti Qomah)

Manisnya gula kelapa yang dinikmati masyarakat menyimpan perjuangan para penderes (penyadap) nira kelapa. Tak jarang mereka harus mempertaruhkan nyawa.

Mbah Keman, warga Dusun Sawah Lor, Banyusoco, Playen, Gunungkidul, memakai kostum andalannya, kaus lengan panjang berwarna biru, dipadu celana pendek dan topi.

Advertisement

Di pinggang Mbah Keman melingkar sebentuk ikat pinggang yang dirancang khusus. Ada cantelan di bagian belakang yang digunakan menggantungkan 10 botol air mineral ukuran 1,5 liter yang sudah dipotong bagian kepalanya. Tampak pula sebilah sabit terselip di ikat pinggang khusus itu.

Memakai perlengkapan itu, Mbah Keman kemudian mengawali aksinya dengan bertelanjang kaki.
Dengan langkah santai namun pasti Mbah Keman menuju lokasi penderesan nira dari mayang pohon kelapa. Setelah menyeberangi jembatan kecil dan melalui jalan setapak, Mbah Keman sampai di tempat biasa ia menderes.

Botol air mineral yang ia bawa tidaklah kosong. Sudah ada air kapur (injet) yang menempati dasar botol-botol tersebut. “Dikasih njet agar niranya jernih,” tutur Mbah Keman.

Advertisement

Delapan botol ia gantungkan di pagar dekat pohon kelapa yang terletak di tepian sungai. Dengan dua botol masih menggelantung di pinggangnya, Mbah Keman mulai memanjat.

Tampak kehati-hatian ia utamakan untuk mencapai bagian atas pohon. Wajar saja, kalau tidak hati-hati ia bisa jatuh dan celaka. Kehati-hatian ia tingkatkan ketika memanjat usai hujan menerpa. Pasalnya batang pohon kelapa biasanya jadi sangat licin.

Sesampainya di atas, Mbah Keman menaruh dua botol bakal tempat nira di dahan-dahan pohon kelapa. Tangannya beralih ke dua ikatan mayang yang dibongkok. Ikatan botol yang sudah terisi nira dilepasnya perlahan.

Advertisement

Pucuk mayang yang sudah mengering lalu dipotong beberapa milimeter. Dengan sigap, Mbah Keman memasang botol tersebut. Setiap pohon ada dua ikatan mayang.

Setelah selesai, Mbah Keman dengan hati-hati menuruni batang pohon kelapa. Kakinya mencoba meraba pijakan untuk kakinya.

Selain Mbah Keman, masih ada Mbah Timbul. Berbeda dengan Mbah Keman, Mbah Timbul masih menggunakan ruas bambu untuk mengumpulkan nira yang akan dimasak menjadi gula kelapa. Mbah Timbul bertahan memakai ruas bambu ketika yang lain memakai botol air mineral yang lebih ringan.

Nira-nira tersebut mereka kumpulkan dengan mempertaruhkan nyawa. Di balik manisnya gula kelapa, ternyata mengandung jerih payah dan kegiatan menantang marabahaya para penderes nira.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif