Jogja
Selasa, 28 Januari 2014 - 17:22 WIB

Mbah Kasinun, Petani Gunungkidul yang Punya Cara Hadapi Monyet Ekor Panjang

Redaksi Solopos.com  /  Nina Atmasari  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Mbah Kasinun (JIBI/Harian Jogja/Kusnul Isti Qomah)

Mbah Kasinun memiliki cara yang unik untuk mengatasi serangan monyet ekor panjang (Macaca Fascicularis). Ketika masih bertani, tak semua tanamannya diserang oleh monyet.

“Mbah, nek arep jupuk yo jupuk tapi disisani yo? Arep dinggo mbayar sekolah anake. [Mbah, kalau mau ambil ya silakan ambil. Tapi disisakan ya? Untuk bayar biaya sekolah anak].” Kutipan dari kebiasaan masa lalu itu menjadi pembuka perbincangan dengan Mbah Kasinun warga Desa Jetis, Kecamatan Saptosari, Gunungkidul di suatu pagi.

Advertisement

Setelah menenggak segelas teh gula batu dan sebuah roti, Harian Jogja menuju lokasi sarang monyet ekor panjang di Alas Wota-Wati hingga Alas Belik di Dusun Temanggung, Desa Jetis. Jalan kaki kami pilih agar lebih mudah menuju lokasi.

Di awal perjalanan, kami bertemu dengan salah seorang petani wanita. Petani itu bercerita pernah hampir diserang monyet. Petani itu kaget ternyata monyet berani melawan ketika ia melempari monyet-monyet dengan batu.

Advertisement

Di awal perjalanan, kami bertemu dengan salah seorang petani wanita. Petani itu bercerita pernah hampir diserang monyet. Petani itu kaget ternyata monyet berani melawan ketika ia melempari monyet-monyet dengan batu.

Untuk mencapai lokasi harus menempuh jalan yang beraspal di sebagian dan berbatu di bagian lainnya. Selama perjalanan, Mbah Kasinun yang sudah tidak muda itu bercerita bagaimana dulu dia berbagi dengan monyet di hutan.

Ia tak pernah berbuat kasar dengan monyet-monyet yang kadang merusak tanamannya. Ia bahkan membiarkan monyet-monyet itu mengambil bagian mereka.

Advertisement

“Monyet itu juga seperti manusia. Mereka memiliki perasaan yang lebih sensitif dari pada manusia. Kalau kita baik dan tidak pernah berbuat kasar pada mereka, mereka juga tidak akan merusak dengan parah. Kita juga harus berbagi dengan makhluk lain,” ucap Mbah Kasinun.

Mbah Kasinun sudah akrab dengan seragan monyet sejak 1980-an. Selama lima tahun Mbah Kasinun mempelajari perilaku monyet-monyet tersebut. Ia menjadi tahu monyet itu cerdik dan mudah belajar.

Sifat sensitifnya juga tinggi. Ia juga paham monyet memiliki kelompok yang dipimpin seekor pejantan utama.

Advertisement

Mbah Kasinun berkisah jika seorang petani sudah mengancam akan mengusir dengan kasar ketika akan pergi ke ladang, monyet akan lebih dulu merusak ladangnya. Berbeda ketika petani mempersilakan monyet mengambil, pasti disisakan. Kini ladang Mbah Kasinun sudah ditanami kayu jati lantaran ia sudah tidak muda lagi.

Setelah berjalan cukup jauh melewati daerah Watu Glundung dan menanjak, Mbah Kasinun mengajak berbelok ke kanan masuk ke dalam alas melalui jalan setapak yang becek.

“Kita pulangnya lewat sini saja siapa tahu nanti ketemu monyet,” tutur Mbah Kasinun.

Advertisement

Monyet-monyet itu rupanya dulu juga terbiasa dengan Mbah Kasinun. Tak jarang ketika Mbah Kasinun hendak ke ladang, monyet-monyet “menyapanya” dengan cara menyeberang jalan di hadapannya. Ia heran lantaran monyet itu tak pernah berlaku sama terhadap petani lain.

“Semua diciptakan Tuhan itu lebih banyak positifnya daripada mudaratnya. Hanya saja manusia belum tahu nilai positif dari monyet sehingga mereka berlaku kasar. Bagi petani, harus menjaga ladangnya namun jangan kasar. Dengan dipasangi jaring dan dijaga tentu sudah bisa menghalau serangan monyet,” tutur dia.

Serangan monyet yang terjadi saat ini pun bisa ia sikapi dengan positif. Intinya bagaimana manusia berbagi dengan yang lain. Petani menjadi berbagi rezeki dengan orang yang dibayar untuk menjaga ladang. Petani juga membagi rezeki bagi penjual jaring dan senar. Serangan monyet juga membawa berkah dengan percepatan reboisasi.

Perjalanan kami menempuh jarak sekitar 4,5 kilometer setelah mengitari dua alas. Sayangnya kami belum beruntung karena tidak bisa menyaksikan monyet dalam koloninya. Namun, banyak nilai yang bisa dipetik dari perjalanan 4,5 kilometer tersebut tentang makna berbagi. Berbagi tak hanya kepada manusia tetapi juga kepada hewan dan alam.

“Masyarakat, petani, pemerintah harus bisa menjaga keseimbangan alam,” ucap Mbah Kasinun yang masih gesit dan tak tampak lelah meskipun sudah menempuh jarak sejauh itu melalui medan berbatu, berlumpur, naik dan turun.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif