Kolom
Sabtu, 4 Mei 2024 - 09:55 WIB

Krisis Dasar Pendidikan

Redaksi Solopos.com  /  Ichwan Prasetyo  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Siswa memperagakan busana adat saat mengikuti fashion show di halaman SDN Bromantakan Solo, Kamis (2/4/2024), untuk memperingati Hari Pendidikan Nasional. (Solopos/Joseph Howi Widodo).

Jadikan setiap tempat sebagai sekolah, jadikan setiap orang sebagai guru. Demikian salah satu pesan Bapak Pendidikan Nasional Ki Hajar Dewantara ketika menguraikan konsep pendidikan nasional Indonesia.

Pesan itu mengandung makna bahwa setiap anak, setiap siswa, setiap generasi muda harus belajar di mana saja dan dari siapa saja. Pendidikan dan pembelajaran bukan hanya urusan formal bertemunya guru dan peserta didik di kelas, di sekolahan.

Advertisement

Dasar pendidikan yang diajarkan Ki Hajar Dewantara adalah pendidikan karakter, pendidikan budi pekerti. Pendidikan adalah upaya untuk memajukan bertumbuhnya kekuatan batin dan karakter, pikiran, serta tubuh anak.

Pesan Ki Hajar Dewantara itu harus diingat lagi, diaktualkan lagi, dalam refleksi memaknai perkembangan pendidikan di Indonesia akhir-akhir ini. Tanpa mengingat dan mengaktualkan, peringatan Hari Pendidikan Nasional tiap 2 Mei—yang baru saja berlalu—hanya berhenti menjadi rutinitas dan formalitas.

Advertisement

Pesan Ki Hajar Dewantara itu harus diingat lagi, diaktualkan lagi, dalam refleksi memaknai perkembangan pendidikan di Indonesia akhir-akhir ini. Tanpa mengingat dan mengaktualkan, peringatan Hari Pendidikan Nasional tiap 2 Mei—yang baru saja berlalu—hanya berhenti menjadi rutinitas dan formalitas.

Mengingat pesan dan konsep pendidikan yang dikemukakan Ki Hajar Dewantara relevan dengan kondisi pendidikan kita hari ini yang sebenarnya berada dalam krisis. Pendidikan kita krisis karakter dan krisis budi pekerti.

Hari-hari ini, ketika mengingat bahwa setiap tempat sebagai sekolah dan setiap orang sebagai guru, realitas menunjukkan justru banyak tempat dan banyak orang yang berpotensi merusak karakter dan budi pekerti.

Advertisement

Pada hari-hari ini ketiga pantangan dalam pendidikan budi pekerja atau pendidikan karakter itu diabaikan dengan semena-mena. Anak-anak, remaja, dan kaum muda hari-hari ini dengan sangat mudah menemukan realitas bahwa ada ”kesuksesan” yang justru berpangkal pada penyalahgunaan wewenang, melanggar tertib keuangan (korupsi), dan melanggar kesusilaan.

Contoh-contoh perilaku dan tindakan yang bertentangan dengan pendidikan budi pekerti itu dipertontonkan oleh penguasa, figur publik, dan orang-orang yang berpengaruh. Perilaku dan tindakan demikian juga mudah ditemui di lingkungan pendidikan.

Tiga dosa besar pendidikan, yaitu kekerasan seksual, perundungan/tindak kekerasan, dan intoleransi sampai hari ini belum teratasi. Basis tiga dosa besar pendidikan itu adalah kegagalan pengajaran nasional untuk mendidik manusia Indonesia yang berpekerti luhur, beretika, dan bermoralitas tinggi.

Advertisement

Dari atas dan dari bawah menunjukkan gejala yang sama: ketidakjujuran, ketidakbenaran, ketidakadilan diwajarkan, dinormalkan. Ketika ”pertunjukan besar” sehari-hari berbasis demikian, jelas sangat berat mewujudkan konsep pendidikan nasional untuk mendidik manusia Indonesia yang berpekerti luhur.

Inikah krisis dasar pendidikan kita hari-hari ini. Krisis ini jelas tidak bisa diselesaikan hanya di lingkungan sekolah, lingkungan pendidikan formal. Krisis ini harus diselesaikan secara simultan yang melibatkan tripusat pendidikan: sekolah, keluarga, dan masyarakat.

Negara, para penguasa, para pejabat, para politikus, para figur publik, orang-orang yang berpengaruh harus sadar diri bahwa mereka bagian dari tripusat pendidikan. Seharusnya mereka, dengan daya besar yang dimiliki, turut serta memajukan pendidikan nasional, bukan malah menghancurkan lewat perilaku niretika, perilaku tak berbudi pekerti luhur.

Advertisement

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif