Kolom
Minggu, 28 April 2024 - 19:56 WIB

Mempertahankan Keroncong Klasik

Redaksi Solopos.com  /  Ichwan Prasetyo  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Tito Setyo Budi (Solopos/Istimewa)

Solopos.com, SOLO – Banyak yang beranggapan Kota Solo adalah benteng terakhir pelestarian musik keroncong. Sebuah anggapan yang bukan tak berdasar, terutama jika menelisik Inventarisasi Data Kesenian Jawa Tengah: Keroncong yang diterbitkan Taman Budaya Jawa Tengah, April 2019.

Jika di kota-kota lain di Jawa Tengah hanya memiliki satu-dua grup keroncong yang masih eksis, Kota Solo memiliki tak kurang dari 40 grup.

Advertisement

Nama grup beraneka ragam, dari yang kedengaran romantis-nostalgis seperti Orkes Keroncong (OK) Irama Senja, OK Suara Bengawan, OK Gema Buana, hingga yang seram-seram seperti OK Demit dan OK Iblis.

Itu secara kuantitatif. Secara kualitatif bisa diperdebatkan tersendiri, apalagi setelah acara live music Keroncong Klasik di Monumen Pers Nasional Solo pada Sabtu (9/3/2024) yang dilaporkan oleh Solopos, 12 Maret 2024, berhasil membangkitkan memori lawas para penonton.

Frasa ”memori lawas” tentu mengacu pada aspek kesejarahan yang panjang. Bahwa pada masa lalu Kota Solo telah menjadi the melting pot bagi aneka jenis musik keroncong, mencakup yang masih klasik (keroncong asli, stambul, langgam) hingga yang berjenis “dikeroncongkan” atau hybrid.

Advertisement

Harmunah menyebut genre demikian sebagai lagu ekstra yang menyimpang dari tiga jenis musik keroncong yang disebut klasik itu. Pertanyaannya, masih adakah manfaat mempertahankan yang klasik-klasik itu di tengah gempuran zaman yang semakin edan ini?

Apakah mampu seni-budaya klasik mengadang laju gelombang pasang globalisasi? Sementara di tengah melek mata, penemuan-penemuan teknologi baru dan terbarukan telah mengubah segalanya, tak terkecuali prinsip-prinsip estetika musik.

Ada emansipasi keindahan. Ada emansipasi pendengaran yang pada gilirannya akan memberikan pengaruh besar pada cara pandang dan sikap terhadap estetika.

Dalam penciptaan musik keroncong tentu deformasi dan modifikasi soal ritme, melodi, dan harmoni juga mengalami pergeseran. Doktrin bunyi tonal yang sudah berpuluh tahun bersenandung di telinga penikmat keroncong bisa saja tidak berdaya alias meleleh saat menerima fenomena keindahan bunyi di luar sistem tonal yang telah lama diakrabi.

Advertisement

Satu lagi yang tak mungkin ditepis soal selera. Berabad lampau filsuf beraliran empirisme asal Inggris, David Hume (1711-1776), dalam Of the Standard of Taste, menegaskan betapa keindahan suatu objek seni sangat dipengaruhi oleh penikmatnya.

Bagi Hume, keindahan hanya bertumpu pada diri subjek, bukan sifat objektif bagi karya seni itu sendiri. Selera itu bersifat objektif dan privat. Sebuah pendapat yang sulit ditampik dan justru memperoleh pembenaran dan penegasan dari pemikir Prancis, Pierre Bourdieu.

Dalam buku yang terkenal, Distinction: A Social Critique of the Judgment of Taste, Bourdieu memandang masalah selera merupakan sesuatu yang dikonstruksi secara sosial yang mampu dijadikan sarana pembeda. Masyarakat disegmentasikan sedemikian rupa berdasarkan selera.

Itulah yang terjadi selama ini. Mulai zaman keroncong menggenggam masa kencana rukmi, era keemasan, pada tahun 1950-1970-an, hingga mengalami masa surut sampai pada masa yang–dianggap–mengenaskan ini.

Advertisement

Bahwa yang suka pada keroncong (apalagi yang klasik-klasik) kini adalah golongan masyarakat menengah ke bawah. Tentulah segmentasi semacam itu bukanlah pemahaman tentang seni dan masyarakat yang sehat.

Itu bukan symbolic marking (meminjam istilah Woorward) yang menguntungkan bagi peradaban bangsa. Bagaimanapun tak ada seni yang pantas direndahkan apalagi dilecehkan.

Pemahaman atas identitas budaya mesti memperoleh cara pandang yang egaliter, rumusan yang terus-menerus memperoleh kesegaran dalam setiap era.

Stuart Hall dalam The Question of Cultural Identity (1996) mengemukakan bahwa identitas adalah sesuatu yang moveable feast, yang senantiasa bergerak, ditansformasikan dan dipresentasikan terus-menerus dalam sistem budaya yang dibingkai oleh sejarah.

Advertisement

Dalam pemahaman yang demikian, tak layak sebuah karya budaya, seni, mengalami pendegradasian karena sebagaimana gaya hidup, minat dan selera manusia dapat balik ke masa lampau.

Pandangan negatif tentang keroncong klasik terutama berangkat dari stigma: kuno, jadul, selera orang tua, kedaluwarsa. Di sisi lain menyangkut banyak aturan dalam menyanyi: tidak boleh begini, tidak boleh begitu, harus yang ini, jangan yang itu.

Misalnya, yang paling keras pernah disampaikan oleh komponis Kusbini yang mengecam permainan irama rangkap pada Stambul II karena lagu menjadi riang dan itu menyalahi aturan keroncong.

Ya, memang begitu dalam musik keroncong klasik. Misalnya, dalam keroncong asli jumlah birama dipatok 28, tanpa intro dan koda, sukat 4/4, bentuk A-B-C dinyanyikan dua kali, ada overgang, yakni lintas akor: I-IV-V-I.

Terasa rumit karena memiliki kerangka struktural baku, aturan-aturan yang mengikat, sebagaimana yang terjadi pada Sonata Klasik abad ke-18. Lihatlah tatkala Beethoven memainkan Moonlight Sonata in C Sharo Minor dan Mozart memainkan Sonata in A Major.

Mozart adalah teladan tangguh dalam aliran musik klasik Barat. Ia dan karya-karyanya sanggup mempertahankan keseimbangan antara perasaan dan akal budi, antara ego dan kebenaran.

Advertisement

Itulah pula yang terjadi pada komponis lagu-lagu keroncong klasik, seperti Abdulgani, Mardjo Kahar, Sapari, Ismanto, Budiman B.J., Kelly Puspito, Gesang.

Lagu-lagu keroncong seperti Dewi Murni ciptaan Sariwono/Oetjin Nooerhasyim, 1950 (bukan karya Mus Mulyadi sebagaimana disebut oleh Solopos), Kr. Tanah Airku, Kr. Bandar Jakarta, Kr. Suci, Stb. Baju Biru, Stb. Terkenang, dan lain-lain merupakan lagu keroncong klasik yang abadi.

Sebutlah sebagai everlasting song, sebagaimana Langgam Bengawan Solo karya Gesang. Suatu waktu saya tertegun tatkala menyaksikan seorang mahasiswa menyanyikan Kr. Gema Irama ciptaan Sapari/W.S. Nardi dengan begitu apik. Memang terasa berbeda dengan saat lagu itu dinyanyikan oleh Bram Titaley atau Trenggono (bapaknya Yuni Shara dan Krisdayanti).

Setidaknya mampu membangkitkan memori saya pada masa kecil saat menonton pergelaran keroncong kampung tahun 1970-an. Catatan kecil ini tidak saya maksudkan sebagai upaya mengembalikan keroncong ke masa lalu (yang jelas akan sia-sia).

Saya juga tak ingin mengikuti jejak formalisme Hanslick, penulis buku klasik The Musically Beauty, yang ngotot untuk menetapkan musik dengan status otonom. Dengan kredo: musik hanya dipahami sebagai musik, terlepas dari rangka sosial budaya dan latar historisnya.

Saya hanya ingin mengatakan Kota Solo sebagai benteng terakhir seni musik keroncong di Indonesia hendaknya menjadi gudang berbagai aliran. Bolehlah (dan harus) ada congdut, congrock, dan cong-cong yang lain, tapi keroncong klasik harus tetap bisa dinikmati di Kota Solo.

Dalam penelitian saya dua dasawarsa terakhir, saya dapati ribuan lagu-lagu keroncong klasik bermutu yang dilahirkan oleh komponis-komponis keroncong kita yang hebat pada masanya.

Kota Solo yang punya Lokananta nan legendaris itu semestinya menjadi rujukan utama dan terutama. Entah di pundak siapa beban sejarah itu harus disampirkan.

(Penulis adalah Doktor Kajian Budaya, esais, sastrawan, dan budayawan)

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif