Soloraya
Selasa, 7 Januari 2014 - 13:01 WIB

MIMBAR KAMPUS : Budaya Literer untuk Melawan Penjajahan

Redaksi Solopos.com  /  Is Ariyanto  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Junaidi Khab john_gapura@yahoo.com Mahasiswa Jurusan Sastra Inggris Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.

Junaidi Khab
john_gapura@yahoo.com
Mahasiswa Jurusan Sastra Inggris
Fakultas Adab dan Humaniora
Universitas Islam Negeri
Sunan Ampel Surabaya.

”Jika engkau ingin mengenal dunia, maka membacalah. Namun, jika engkau ingin dikenal oleh dunia, maka menulislah” (Pramoedya Ananta Toer).

Advertisement

Dua kalimat bijak Pramoedya Ananta Toer tersebut merupakan pesan bagi generasi penerus bangsa ini mengarungi bahtera kehidupan. Kata bijak itu bermakna membaca dan menulis adalah kunci utama untuk memiliki pribadi yang berpendirian kokoh dan berwawasan luas.

Membaca bisa kita artikulasikan dengan ”melahap” buku-buku agar kita bisa menelusuri dunia imajinasi yang membawa kita pada puncak dunia pengetahuan yang paling tinggi. Akhir-akhir ini, seiring perkembangan zaman–peralihan zaman tradisional ke zaman modern dengan pilar teknologi canggih–kebiasaan menyibak tirai dunia melalui buku-buku sudah mulai ditinggalkan dan tidak dihiraukan lagi.

Teknologi menjadikan mental-mental para pemuda era kini terhanyut dalam kemalasan yang sangat dalam. Mereka enggan ”melahap” buku-buku yang menjanjikan seluruh isi dunia. Mereka sudah teracuni kecanggihan teknologi modern masa kini. Berbagai layanan pemuas nafsu belaka menjadi kebiasaan sehari-hari.

Advertisement

Ada satu fenomena merebaknya mental manja dan pemalas yang sangat memalukan dan memilukan. Pemuda yang lekat dengan layanan kecanggihan teknologi tergiur berbagai gadget, fitur-fitur, dan aplikasi yang serba instan. Dunia permainan yang terlahir dari teknologi itu menutup jendela dunia sebagaimana yang telah dijanjikan Pramoedya.

Mereka yang rajin membaca buku, ”melahap” habis tiap kata-kata dan kalimatnya, kini loyo bak terbius asap kehidupan teknologi. Pemuda saat ini sudah tidak memercayai kalimat bijak Pramodeya. Mereka tak percaya jalan mengenal dunia adalah membaca buku. Mereka lebih memilih racun daripada madu.

Mereka lebih tertarik bermain Playstation (PS), bersantai ria dan memuaskan nafsu belaka. Jika mereka disuruh bermain PS berjam-jam, kekuatan mereka seakan tanpa batas. Namun, jika disuruh membaca buku hingga menjadi menemukan sari pati kehidupan, mereka enggan, bagaikan jiwa tanpa napas dan roh.

Advertisement

Matroni Muserang (2013) mengatakan ketika mental dan pikiran dibentuk oleh teknologi, ketergantungan kita pada yang Maha dan pengetahuan (sains) akan semakin berkurang. Misalkan, ketika mental dan pikiran tidak lepas dari PS (game), jangan harap akan memiliki tradisi membaca dan menulis yang baik.

Hari ini tradisi ngegame sudah mendarah daging. Krisis membaca, belajar, dan berpikir kian akut karena sudah dikuasai oleh teknologi yang memuaskan panca indera. Jadi tidak mengherankan kalau pemikiran, pembacaan generasi muda hari ini bahkan ke depan, hanya berjalan di ruang-ruang sempit, di pojok-pojok tubuh PS.

Sebagian besar pemuda saat ini berada di ruang-ruang teknologi, bermain-main, dan wisata an sich. Kita tertegun dan kagum dengan ide modernitas, globalisasi, kapitalisasi, materialisme, tanpa mempertanyakan ada apa di balik ide-ide besar itu dan mengapa ide ini lahir, dalam rangka untuk menjawab apa ide ini lahir? Tiba-tiba kita mengamini dan menjalani tanpa sadar bahwa kita didekati oleh ideologi orang lain. Di mana identitas pemikiran kita?

Jika fenomena demikian yang terjadi pada kita semua, kita hanya akan menjadi konsumen dan penonton kecanggihan dan kehebatan teknologi. Idealisme pemikiran yang kita miliki akan mudah dikemudikan dan dipengaruhi idealisme dunia orang lain yang lebih canggih dan progresif.

Buku-buku dan sains yang kita inginkan jangan sampai kalah langkah dengan budaya teknologi yang serba penuh dengan permainan. Buku-buku dan sains akan memacu daya pikir serta kekuatan imajinasi agar melaju dengan cepat mengejar kemajuan zaman.

Saat ini sangat mudah menemukan pojok-pojok lesehan PS daripada majelis pembaca buku dan berpikir kritis. Budaya teknologi telah berhasil mengalahkan budaya membaca buku yang menjadi tradisi harian para intelektual tempo dulu. Pada rezim Orde Baru, banyak intelektual muda yang berani dengan gagasan-gagasan cemerlang berupa tulisan di media massa dan media-media bawah tanah melawan kezaliman dan kejahatan rezim saat itu.

Sekarang, sebagian besar intelektual muda—terutama yang disebut mahasiswa—ibarat impoten tanpa merokok. Mereka ibarat mengalami ejakulasi dini sebelum bersetubuh ketika dihadapkan dengan berbagai persoalan kemelut kehidupan karena ideologi dan pemikiran mereka lemah dan tidak independen.

Pemuda sekarang lebih suka menjadi penurut, manut pada kaum kapitalis, akibat lemahnya daya pikir dan kekritisan mereka dalam memilah dan memilih suatu sikap yang absurd. Itu semua tak lain akibat kebiasaan hidup malas dan sering bercumbu dengan sajian teknologi yang serba instan, sehingga mereka lebih banyak mengharapkan yang instan-instan pula.

 

Buram

Mereka tidak mau lagi memeras otak untuk memperoleh hal baru. Jadi jangan heran jika masa depan bangsa Indonesia akan buram akibat kurangnya budaya membaca (buku) dan berpikir kritis. Orang-orang besar yang namanya kekal abadi bukanlah para pemalas. Mereka memiliki semangat membaca buku dan menulis yang sangat begitu tinggi.

Ki Hadjar Dewantara (1889-1959) yang kini dikenal sebagai bapak pendidikan Indonesia hidupnya dipenuhi buku-buku dan waktunya penuh dengan aktivitas menulis. R.A. Kartini dengan etos feminisnya juga tak luput dari buku-buku dan menulis (surat) tentang kerisauan melihat keadaannya yang dikungkung oleh hegemoni tradisi masyarakat Jawa.

Soekarno, Mohammad Hatta, Tan Malaka, B.J. Habibie, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), dan para tokoh Indonesia lainnya bukanlah orang yang lupa pada buku dan menulis. Di sinilah sangat jelas bahwa buku bisa membukakan jendela dunia dan pena menjadi penunjuk arah untuk naik ke pentas kehidupan sebagaimana yang dijanjikan Pramoedya.

Eksistensi teknologi dengan berbagai menu sajian instannya jangan sampai membunuh budaya membaca buku dan berpikir kreatif-kritis. Kekosongan pemikiran untuk membuka jendela dunia– sebagaimana yang dijanjikan Pramoedya–masih tetap bisa dikendalikan.

Penjajahan melalui teknologi ini harus diwaspadai dan dihindari. Kini, saatnya ruang-ruang nongkrong para pemuda diganti dengan buku-buku. Setidaknya jika dalam sehari mampu menghabiskan waktu empat jam untuk bermain PS, mestinya harus mampu membaca buku lebih dari empat jam, atau setidaknya sama.

Bermain PS atau game dan bermanja-manja dengan teknologi harus disadari hanya sebagai pengisi waktu luang dan selingan untuk membunuh kejenuhan. Namun, membaca buku merupakan budaya yang harus dihidupkan kembali agar kita tidak mudah dijajah lagi oleh kolonialis baik dari sisi ekonomi, pendidikan, teknologi, moral, dan pengetahuan.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif