Kolom
Minggu, 5 Januari 2014 - 20:29 WIB

SABDATAMA: Kita Harus Berani Mengubah Paradigma

Redaksi Solopos.com  /  Sugeng Pranyoto  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Sultan Hamengku Buwono X (JIBI/Harian Jogja/Desi Suryanto)

Harianjogja.com – Setelah lebih dari 68 tahun merdeka, perasaan merdeka dari tekanan bangsa lain justru amat terasakan. Walaupun penjajahan secara langsung telah berakhir, namun independensi dan kedaulatan sebagai sebuah negara-bangsa merdeka tetap menjadi tantangan yang belum selesai. Bahkan di tengah globalisasi dan pasar bebas, determinasi asing membuat substansi kemerdekaan terasa kehilangan maknanya.

Proses demokratisasi tampaknya sedang memasuki titik kritis dan titik balik yang mendua. Kegamangan menilai proses demokrasi ini tercermin dari kontroversi antara yang berpendapat bahwa demokrasi berjalan menguat dan yang berpendapat sebaliknya baru dalam tataran demokrasi prosedural. Tampaknya proses demokratisasi bangsa selama lebih dari dasawarsa ini baru sebatas dimaknai sebagai kebebasan dari represi politik, belum sampai pada bagaimana menghargai pendapat dan menerima perbedaan.

Advertisement

Sementara itu, nilai-nilai Pancasila ternyata juga tidak dipandang penting sebagai acuan kehidupan berbangsa dan penggunaannya pun dalam kehidupan sehari-hari kian lemah. Kalau berbagai hal, dari kondisi bangsa hingga nilai-nilai Pancasila ini tak mampu membangkitkan rasa bangga, apalagi yang masih bisa dibanggakan oleh bangsa Indonesia? Padahal, Pancasila sebagai ideologi adalah motor penggerak masyarakat sekaligus landasan persatuan dan kesatuan untuk merespons dinamika perubahan sosial.

Indonesia adalah negara besar, berbeda dengan negara lain manapun. Ini perlu dicamkan bukan untuk menggalang rasa chauvinistis atau kesombongan, tetapi justru membangun kesadaran bertanggung jawab yang rendah diri bagi seluruh rakyatnya. Apabila kita melihat negeri ini ”cuma” seperti Singapura, Taiwan atau Korea Selatan, tanpa maksud mengecilkan keberhasilan mereka, akibatnya bangsa ini bisa salah jalan dalam usaha mencari terapi krisis yang melilitnya.

Namun masalah elementer yang kita hadapi itu begitu besarnya, sejarah telah membuktikan bangsa ini mampu mengatasinya dengan tangan sendiri. Membanggakan, tetapi sarat masalah paradoksal. Betapa tidak, kita kembangkan semangat integrasi tetapi yang kita miliki justru semangat primodial yang punya potensi disintegratif. Falsafah kita Pancasila dan selalu ingin memelihara semangat gotong-royong serta mengedepankan mufakat dalam musyawarah tetapi kita seringkali suka merekayasa. Ciri-ciri alamiah geografis Indonesia adalah maritim, sementara pembangunan berbasis kontinental.

Advertisement

Sesungguhnya apa yang salah dengan bangsa kita? Sehingga sampai saat ini Indonesia masih berada di kelompok negara berkembang. Indonesia pada 1966 memperoleh kepercayaan sebagai negara pertama di Asia untuk asembling mobil-mobil Jepang, tetapi hingga kini telah lebih dari 40 tahun bangsa ini belum mampu membuat mobil sendiri. Indonesia merupakan negara ketiga di dunia yang melakukan pengeboran minyak setelah Amerika Serikat dan Venezuela, tetapi hingga saat ini eksplorasi minyak dari perut bumi pertiwi ini masih diserahkan ke negara-negara asing.

Salah satunya karena kita tidak fokus. Padahal dengan fokus, seluruh potensi dapat diarahkan dan didayagunakan seoptimal mungkin. Pemerintah harusnya fokus pada pengembangan kemaritiman di berbagai aspek peradaban bangsa.

Sekarang ini harus benar-benar dilakukan upaya dengan fokus untuk masa depan Indonesia yang lebih baik. Salah satu yang harus dilakukan adalah menjaga jangan sampai terjadi keterputusan ide dengan implementasi. Konsekuensinya di tataran kebijakan setiap Undang-undang yang ditetapkan  harus selalu mengacu dan sesuai dengan jiwa Pancasila. Implementasinya, di tataran pelaku dan tindakan, Pancasila harus menjadi motor penggerak terjadinya dinamika perubahan sosial.
Indonesia juga harus berani mengubah paradigma yang berbasis kontinental ke maritim dan kelautan sekaligus menjadikan fokus pembangunan sebagai bagian dari grand strategy restorasi Indonesia. Perubahan paradigma ini akan lebih mempercepat kebangkitan Indonesia sehingga menjadikannya bangsa yang bermartabat.

Advertisement

Marilah kita camkan bagian akhir pidato Bung Karno yang menegaskan “Tidak ada satu weltanschauung dapat menjadi kenyataan, menjadi realiteit jika tidak dengan perjuangan…zonder pejuangan itu tidaklah ia menjadi realiteit!…Kemerdekaan hanyalah didapat dan dimiliki oleh bangsa yang jiwanya berkobar-kobar dengan tekad Merdeka-Merdeka atau mati” (Sri Sultan Hamengku Buwono X)

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif