Soloraya
Selasa, 31 Desember 2013 - 15:00 WIB

MIMBAR KAMPUS : Buku dan Mahasiswa

Redaksi Solopos.com  /  Is Ariyanto  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Purwito Zanuar Rahmadi magangpurwito@gmail.com Mahasiswa Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret

 

Purwito Zanuar Rahmadi
magangpurwito@gmail.com
Mahasiswa Jurusan Sosiologi
Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik
Universitas Sebelas Maret

Advertisement

Sahabat, membaca suratmu sepekan yang lalu, pikiranku langsung mendapatkan ilham dari Tuhan kita untuk menulis sepucuk surat sebagai surat balasan atas surat yang kau tulis untuk Soe Hoek Gie itu.

Apa yang kau tulis tentang kebebasan mimbar akademis yang diinginkan Gie [engaku menyapanya dengan Soe] di kala muda, sekarang ini memang sudah tercapai.

Semua mahasiswa dan insan akademis bebas membaca buku apa saja tanpa terkecuali. Akan tetapi, perlahan-lahan  fenomena yang mengemuka adalah mahasiswa hanya membaca buku yang berkaitan dengan kuliah, komik, dan syukur-syukur ada yang membaca novel.

Advertisement

Cobalah sahabatku amati para mahasiswa yang duduk berjajar di depan ruang kelas, di ruang publik di kampus, di depan ruang jurusan, dengan perasaan tidak menentu menanti dosen pembimbing skripsi yang tak kunjung datang.

Apa mereka memegang buku? Kebanyakan hanya bermain-main dengan smartphone keluaran terbaru berisi games konyol dengan cara menggeser-geser layar dengan jari. Buku bagi mahasiswa sekarang ini bukanlah sesuatu yang intim/ mesra, seperti dalam slogan Gie: buku, pesta, dan cinta.

Buku mereka anggap sebatas pelengkap kuliah karena kuliah mensyaratkanya dalam lampiran daftar pustaka. Ah, syarat dan syarat apakah itu yang membuat mahasiswa sekarang ini hanya mau membaca buku yang berkaitan dengan kuliah?

Mungkin buku kuliah menyediakan semua jawaban dari semua pertanyaan di materi kuliah. Mayoritas mahasiswa ingin mendapat nilai A dan harus menjawab ujian dengan apa yang dituliskan dalam buku.

Advertisement

Mereka hanya menuliskan kembali apa yang sudah tertulis. Mereka tidak berminat membaca buku-buku klasik atau majalah sastra. Sebenarnya dengan membaca sesuatu di luar bidang keilmuan yang ditekuni di kampus secara tidak langsung akan menambah wawasan dan daya kritis mahasiswa.

Mahasiswa sekarang lebih suka berjalan-jalan ke mal, berkaraoke, daripada membentuk kelompok studi seperti yang kita bayangkan bersama dulu. Bayangan tentang kelompok studi yang ditemani ratusan buku yang melingkari kita, bagaikan melakukan ritual, buku adalah budaknya dan kita adalah raja.

Buku siap dieksploitasi kapan saja karena kita haus akan pengetahuan dan buku adalah pelepas dahaga bagaikan oase di padang pasir. Tampaknya bayangan akan tetap jadi bayangan, yang lama-kelamaan secara otomatis akan dihapus oleh sistem otak karena tidak mungkin akan terlaksana.

Padahal, dalam agama pun sudah jelas diperintahkan untuk gemar membaca, seperti dalam wahyu pertama yang diterima nabi kita, Muhammad SAW. Ayat pertama berbunyi ”bacalah”. Bila mahasiswa ditanya tentang sudahkah membaca? Mereka akan menjawab ya.

Advertisement

Tapi, yang dibaca kebanyakan berita-berita online, koran, linimasa Twitter, status Facebook, dan mencari referensi via mesin pencari. Atau, pertanyaan sedikit diganti menjadi: sudahkah membaca buku hari ini? Sebagian besar mahasiswa akan menjawab: belum. Kapan membaca buku? Mahasiswa akan menjawab: kalau ada tugas.

Bapak Bangsa & Buku

Ada cuplikan yang kuambil untukmu dari majalah lawas terbitan 20 tahun silam yang kutemukan di pusat penjualan buku bekas di Gladak, Alun-alun Utara Keraton Solo, yang kita dulu pernah ke sana.

Tulisan di majalah itu ihwal keprihatinan terkait minimnya mahasiswa yang membaca buku-buku selain buku di bidang ilmu yang mereka pelajari di kampus.

Advertisement

Dari cuplikan ini aku jadi bingung tentang tokoh ini. Dia tokoh pejuang kemerdekaan Indonesia atau sastrawan? Mungkin kau juga mengenalnya. Dia adalah Sutan Sjahrir.

Dalam perenungannya yang dibukukan dalam Indonesische Overpeinzingen, Sjahrir mencatat orang-orang yang disebut cendekiawan tidak membaca apa-apa kecuali bidang keahliannya, koran, dan kadang-kadang satu atau dua bacaan hiburan.

Sjahrir mencatat keadaan itu pada 1934 dan lebih dari 50 tahun kemudian keadaan itu tidak banyak berubah. Dia mengasumsikan kalau cendekiawan kita saja, yang disebut ”penyandang ijazah”, begitu minim perhatian pada kesusastraan, jangan lagi diharapkan terlalu banyak dari lapisan dan golongan masyarakat lain akan tertarik pada kesusastraan.

Menurut Sjahrir, lewat kesusastraan di samping memiliki pandangan yang lebih baik tentang hidup dan dunia pikiran manusia, mata kita pun akan lebih terbuka terhadap masalah-masalah kehidupan.

Aku jadi teringat cerita-ceritamu dulu tentang Bung Karno. Dalam ceritamu Bung Karno juga gila akan buku. Koper-koper yang dibawanya pergi selalu penuh dengan buku. Dia rela dipenjara asalkan dipenjara dengan membawa buku-buku kesayangannya.

Bagi Bung Karno buku atau membaca itu adalah jendela untuk melihat keluar dan melihar dunia tanpa batas ini. Lalu, kau pernah bercerita tentang Bung Hatta yang juga gila dengan buku, sampai-sampai  semua koper yang dibawanya lebih banyak terisi dengan buku daripada pakaian ganti.

Advertisement

Kau ceritakan pula di kala muda Bung Hatta sampai rela berutang uang demi membeli buku yang dia inginkan. Kau juga bercerita mengenai perpustakaan Bung Hatta berisi buku-bukunya sendiri yang berjumlah ribuan eksemplar.

Kau ceritakan padaku juga perjalanan heroik Tan Malaka, seorang tokoh Marxis yang paham Alquran saat masih muda. Cerita itu membuatku terkejut dan kagum: ada seorang Marxian tetapi sangat religius.

Bagiku itu adalah fenomena yang sangat jarang, karena Marxis biasanya dibilang antiagama. Tan Malaka juga dekat dengan dunia membaca. Selama perjalanan jauhnya  lintas benua: Eropa-Asia sampai kembali ke Indonesia, ia rajin menulis esai-esai secara sembunyi-sembunyi karena menghindari polisi yang berusaha menangkapnya.

Esai-esainya itu kemudian diterbitkan menjadi buku Madilog yang fenomenal itu. Buku adalah sumber inspirasi bagi bapak bangsa kita. Dengan buku mereka bangun Indonesia yang kita diami sekarang ini. Akankah kita melupakan buku-buku yang dulunya sangat digemari bapak bangsa kita? Kutunggu surat balasanmu, sahabat.

 

 

 

 

 

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif