Soloraya
Rabu, 15 Mei 2024 - 15:28 WIB

Bikin Trenyuh, Kisah Tokoh Tionghoa Solo Selamat dari Kerusuhan 14-15 Mei 1998

Redaksi Solopos.com  /  Ahmad Mufid Aryono  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Ilustrasi kerusuhan Mei 1998 di Plasa Singosaren (JIBI/SOLOPOS/Dok)

Solopos.com, SOLO—Tokoh masyarakat Kota Solo yang merupakan warga keturunan Tionghoa, Sumartono Hadinoto, ternyata juga tidak luput dari sasaran amukan massa ketika tragedi kerusuhan 14-15 Mei 1998.

Namun, dia selamat karena ditolong para tetangganya di Sorogenen, Kampung Sewu, Jebres, ketika meletus kerusuhan. Sumartono dan keluarganya dievakuasi tetangganya lewat lubang tembok belakang rumahnya.

Advertisement

“Tahu-tahu depan rumah saya kacanya pecah dilempar batu. Di depan rumah itu sekelompok orang banyak banget. Saya dikabari RT/RW, lebih baik saya mengungsi ke belakang,” ujar dia, Rabu (15/5/2024) pagi.

Mendapat tawaran itu, Sumartono tidak punya pilihan lain. Dia pun mengiyakan. “Tembok belakang rumah saya akhirnya dibobol selubang badan, lalu saya sekeluarga dievakuasi lewat lubang tersebut,” terang dia.

Advertisement

Mendapat tawaran itu, Sumartono tidak punya pilihan lain. Dia pun mengiyakan. “Tembok belakang rumah saya akhirnya dibobol selubang badan, lalu saya sekeluarga dievakuasi lewat lubang tersebut,” terang dia.

Namun, karena lubang darurat yang dibuat cukup sempit, kulit Sumartono dan keluarga terluka. Lubang itu dibuat oleh para tetangga Sumartono atas persetujuannya. Lubang itu tersebut hanya sebadan orang.

“Jadi tembok belakang dibobol selubang badan, saya keluarnya kepala dulu, sambil rebahan, ditarik ke belakang. Kayak kalau dulu saya dengar pencuri kalau mbobol rumah kan begitu masuknya rebahan,” urai dia.

Advertisement

“Kulit saya beret-beret karena ditarik ke belakang begitu ya. Ibu, saya, istri, anak, menantu, ditarik ke belakang. Kami tiga hari tidur di belakang rumah. Saat itu saya rasakan betul prinsip pagar mangkuk,” aku dia.

Sumartono menceritakan dirinya dengan warga kampung di belakang rumahnya sudah benar-benar menyatu. Sehingga ketika ada ancaman yang membahayakan keluarga Sumartono, para tetangga mau melindungi.

“Soalnya saya sejak kecil kalau main ke belakang rumah. Dulu kalau nekeran istilahnya main kelereng, gobak sodor, layang-layang, di halaman belakang, dengan teman-teman kampung. Kami sudah menyatu,” urai dia.

Advertisement

Situasinya berbeda dengan kampung boro yang ada di depan rumah Sumartono. Menurut dia, ketika terjadi kerusuhan tersebut para kaum boro menjadi bagian yang merusak. Termasuk menjarah rumah Sumartono.

Dia berharap tragedi kerusuhan 14-15 Mei 1998 di Kota Solo tidak terulang lagi, dan menjadi pelajaran penting setiap bagian kota ini. Sebab dampak dari kerusuhan tersebut benar-benar membuat Solo jatuh.

Advertisement
Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif