Komunitas
Kamis, 12 Desember 2013 - 05:10 WIB

AKTIVITAS KOMUNITAS : Salihara Bahas Persinggungan Islam & Marxisme

Redaksi Solopos.com  /  Rahmat Wibisono  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Diskusi Islam dan Marxisme di Anjungan Salihara, Jl. Salihara 16, Pasar Minggu, Jakarta, Rabu (11/12/2013). (twitpic.com)

Solopos.com, JAKARTA — Meski dianggap saling bertentangan, Islam dan Marxisme pada masa lalu pernah bersinggungan demi menentang kolonialisme Belanda. Persinggungan antara Islam dan Marxisme itu, Rabu (11/12/2013), didiskusikan oleh Komunitas Salihara, sebuah kantong budaya dan pusat kesenian multidisiplin swasta pertama di Indonesia yang berkiprah sejak 8 Agustus 2008.

Bonnie Triyana, sejarawan dan Pemimpin Redaksi Majalah Historia mengatakan persinggungan Islam dan Marxisme tersebut tidak terlepas dari peran serta Henk Sneevliet dan Semaoen dalam menginfiltrasi Sarekat Islam pimpinan H.O.S. Tjokroaminoto. Pernyatataan tersebut ia kemukakan dalam diskusi bertajuk “Islam dan Marxisme di Indonesia” yang diadakan Komunitas Salihara.

Advertisement

Bonnie memulai diskusi dengan memaparkan sejarah Sarekat Islam yang pada 1921 dipimpin oleh H.O.S. Tjokroaminoto. Masuknya Henk Sneevliet pada 1914 menjadi titik awal masuknya Marxisme di Indonesia. Dari situlah mulai muncul tokoh-tokoh muda seperti Semaoen dan Darsono yang mempelopori lahirnya SI Semarang atau yang sering disebut juga dengan SI Semarang.

Selain Bonnie, diskusi terbuka ini juga menghadirkan M. Dawam Rahardjo, Rektor Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta, dan Pemimpin Redaksi Jurnal Ulumul Qur’an. Dalam kesempatan tersebut Dawam menyatakan Islam dan Marxisme merupakan dua entitas yang berbeda. “Pada dasarnya Islam memang berorientasi pada perubahan sosial,” ujarnya.

Menurut Dawam, di Indonesia tidak terjadi kolaborasi organik antara Islam dan Marxisme. Hal ini terjadi karena pada dasarnya Islam sudah memiliki nilai pembebasan sendiri. Berbeda dengan Teologi Pembebasan Amerika Latin yang digagas oleh Gustavo Gutirez, gerakan yang menjadi satu ideologi baru bersifat radikal.

Advertisement

“Ini sesuai dengan pemikiran Hegel yang menyatakan bahwa jika ada dua pertentangan, maka akan terjadi sintesa dan memunculkan tesis baru,” tambah Dawam.

Diskusi tersebut diikuti oleh puluhan orang dari berbagai latar belakang. Ruang Anjungan Salihara tampak penuh sesak oleh audiens yang hadir. Komunitas Salihara beraktivitas di Jl. Salihara 16, Pasar Minggu, Jakarta Selatan.

 

Advertisement

 

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif