Solopos.com, JAKARTA — Rainforest Foundation Norway (RFN) memprediksi jumlah bahasa bakal terancam berkurang drastis bersamaan dengan berkurangnya luas lahan hutan hujan tropis di dunia.
Kepala Divisi Asia-Oceania Rainforest Foundation Norway (RFN) Hege Karsti Ragnhildstveit di Jakarta, Jumat (6/12/2013), mengatakan kajian terbaru mengenai korelasi antara daerah dengan keanekaragaman hayati yang tinggi dan keberagaman bahasa yang tinggi menegaskan lebih jauh kaitan antara masyarakat adat dan hutan hujan tropis. Ia mengatakan sekitar 70% bahasa-bahasa di dunia digunakan di pusat-pusat penyebaran keanekaragaman hayati, terutama di hutan hujan tropis.
Masyarakat adat jumlahnya relatif sedikit, sekitar 5% dari penduduk dunia atau sekitar 370 juta orang. Namun setidaknya 60 juta masyarakat penghuni hutan adalah masyarakat adat.
Meskipun hanya 5% dari total penduduk dunia, kelompok-kelompok etnik mereka yang banyak jumlahnya menunjukkan kekayaan keberagaman budaya di dunia. Jumlah masyarakat adat yang paling besar terdapat di kawasan-kawasan hutan tropis yang luas, ujar Hege.
Ia mengatakan masyarakat adat berbasis hutan memiliki ikatan sosial, budaya, dan spiritual yang kuat terhadap wilayah adat mereka yang sudah dihuni turun-temurun. “Jika hutan hilang, orang-orang ini tidak hanya akan kehilangan penghidupan, tapi juga unsur-unsur dasar dalam budaya dan identitas mereka,” ujar dia.
Hutan hujan tropis menutupi kurang dari enam persen daratan bumi, namun menampung lebih dari 50 persen spesies. Sabuk hijau yang sempit terbentang mulai dari Amazon, melalui Afrika tengah ke pulau-pulau di Asia Tenggara dan Oceania. Tingkat deforestasi dan konversi hutan di Asia secara umum sangat tinggi.
Menurut Hege, dibutuhkan komitmen pemimpin negara untuk menggerakkan seluruh jajarannya memerangi deforestasi seperti yang telah dilakukan Brazil. “Pengakuan hak adat di kawasan hutan menjadi salah satu cara melindungi hutan, tapi pengakuan itu masih sangat kurang di Indonesia. Masalah pengakuan hak adat di sekitar hutan juga terjadi seperti di Peru, Brazil, tapi di Indonesia pengakuan ini sangat lemah,” ujar Hege.