Soloraya
Rabu, 4 Desember 2013 - 13:37 WIB

GAGASAN : Rindu & Benci untuk Dokter

Redaksi Solopos.com  /  Is Ariyanto  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Tonang Dwi Ardyanto tonang.ardyanto@uns.ac.id Dokter dan dosen di Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret

 

Tonang Dwi Ardyanto
tonang.ardyanto@uns.ac.id
Dokter dan dosen
di Fakultas Kedokteran
Universitas Sebelas Maret

Advertisement

Esai cukup panjang berjudul Dokter Mogok adalah Marapraktik yang ditulis advokat Wartono Wirjasaputra (Solopos, 2 Desember) cukup menarik untuk ditelaah. Sebagai seorang dokter dan dosen, saya menempatkan diri lebih banyak bertanya dalam esai yang saya tulis untuk menanggapi esai tersebut.

Terkait vonis Mahkamah Agung (MA) yang memenjarakan tiga orang dokter di Manado selama 10 bulan, Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) dalam surat tertanggal 25 November 2013 menyerukan dua hal utama.

Pertama, para dokter bertafakur di rumah pada 27 November 2013 disertai doa semoga seluruh bangsa Indonesia senantiasa sehat. Kedua, sebagai aksi solidaritas dan keprihatian terkait vonis MA itu, para dokter diseru mengenakan pita hitam di lengan kanan sebagai tanda keprihatinan.

Bila hendak menyuarakan aspirasi hendaknya disampaikan dengan cara yang menjaga harkat dan martabat dokter. Seruan itu lebih dahulu dinyatakan dengan syarat pelayanan kegawatdaruratan dan untuk masyarakat miskin tetap berjalan.

Saya terlibat dalam rapat-rapat maraton di rumah sakit tempat saya bekerja pada 26 November 2013. Tujuannya untuk merumuskan formulasi terbaik agar aksi keprihatinan maupun pelayanan di rumah sakit tetap dapat berjalan.

Rapat memutuskan pelayanan di bagian rawat inap, instalasi gawat darurat (IGD), serta bagian rawat jalan yang  bersifat segera dan tindakan penting yang sudah terjadwal seperti cuci darah maupun kemoterapi tetap berjalan seperti biasanya.

Informasi mengenai rencana pengaturan pelayanan itu saya informasikan di media sosial agar penyebarannya efektif. Harapannya, masyarakat bisa menyesuaikan keesokan harinya sekaligus untuk meminimalkan distorsi informasi.

Advertisement

Pagi-pagi sebelum aksi solidaritas dan keprihatinan dimulai, saya dan kawan-kawan sesama dokter lebih dulu memastikan pelayanan sesuai rencana. Setelah itu, sebagian di antara kami memulai aksi. Sebagian yang lain tetap melayani pasien di rumah sakit.

Jelas tidak ada niat untuk menghentikan pelayanan gawat darurat yang memerlukan pertolongan segera. Sedangkan untuk kasus-kasus yang ringan, sebagaimana biasa pada hari-hari libur, masih bisa dilayani pada hari berikutnya.

Berita-berita yang kemudian muncul tentang terhambatnya pelayanan selayaknya disikapi lebih bijak. Misalnya berita tentang pasien melahirkan di kamar mandi. Ternyata berdasarkan penelusuran pasien itu dalam penanganan di instalasi gawat darurat (IGD).

Ketika ke kamar mandi untuk membuang air kecil, ternyata terjadi his (kontraksi untuk memulai proses melahirkan). Pasien segera ditolong dan ditangani beberapa lama sampai akhirnya melahirkan di ruang bersalin. Informasi ini berasal dari dokter yang menangani langsung kasus pasien itu.

Berita tentang pasien yang disebutkan ”ditolak” ternyata adalah kasus yang tidak tergolong gawat darurat.  Tentu saja dengan usaha maksimal pun masih ada ketidaknyamanan dalam pelayanan. Namun, apakah sebesar itu salah para dokter sehingga aksi itu dihujat terus-menerus?

Banyak berita akibat ”dokter berdemonstrasu” itu sebenarnya hal-hal yang rutin kita dengar jauh sebelum aksi para dokter pada 27 November lalu itu. Pasien telantar dan tidak mendapat kamar karena rumah sakit penuh, pasien kurang mampu terhambat karena administrasi sistem asuransi, anak-anak dengan gizi kurang, dan terapi tidak optimal karena batasan asuransi adalah bukan berita baru.

Ini adalah potret pelayanan kesehatan kita yang memang masih perlu diperbaiki. Kasus tiga dokter di Manado dalam pandangan saya hanyalah pintu masuk untuk mengungkap banyak masalah dalam bidang kedokteran maupun sistem pelayanan kesehatan kita.

Advertisement

Itu sebenarnya yang ingin disuarakan aksi pada dokter pada 27 November lalu. Itu pula yang merupakan tanggung jawab pemerintah dan kita bersama, bukan hanya para dokter.

 

Klaim Kebenaran

Pada esai Wartono juga ada penilaian bahwa ada semacam klaim bahwa dokter tidak pernah berniat buruk dan dokter tidak pernah salah. Sebagaimana komunitas profesi lainnya, pasti ada dokter yang tidak menjalankan profesi dengan benar.

Ini sama dengan adanya hakim yang ”menjual pasal”, polisi yang minta suap, pengacara yang bermain perkara, jaksa yang tersandung korupsi, wartawan ”bodreks”, akuntan nakal, notaris menyalahgunakan sertifikat, insinyur konsultan proyek merekayasa anggaran, dosen menjual jasa penyusunan tugas akhir atau peneliti yang plagiator.

Saya yakin masih jauh lebih banyak anggota profesi itu yang tetap berusaha lurus menjalankan profesi mereka tanpa niat jahat. Pasti ada perasaaan tidak terima dan memberontak ketika ada penilaian buruk terhadap profesi akibat adanya anggota profesi yang tidak profesional.

Begitu juga dengan dokter. Dalam bingkai itulah, saya yakin dokter yang sebenarnya pasti tidak pernah berniat buruk kepada pasien. Apakah dokter tidak pernah salah? Dulu barangkali berkembang pemahaman di masyarakat bahwa ”dokter itu tidak pernah salah”. Pemahaman itu justru berkembang di masyarakat.

Advertisement

Namun, sejak era Voltaire (1694-1778) sudah disadari bahwa dokter itu pun berisiko melakukan kesalahan karena luasnya masalah yang dihadapi. Tentu saja kesalahan yang tidak disengaja. Semua itu didasari kenyataan bahwa medicine is a science of uncertaintity and art of probabilities (William Osler, 1849-1919) yang mendasari era evidence-based medicine (terapi berbasis bukti).

Sejak era 2000-an semakin berkembang paradigma patient safety (keselamatan pasien) dalam layanan kedokteran. Dalam konsep itu justru sangat dipahami bahwa to err is human (melakukan kesalahan tanpa sengaja itu adalah manusiawi). Dikampanyekan untuk to build a safer system (membangun sistem yang lebih aman).

Jelas disadari bahwa dokter bukanlah dewa yang tidak pernah salah. Dengan sistem yang baik risiko kesalahan yang memang manusiawi itu bisa diluruskan. Terjadinya hal yang tidak diharapkan dalam pelayanan kesehatan terbagi atas kejadian potensial cedera, kejadian nyaris cedera, kejadian tidak diharapkan, dan sentinel.

Kejadian tak diharapkan itu berturut-turut semakin berat implikasinya, namun juga berturut-turut makin kecil frekuensinya. Bila terjadi hal-hal itu, harus dilakukan penelusuran akar masalah (root cause analysis) dan dilaporkan kepada Komisi Keselamatan Pasien Rumah Sakit Kementerian Kesehatan (KKPRS Kemenkes).

Dasarnya adalah Pasal 43 UU No 44/2009 tentang Rumah Sakit yang diperjelas Permenkes No. 1691/2011 tentang Keselamatan Pasien. Tujuan dari pelaporan secara nasional itu adalah agar menjadi pelajaran sehingga tidak terulang.

Tidak semua kejadian itu menimbulkan kerugian bagi pasien. Bisa jadi juga ”kelalaian” itu terjadi akibat keterbatasan kondisi atau batasan regulasi asuransi. Dengan sistem yang semakin baik, semakin kecil kerugiannya, dan semakin jarang kejadiannya.

Tanpa menghilangkan tanggung jawab personal, tujuan mencari akar masalah adalah memperbaiki sistem agar kelalaian itu tidak terulang.  Unsur kesengajaan yang mengakibatkan kesalahan dokter pasti harus ditindak. Hal ini diatur dalam Pasal 29 UU No. 36/2009 tentang Kesehatan. Untuk hal seperti ini, tentu tidak layak bila dokter berdemonstrasi.

Advertisement

Pada Maret 2013 lalu MA memvonis seorang dokter akibat kelalaian sehingga perawat yang diberi instruksi memberikan obat melakukan kesalahan dan berakibat pasien meninggal. Bukankah saat itu sama sekali tidak ada reaksi negatif dari dokter, apalagi sampai demonstrasi?  Silakan dikoreksi bila ingatan saya ini salah.

 

Unsur Pidana

Kelalaian dokter yang diatur dalam UU No. 29/2004 tentang Praktik Kedokteran, UU No. 32/2009 tentang Kesehatan, dan UU No. 44/2009 tentang Rumah Sakit tidak mengandung unsur pidana. Wewenang menilai ada di Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI).

MKDKI ini bersifat otonom dengan anggota terdiri dari tiga orang dokter dan toga orang dokter gigi dari organisasi profesi masing-masing, seorang dokter dan seorang dokter gigi mewakili asosiasi rumah sakit, dan tiga orang sarjana hukum. Dengan demikian, salahkah bila saya merasa bahwa sinyalemen “MKDKI itu tidak objektif” adalah tidak pada tempatnya?

Saya menyadari sangat kurang pengetahuan soal hukum sehingga saya memilih tidak membahas secara khusus kasus tersebut. Ihwal persetujuan tindakan, Wartono dalam esainya merujuk Pasal 45 ayat (1) UU No. 29/2004. Setiap tindakan yang berisiko tinggi harus diberikan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan.

Saya yakin tidak ada dokter yang membantah isi pasal tersebut. Namun, ada penjelasan pasal tersebut dalam dokumen yang menyatu dengan UU itu. Dalam penjelasan Pasal 45 ayat (1) dinyatakan dalam keadaan gawat darurat, untuk menyelamatkan jiwa pasien tidak diperlukan persetujuan.

Advertisement

Namun, setelah pasien sadar atau dalam kondisi yang memungkinkan, segera diberikan penjelasan dan dibuat persetujuan. Barangkali hal ini belum sempat dibahas pada esai tersebut. Secara rinci, hal ini juga disebutkan dalam Pasal 4  Permenkes No. 290/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran.

Pasal tersebut menjelaskan dalam keadaan gawat darurat, untuk menyelamatkan jiwa pasien dan/atau mencegah kecacatan tidak diperlukan persetujuan tindakan kedokteran.  Dari sudut pandang institusi, hal ini juga diperkuat Pasal 45 ayat 2 UU No. 44/2009.

Pasal ini menjelaskan rumah sakit tidak dapat dituntut dalam melaksanakan tugas dalam rangka menyelamatkan nyawa manusia. Sebaliknya, bila dokter dan/atau rumah sakit sengaja tidak mau memberikan pertolongan pertama pada pasien yang dalam keadaan gawat darurat, ancamannya adalah pidana (Pasal 190 UU No. 32/2009).

Bagaimana seharusnya para dokter bertindak dalam kondisi seperti ini? Berikut ada contoh kasus nyata, baru-baru ini terjadi, setelah kasus tiga dokter di Manado itu. Kejadian ini di sebuah pinggiran kota di Jawa, bukan di pelosok. Malam itu ada seorang pasien hamil diantar ke sebuah rumah sakit dengan kondisi kejang-kejang.

Dia diantar mobil ambulans. Keluarganya dilaporkan segera menyusul. Kondisi pasien gawat. Janinnya menunjukkan tanda-tanda depresi (gawat janin). Seharusnya dilakukan operasi cito (segera, tanpa direncanakan sebelumnya). Namun, para dokter yang bertugas tidak berani bertindak sebelum keluarganya datang.

Selama menunggu, dilakukan pemeriksaan elektrokardiogram (EKG) dan foto rontgen. Ini dilakukan setelah belajar dari kasus di Manado. Ternyata  sulit dilakukan karena kondisi pasien kejang. Bila diberi obat antikejang, justru itu bisa membahayakan.

Setelah ditunggu dengan penuh kecemasan, baru dua jam kemudian suaminya datang. Apa yang terjadi? Suami pasien marah-marah mengapa istrinya ditelantarkan dan tidak segera dioperasi. Bagaimana seharusnya dokter bertindak?

Advertisement

Esai berjudul Dokter Mogok adalah Malapraktik juga membahas ihwal kompetensi dan kewenangan. Disebutkan bahwa tiga dokter di Manado itu tidak memenuhi unsur kompetensi dan kewenangan. Dalam naskah vonis Pengadilan Negeri (PN) Manado dan MA yang saya dapatkan dari situs resmi diketahui status tiga dokter itu saat kejadian adalah residen atau peserta didik.

Vonis MA menilai mereka tidak berwenang karena belum terkualifikasi dokter spesialis dan tanpa pendampingan. Bahkan sebuah koran nasional yang terbit 28 November 2013 di halaman depan memberitakan surat izin praktik dokter di Manado itu palsu.

Memang betul setiap dokter harus memiliki surat tanda registrasi (STR) dan surat izin praktik (SIP) sebelum menjalankan praktik (UU No. 29/2004). Dalam status sebagai peserta didik, yang harus ada dan menjadi kewajiban pribadi adalah STR sebagai dokter umum karena posisinya sedang belajar menjadi dokter spesialis.

Penyelenggara pendidikan mengusulkan kepada Dinas Kesehatan untuk menerbitkan SIP kolektif yang berlaku di rumah sakit pendidikan atau jejaringnya selama yang  bersangkutan dalam pendidikan (Pasal 7 Permenkes No. 512/2007). Kompetensi yang dimiliki seorang peserta didik dinilai dan ditentukan sesuai aturan kolegium (dewan pakar) masing-masing bidang spesialisasi.

Semakin tinggi kelasnya dalam pendidikan, makin lengkap tingkatan kompetensinya. Dalam kasus dokter di Manado itu, sebelum kejadian pada 2010 tersebut, yang bersangkutan telah melakukan lebih dari 100 kali operasi caesar tanpa timbul masalah berarti (berdasarkan naskah vonis PN Manado).

Sesuai penjelasan, yang bersangkutan memang sudah pada tahap mandiri. Artinya sudah mampu melaksanakan tindakan tersebut tanpa pendampingan, walaupun tetap harus melaporkan kepada pembimbingnya. Kalaupun misalnya memang benar SIP tiga dokter itu belum diterbitkan, hal ini bukan merupakan klausul pidana.

 

Tak Berkekuatan Hukum

Pasal 75 dan 76 UU No. 29/2004 memang mengandung unsur pidana terkait tidak adanya SIP. Namun, terhadap hal itu telah dilakukan judicial review pada 2007. Putusan MK menyatakan unsur pidana terkait pasal-pasal tersebut tidak lagi mengandung kekuatan hukum (Keputusan MK No. 4/PUU-V/2007).

SIP bagi peserta didik adalah kewajiban penyelenggara pendidikan dan Dinas Kesehatan. Aturan tersebut pula yang dirujuk pada kasus tiga dokter di manado itu karena kejadiannya pada 2010. Pada 2011, ada pembaruan aturan dimaksud dengan Permenkes No. 2052/2011.

Perubahannya secara prinsip tidak mengubah terkait SIP bagi peserta didik. Yang ditambahkan adalah tentang SIP bagi dokter yang secara khusus ditugaskan ke rumah sakit daerah sebagai tenaga residen calon spesialis maupun dokter internship. Daerah pelosok sangat kekurangan tenaga dokter spesialis.

Akhirnya Kemenkes mengambil kebijakan residen yang sudah dinilai kompeten dikirim ke daerah untuk melaksanakan tugas pelayanan dokter spesialis. Pegangannya adalah surat tugas dari Kemenkes dan persetujuan dari Dinas Kesehatan setempat.  Tentu saja, dalam banyak kasus, mereka bekerja tanpa didampingi dokter spesialis.

Kasus ini memunculkan kekhawatiran para dokter yang dikirim ke daerah tersebut. Apakah mereka harus ditarik agar tidak bertabrakan dengan yurisprudensi kasus dokter di Manado itu? Lantas, bagaimana pelayanan pasien di sana?

Hal lain adalah soal ”tanda tangan karangan” pada surat persetujuan tindakan. Setelah membaca naskah vonis PN Manado maupun MA, tanda tangan pada surat persetujuan di kasus dokter di Manado itu adalah ”karangan”. Tanda tangan tidak sesuai dengan tanda tangan pada kartu tanda penduduk, kartu asuransi kesehatan, dan bukti pengambilan uang di bank.

Regulasi menyatakan selama pasien dalam keadaan sadar dan bisa berkomunikasi, persetujuan harus diperoleh langsung dari pasien. Sulit saya bayangkan dalam keadaan menahan sakit dan posisi berbaring akan bisa melakukan tanda tangan secara sempurna.

Sekarang para dokter menjadi khawatir. Saat ini, form informed consent terbagi menjadi dua bagian. Pertama, tentang pemberian penjelasan. Kedua, tentang persetujuan maupun penolakan tindakan. Pada kedua bagian itu disertakan tanda tangan yang memberikan persetujuan maupun dua orang saksi.

Bagaimana agar menjadi benar dan tidak berisiko? Apakah harus seperti persetujuan akad kredit yang berlembar-lembar dengan tulisan huruf kecil-kecil, ditempeli meterai, dan setiap halaman diberi paraf/tanda tangan?

Terkait dengan upaya mediasi, maupun penggantian kerugian, sudah dibahas pada esai Agung Pambudi berjudul Peradilan Khusus Sengketa Medis (Solopos, 30 November). Bila terbukti terjadi suatu kelalaian memang tidak ada unsur pidana. Penyelesaiannya melalui peradilan khusus sengketa edis. Dengan demikian diperoleh putusan yang berkeadilan bagi semua pihak.

Penilaian terhadap kelalaian dokter adalah wewenang MKDKI sesuai amanat UU Praktek Kedokteran no 29/2004. Hal ini adalah mekanisme yang wajar dalam banyak organisasi profesi. Saya tidak mendapatkan penjelasan pasti untuk dokter di Manado ini apakah ada mekanisme penilaian serupa terhadap hakim di PN Manado yang sesuai naskah vonis MA dianggap melakukan kesalahan penerapan hukum.

Satu hal yang pasti, komunikasi antara dokter dan pasien telah lama menjadi perenungan banyak kalangan. Relasi dokter dan pasien, sebagaimana digambarkan dokter Prastyadi Mawardi dalam esai berjudul Memperbaiki Relasi Dokter-Pasien (Solopos, 27 November) memang  menyimpan “gunung es” masalah, walaupun mungkin yang dimaksud bukan malapraktik.

Akhir-akhir ini relasi itu meluas menjadi antara dokter dengan aparat penegak hukum, maupun dokter dengan media massa. Suatu kondisi yang jelas sangat merugikan bagi kedua pihak, maupun bagi masyarakat.

Saya menggambarkan hubungan itu sebagai ”benci tapi rindu”. Sebenarnya saling membutuhkan, tetapi juga terkesan saling curiga. Kondisi itu berkepanjangan sehingga makin jauh jaraknya. Akibatnya, pasal-pasal regulasi yang memang harus kaku itu diterjemahkan menjadi semakin kaku karena ketegangan hubungan antarpihak.

Semoga kasus dokter di Manadi ini membuka mata kita bersama. Banyak masalah dalam hal kedokteran dan pelayanan kesehatan yang akan makin merenggangkan hubungan kalau tidak justru diungkap agar diketahui dan diperjuangkan bersama. Bila itu tidak bisa kita perbaiki bersama, entahlah mau dibawa ke mana hubungan kita?

 

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif