Soloraya
Selasa, 3 Desember 2013 - 10:51 WIB

MIMBAR KAMPUS : Refleksi RAN Penyandang Disabilitas

Redaksi Solopos.com  /  Is Ariyanto  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Lilis Maryati lilismaryati24@gmail.com Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Sebelas Maret

Lilis Maryati
lilismaryati24@gmail.com
Mahasiswa Jurusan
Ilmu Komunikasi
Universitas Sebelas Maret

Sesuai Resolusi PBB No. 47/3 Tahun 1992,  setiap 3 Desember warga dunia memperingati International Day of Disabled Person atau Hari Internasional Penyandang Cacat (Hipenca). Peringatan tahun ini sekiranya dapat mengingatkan seluruh masyarakat dunia bahwa masih terdapat kelompok anggota masyarakat yang harus diperlakukan sama dengan anggota masyarakat lain terkait status kesetaraan sosial.

Advertisement

Secara historis, pertemuan tingkat tinggi negara-negara Asia-Pasifik di Otsu, Jepang, pada Oktober 2002 menghasilkan perpanjangan masa pencanangan Asian and Pacific Decade of Disabled Person (APDDP) 1993-2002 dan Biwako Millenium Frameworks  for Action:  Toward  an Inclusive, Barrier Free and Right Based Society For Persons With Disabilities in Asia and the Pacific 2003-2012.

Dalam kesepakatan Biwako tersebut dirumuskan berbagai upaya strategis untuk memberdayakan kelompok warga difabel atau penyandang disabilitas dan tentunya setiap negara diharapkan dapat menindaklanjuti visi dan misi yang sejalan dengan pencanganan rencana kerja gerakan internasional tersebut.

Indonesia sebagai negara peserta rencana kerja Biwako seharusnya menindaklanjuti Rencana Aksi Nasional (RAN) Penyandang Cacat 2004-2013 (RAN) Indonesia. Melihat dari sisi idealitas, dari setiap peringatan Hipenca dapat dilakukan berbagai program maupun kegiatan yang sifatnya konkret untuk memecahkan permasalahan para penyandang disabilitas.

Advertisement

Pemecahan masalah itu harus bersifat berkelanjutan, bukan sekadar mengadakan kegiatan seremonial yang setelah berlalunya tanggal 3 Desember maka kegiatan yang menggemakan kesetaraan perlakuan sosial tersebut kemudian hilang laksana debu tertiup angin.

Hal ini menjadi pekerjaan rumah kita bersama. Kegiatan nyata untuk memberdayakan kelompok difabel harus menjadi komitmen nasional yang harus diusahakan secara terintegrasi oleh banyak pihak. Para pihak itu meliputi Kementrian Sosial, organisasi-organisasi yang peduli terhadap penyandang disabilitas, inisiatif tokoh-tokoh dan aktivis masyarakat, serta yang tak boleh kita lupakan adalah peran dunia usaha.

Dunia usaha berposisi cukup vital untuk menjadi wadah pengembangan kreativitas sehingga dapat menaikkan tingkat penyerapan tenaga kerja dari kelompok penyandang disabilitas. Apakah pencapaian satu dekade RAN Penyandang Cacat Indonesia 2004-2013 yang dicanangkan pemerintah sudah maksimal?

Berkaca pada visi RAN Penyandang Cacat Indonesia 2004-2013 yang berpijak pada semangat kemandirian, kesetaraan, dan kesejahteraan penyandang disabilitas dan misi penegakan hukum dan hak asasi Manusia penyandang cacat serta  implementasi rencana kerja Biwako dapat ditarik kesimpulan bahwa komitmen pemerintah dan masyarakat dapat dikatakan cukup tinggi dalam menyikapi pemberdayaan dan upaya peningkatan kesejahteraan kelompok ini.

Advertisement

Berdasar pengalaman pada Hipenca yang dilaksanakan pada 29 Oktober-1 November 2010 dapat dinilai bahwa target-target RAN Penyandang Cacat Indonesia belum tercapai dengan maksimal karena kegiatan penanganan yang dilakukan  Direktorat Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Penyandang Cacat Kementerian Sosial masih minim.

 

Transformasi Pemerintahan

Transformasi pemerintahan dari yang bersifat sentralisasi menuju desentralisasi sesuai UU No. 32/2004 tentang Pemerintah Daerah berdampak terhadap penyelenggaraan kesejahteraan sosial. Dampak ini terasa di sektor pemberdayaan atau kegiatan lain yang bersifat penanganan sosial yang dilakukan otoritas kebijakan di pemerintahan daerah.

Advertisement

Realitas menunjukkan otoitas penyelenggara layanan masalah sosial, misalnya Dinas Sosial di tingkat provinsi dan kabupaten/kota banyak yang belum memahami RAN Penyandang Cacat Indonesia 2004-2013.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tingkat keberhasilan implementasi RAN Penyancang Cacat selama satu dekade sejak pencanangan pada 2004 yang menjadi tanggung jawab para pihak di level nasional masih belum memuaskan.

Harapan kita bersama adalah terdapat upaya nyata yang dapat meminimalisasi ketidakoptimalan pencapaian visi dan misi RAN Penyandang Cacat Indonesia 2014-2013. Hal ini dapat diwujudkan melalui upaya Kementrian Sosial bersama dengan dinas-dinas sosial di provinsi dan kabupaten/kota.

Upata itu berupa advokasi maupun sosialisasi kepada organisasi, badan-badan sosial, dan perusahaan webagai wadah penyerap tenaga kerja untuk berintegrasi membuat tindakan nyata meningkatkan kesejahteraan penyandang disabilitas.

Advertisement

Sedangkan dari bawah dapat dibangun dengan gerakan kelompok aktivisme, masyarakat secara umum, atau komunitas-komunitas sosial yang menggalang aksi yang berkelanjutan untuk pemberdayaan kelompok ini.

 

Kota Inklusi

Berbicara mengenai kebijakan daerah yang memiliki wewenang untuk menangani permasalahan kesejahteraan sosial kita belum lupa ketika pada 28 September 2013 lalu Pemerintah Kota Solo mencanangkan pengembangan pendidikan inklusi menuju Solo Kota Layak Anak (KLA).

Berdasarkan Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak No. 11/2011, KLA merupakan kabupaten/kota yang mempunyai sistem pembangunan berbasis hak anak melalui pengintegrasian komitmen dan sumber daya pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha yang terencana secara menyeluruh dan berkelanjutan dalam kebijakan, program, dan kegiatan untuk menjamin terpenuhinya hak anak.

Konsep ini diharapkan dilaksanakan secara maksimal tanpa diskriminasi terhadap anak berkebutuhan khusus (ABK) atau anak penyandang disabilitas. Kota Solo memiliki regulasi, penyelenggaraan, dan historis yang memenuhi kriteria menuju KLA.

Advertisement

Citra Kota Solo yang mencerminkan kepedulian terhadap kesetaraan perlakuan sosial ini secara tidak langsung juga mengharuskan instansi-instansi penyelenggara pendidikan untuk menerima ABK sebagai peserta didik.

Ini langkah awal yang baik dari Pemerintah Kota Solo untuk mengapresiasi warga yang seharusnya memang mendapatkan hak yang sama. Menurut data, Kota Solo sendiri memiliki 13 sekolah dari berbagai level pendidikan yang memungkinkan untuk dikembangkan menjadi sekolah inklusi atau sekolah yang terbuka menerima siswa dari kalangan penyandang disabilitas.

Hal ini harus terus ditingkatkan dan diikuti evaluasi karena saat ini pelayanan pendidikan untuk ABK terbilang masih minim. Berdasarkan data dari Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) Kota Solo terdapat 812 ABK di Kota Solo dan baru 276 ABK yang sudah terlayani pendidikannya.  Menurut data itu masih ada empat kelurahan yang belum melaporkan data ABK.

Dengan komitmen Pemerintah Kota Solo yang bergerak menuju Kota Layak Anak, jumlah ABK yang belum mendapat pelayanan pendidikan yang setara dengan siswa non-ABK harus terus ditekan sehingga pemerataan pendidikan bagi ABK tercapai dengan baik. Masyarakat umum juga dapat berpartisipasi aktif mendorong kebijakan ini sehingga dalam jangka beberapa tahun ke depan Kota Solo sebagai kota inklusi dapat menjadi kota percontohan dan menunjukkan bahwa RAN Penyancang Cacat Indonesia 2004-2013 bisa diterapkan di daerah.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif