Soloraya
Senin, 4 November 2013 - 13:30 WIB

GAGASAN : Sura dan Waktu di Jawa

Redaksi Solopos.com  /  Is Ariyanto  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Bandung Mawardi bandungmawardi@yahoo.co.id Pengelola Jagat Abjad Solo

 

Bandung Mawardi
bandungmawardi@yahoo.co.id
Pengelola Jagat Abjad Solo

Advertisement

 

 

 

Advertisement

Pada 8 Juli 1633 Masehi yang bertepatan 1 Muharam 1043, Sultan Agung meresmikan penggunaan kalender Jawa. Sejak itu bermula penanggalan Jawa, 1 Sura tahun Alip 1555.

Raja Mataram itu memang bersemangat mengubah sistem kalender Saka  (Hindu-Jawa) menjadi kalender Jawa yang dipengaruhi oleh kesadaran waktu dalam Islam. Kebijakan Sultan Agung (1913-1645) mencirikan olahan Jawa-Islam.

Kamajaya dalam buku 1 Sura: Perpaduan Jawa-Islam (1992) menjelaskan saat Sultan Agung naik takhta berlaku kalender Saka. Konon, kalender ini ciptaan Ajisaka, berasal dari India.

Sistem kalender Saka mengacu perjalanan matahari mengitari bumi. Sultan Agung mengubah anutan lawas menjadi kalender Jawa, berdasar perjalanan bulan mengitari bumi, mirip dengan sistem kalender Hijriah (Islam).

Advertisement

Perubahan sistem kalender membuktikan ada kesadaran waktu  khas Jawa, berasal dari model petangan Jawi. Model itu berlanjut dengan pertemuan dan olahan bersama sistem waktu dalam Islam.

Konon, kebijakan Raja Mataram itu dianggap kalangan ahli sejarah sebagai ”ciptaan besar” dan ”revolusioner”, bukti kemahiran Sultan Agung dalam ilmu falak dan bukti kehendak memperluas pengaruh agama Islam di Jawa.

Selebrasi 1 Sura adalah representasi otoritas keraton dan adab agraris berbingkai religiositas. Kombinasi Islam-Jawa perlahan memberi bentuk dan roh, membentuk mentalitas kultural Jawa.

Peringatan 1 Sura adalah kesadaran waktu sakral, tanda transformasi iman dan identitas. Orang Jawa memandang waktu dengan kompleksitas kesadaran, dari religiositas sampai kekuasaan.

Advertisement

1 Sura dianggap momentum sakral. Bentuk kesadaran sakral adalah pantangan membuat hajatan saat Sura. Persepsi ini tampak mengacu ke gagasan tradisional Jawa: membuat pembedaan makna-makna hari, bulan, tahun.

Waktu selalu mengandung pesan dan pembelajaran dalam lakon hidup. Koentjaraningrat (1984) menganggap hal itu sebagai ketajaman persepsi waktu dalam kerumitan tapi mengandung makna religio-magis atau sakral-spiritual.

Kesadaran waktu Jawa dalam selebrasi 1 Sura diejawantahkan dengan ritus, seni, tirakat, semadi, ziarah. Semua ekspresi mengartikan pengharapan untuk kebaikan, kerukunan, kemuliaan, kedamaian, kehormatan.

 

Advertisement

Keganjilan

Publik Jawa memahami waktu sakral 1 Sura merujuk ke orientasi kultural-agama. Kamajaya (1995) menjelaskan selebrasi Sura mendasarkan diri pada pedoman prihatin, mohon ampun, dan petunjuk Tuhan agar selamat, sejahtera, dan dijauhkan dari malapetaka.

Ritus 1 Sura di abad XXI tentu menjadi ”keganjilan” dalam arus teknologi dan modernitas. Kita terus mengonstruski diri sebagai manusia modern tapi tak sanggup mengelak dari keberakaran diri.

Zaman memang bergerak cepat dan waktu berlalu seperti embusan angin. Kesadaran waktu Jawa menjadi referensi tentang kesejarahan, identitas, etos untuk meladeni perubahan-perubahan zaman.

Waktu memang semakin ”terangkakan” dan material di abad XXI. Kita mengalami dengan kesadaran ambigu: kemutakhiran dan anutan ke kalender Jawa. Kesadaran waktu berdalih kalender Jawa juga berkaitan dengan sejarah-politik dan nalar kekuasaan di Indonesia.

Kamajaya (1991) mencatat tentang ikhtiar ”menasionalkan” peringatan 1 Sura sejak masa kolonialisme. Gerakan itu dilakukan di pelbagai kota, berharap bisa menandingi tradisi peringatan tahun baru merujuk ke kalender Masehi.

Advertisement

Di masa lalu, peringatan 1 Januari selalu meriah dan terkesan duniawi. Kaum pribumi pun menuduh peringatan itu ekspresi kebelanda-belandaan. Perlawanan ingin diajukan dengan ”menasionalkan” peringatan 1 Sura dengan misi menampilkan identitas dan semangat nasionalisme.

Ikhtiar itu tak berhasil tapi meninggalkan jejak-jejak politis dalam kesadaran waktu di Jawa. Masa berganti masa. Situasi kolonialisme mengakibatkan ada imperatif waktu dari kolonial dan bangsa-bangsa asing.

Kesadaran waktu Islam dan Jawa bersaing dengan pemberlakuan kalender Masehi. Denys Lombard (1996) mengartikan imperatif waktu kolonial itu membuat Hindia Belanda menganut ”waktu universal” alias globalisasi waktu.

Sakralitas dan historisitas waktu di Jawa berwujud kalender selalu ada di situasi pelik saat kolonialisme menginginkan ekspresi waktu berwajah pembaratan. Kalender Jawa telah melintasi masa demi masa.

Kita masih bisa ”mengalami” dan “memaknai” waktu dengan ekspresi sakral. Kesadaran waktu selalu berkaitan dengan jiwa raga meski kehidupan terus berubah. Peringatan 1 Sura, dari tahun ke tahun, mengundang kita untuk berefleksi tentang waktu, identitas, religiositas.

Rendra, pujangga berkesadaran Jawa, menggubah puisi berjudul  Waktu  (1961). Rendra menulis: Waktu seperti burung tanpa hinggapan/ melewati hari-hari rubuh tanpa ratapan/ sayap-sayap mukjizat terkebar dengan cekatan.

Waktu memang mengajak kita bergerak ke masa silam dan masa depan, menguak kesadaran tentang waktu, dari sakralitas sampai pamrih-pamrih duniawi.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif