News
Sabtu, 2 November 2013 - 02:45 WIB

Pelni Gandeng ITS Hematkan BBM Kapal

Redaksi Solopos.com  /  Rahmat Wibisono  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Ilustrasi Kapal Pelni di perairan Makassar.(Paulus Tandi Bone_JIBI_Bisnis)

Solopos.com, SURABAYA — PT Pelayaran Nasional Indonesia (Pelni) menggandeng Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya mendesain kembali kapal bermesin lama sehingga bisa hemat bahan bakar.

Direktur Utama Pelni Syahril Japarin menguraikan perseroan mengeluarkan belanja bahan bakar minyak Rp1,2 triliun per tahun untuk 30 kapal yang dioperasikan. Pengeluaran itu 60% dari total biaya perseroan. “Kalau bisa dikurangi 20% saja maka sangat besar nilainya. Makanya kami menggandeng ITS untuk mencari cara pengurangan konsumsi bahan bakar,” jelasnya di sela-sela pertemuan Pelni dengan ITS di Surabaya, Jumat (1/11/2013).

Advertisement

Dia menggambarkan total kapal penumpang yang dimiliki Pelni 25 buah. Kapal termuda Pelni dibuat pada 2008 dan sisanya sudah berumur 10 tahun hingga 30 tahun. Kondisi itu, sambungnya, menyebabkan efisiensi mesin sudah sangat berkurang. Sehingga diperlukan pembaharuan teknologi maupun modifikasi untuk membuat kapal lama semakin efisien.

“Kami berharap akhir tahun sudah ada hasil [kajian] sehingga implementasi tahun depan. Opsinya bisa uji coba di kapal 1.000 penumpang atau 2.000 penumpang, itu tergantung temuannya nanti,” urainya.

Ketua Jurusan Teknologi Kelautan ITS Tri Achmadi menguraikan jajarannya sedang mengkaji kapal dengan mesin diesel dan gas sekaligus. Kajian di atas kertas sudah mencapai 90%.Menurutnya, selain implementasi mesin berteknologi gas, peningkatan efisiensi kapal bisa dilakukan dengan peremajaan mesin. “Tapi nanti dikaji dulu mana yang paling sesuai dengan kebutuhan Pelni,” jelasnya.

Advertisement

General Manager Pelni Surabaya Murdiyoto mencontohkan kapal KM Labubar yang menempuh perjalanan 14 hari di rute yang dijelajahi perlu 9.000 Kiloliter solar. Seiring kenaikan harga bahan bakar maka biaya operasional semakin besar. Sebagai gambaran, biaya penumpang per mil Rp800, sedangkan harga tiket hanya Rp400. Alhasil beban biaya subsidi operasional sangat besar. “Kami tidak mungkin menaikkan tarif karena tidak akan bersaing dengan penerbangan murah,” jelasnya soal problem yang dihadapi perusahaan.

Solusi persoalan itu, sambungnya, mencari teknologi yang bisa menekan komponen utama biaya operasional. Opsinya bisa mengadopsi mesin berbahan bakar gas, meremajakan atau mengganti mesin.

Advertisement
Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif