Soloraya
Kamis, 31 Oktober 2013 - 12:20 WIB

GAGASAN : Masa Depan Pelajaran Bahasa Jawa

Redaksi Solopos.com  /  Is Ariyanto  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

 

Bisri Nuryadi
bisri.dol.birawa@gmail.com
Guru SMK Karya Nugraha Boyolali
Bergiat di Bilik Literasi Solo

Advertisement

”Bahasa Djawa masih dapat hidup subur dan tetap, djika orang-orang Djawa dapat mengerti dan mengakui alamat djaman serta alam baru” (Ki Hadjar Dewantara, 1937).

Dalam rubrik Gagasan Solopos edisi Rabu, 9 Oktober 2013, Budi Wahyono, seorang pendidik dan penulis sastra Jawa, mengemukakan gagasan yang berjudul Menjadi Guru Bahasa Jawa. Gagasan tersebut bisa menjadi inspirasi bagi setiap guru mata pelajaran (mapel) Bahasa Jawa.

Artikel tersebut semestinya mendapat perhatian dari kalangan penentu kebijakan pendidikan bahasa Jawa di sekolah. Gagasan Budi Wahyono itu memuat berbagai hal dan dinamika tentang guru dalam mengajar mapel Bahasa Jawa yang merujuk profesionalisme seorang guru.

Advertisement

Setidaknya ada empat hal yang saya tangkap dari artikel tersebut. Pertama, adalah para guru pelajaran Bahasa Jawa karena mapel tersebut masuk dalam Kurikulum 2013 sebagai muatan lokal resmi.

Kedua, penyusunan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) yang mengacu standar proses dengan menggunakan pendekatan scientific dan penilaian autentik yang seharusnya bisa menjadi tantangan tersendiri bagi guru mapel Bahasa Jawa.

Ketiga, peran guru bahasa Jawa dalam merealisasikan pendidikan berkarakter kini memang sangat dibutuhkan. Hal ini berkaitan dengan sikap dan unggah ungguh siswa dalam kehidupan bermasyarakat.

Keempat, roh kreativitas guru bisa ditularkan kepada siswa, salah satunya dengan penciptaan tulisan atau hasil karya sastra berbahasa Jawa. Tentu saja substansi artikel itu ingin mengajak para guru bahasa Jawa agar tidak melulu mengajar materi.

Advertisement

Guru bahasa Jawa harus mendidik para siswa supaya lebih kreatif dan lebih bisa melihat dunia luar yang terkait dengan penerapan keterampilan. Dari keempat hal di atas, ada satu hal yang menurut saya harus didiskusikan lebih lanjut, yaitu tentang peran guru bahasa Jawa.

Tidak ada yang salah jika kita mengatakan guru mapel Bahasa Jawa berkewajiban mendidik siswa agar punya unggah ungguh, yaitu terkait dengan penggunaan ragam bahasa Jawa yaitu ngoko dan krama.

Namun, akan menjadi bermasalah jika kita hanya menyalahkan guru mapel Bahasa Jawa ketika ada siswa yang tidak bisa menggunakan unggah ungguh dalam bermasyarakat.

Kita pasti menyadari bahwa guru tidak bisa mengawasi keseharian para siswa. Kegiatan di sekolah–pertemuan antara guru dan murid–hanya menjadi bagian dari kehidupan para siswa. Sedangkan waktu lainnya dihabiskan siswa di rumah dan lingkungannya.

Advertisement

Pertemuan di sekolah itu pun terhitung hanya beberapa jam. Untuk mapel Bahasa Jawa dalam sepekan memperoleh dua jam pelajaran untuk jenjang SD, SMP, SMA/SMK dan yang sederajat. Bahkan ada SMA/SMK yang hanya memperoleh satu jam pelajaran setiap pekan karena situasi dan kondisi sekolah tersebut.

Pelajaran unggah ungguh tidak bisa selalu dibahas dalam setiap pertemuan karena banyak materi lainnya yang juga harus disampaikan dan diajarkan kepada para siswa.

Kita harus bijak dengan tidak menghubungkan kesalahan berbahasa Jawa para siswa di masyarakat dengan guru mereka yang mengajar bahasa Jawa di kelas. Menghubungkan dua hal ini dalam tataran logika memang masuk akal.

Namun, Guru bahasa Jawa hanya menjadi pengajar dan pendidik sesaat saat proses pembelajaran formal berlangsung. Penerapan bahasa Jawa para siswa di masyarakat bukan hanya tanggung Jawab guru bahasa Jawa. Banyak kalangan yang harus diikutsertakan. Mereka adalah orang tua, pemerintah, penulis, budayawan, seniman, dan semua yang berhubungan dengan pelestarian bahasa Jawa.

Advertisement

Memanunggalkan kekuatan seluruh pihak untuk merujuk penggunaan berbahasa Jawa yang baik dan benar menjadi penting jika harapan akhinya adalah generasi muda yang fasih berbahasa Jawa. Tentu saja langkah demikian tetap harus mengacu aktualisasi bahasa Jawa agar dapat diterima dengan mudah di kalangan masyarakat.

Dalam realitas sehari-hari di kehidupan orang Jawa, bahasa Jawa selalu menjadi kebutuhan pokok.  Dari segi komunikasi bermasyarakat, upacara adat Jawa maupun lagu-lagu berbahasa Jawa selalu hadir. Misalnya, ketika orang Jawa memiliki hajatan pernikahan, tidak akan lengkap jika tanpa ada acara pasrah-tampi penganten dan pambagyaharja.

Satu dekade terakhir ini kita juga sering disuguhi berbagai macam lagu berbahasa Jawa. Bahkan beberapa dari lagu tersebut sempat menjadi primadona di masyarakat Jawa. Kita pasti mengenal lagu yang berjudul Iwak Peyek dan Oplosan.

Lagu dengan lirik bahasa Jawa ngoko itu sempat menggemparkan dunia musik negeri ini. Jika dipandang dalam kacamata pelestarian bahasa Jawa, lagu-lagu ini memang mampu mendongkrak popularitas bahasa Jawa.

 

Budi Pekerti

Advertisement

Namun, di sisi lain memang terkesan urakan karena menggunakan iringan musik koplo. Tak jarang di tengah-tengah lagu itu disisipi kata-kata yang dalam benak setiap orang pasti akan mengonotasikannya dengan hal yang negatif, misalnya saja kata-kata bukak sithik jos.

Pegajaran budi pekerti harus selalu dilekatkan pada bahasa Jawa, termasuk dalam lagu. Buku bagian pertama tentang pendidikan karya Ki Hajar Dewantara(1962), pada halaman 507, menjelaskan daya upaya untuk menghidupkan bahasa Jawa pada zaman baru.

Salah satunya adalah dengan mengindahkan dan memperkuat budi pekerti orang Jawa pada zaman itu. Walaupun sampai saat ini bahasa Jawa masih terbilang eksis, namun budi pekertinya semakin luntur.

Pelajaran budi pekerti dalam bahasa Jawa akan dengan mudah kita temui dalam lagu dolanan bersumber kebudayaan Jawa. Lagu dolanan berbahasa Jawa selalu sarat dengan unggah ungguh. Misalnya, lagu  Oh adikku.

Lirik lagu tersebut sebagai berikut: Oh adikku, kekasihku/aja pijer nangis wae/ayo dolan karo aku ana ngisor uwit manggis/dhelok maneh ibu rawuh ngasta oleh-oleh/gedhang goreng karo roti/mengko diparingi.

Dengan jelas lirik lagu tersebut menggunakan ragam bahasa Jawa ngoko alus, ragam bahasa Jawa untuk menghormati orang ketiga yang lebih tinggi derajatnya. Namun, sayangnya nasib lagu dolanan seperti contoh di atas kini dalam fase yang kritis.

Lagu dolanan dianggap sebagai lagu kuno dan hanya itu-itu saja, tanpa ada perkembangan lebih lanjut. Bila beberapa bulan yang lalu kita temui lomba cipta lagu anak berbahasa Indonesia, tak ada salahnya Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur, atau Daerah Istimewa Yogyakarta juga mengadakan lomba cipta lagu anak berbahasa Jawa.

Tentunya ini akan mendorong kebangkitan lagu-lagu anak berbahasa Jawa. Dengan cara seperti ini mungkin pembelajaran mapel bahasa Jawa (khususnya unggah ungguh) tidak hanya bisa ditemui di dalam kelas sekolah formal.

Para siswa bisa belajar melalui lirik lagu berbahasa Jawa yang mengandung pendidikan budi pekerti. Peran seniman, budayawan, penulis, peneliti, dan juga pemerintah selalu dibutuhkan demi perkembangan bahasa Jawa ke arah yang lebih baik.

 

 

 

 

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif