Bisnis
Rabu, 1 Mei 2024 - 14:55 WIB

Kerentanan Pekerja Remote, Tanpa Jaminan Sosial hingga Upah Kecil

Redaksi Solopos.com  /  Anik Sulistyawati  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Ilustrasi wanita pekerja kelelahan. (Freepik)

Solopos.com, SOLO — Sudah hampir dua tahun, Shafa Kamila, 24, bekerja sebagai perencana konten di sebuah perusahaan agensi. Selama itu juga warga Sukoharjo ini belum mendapat jaminan kesehatan dan ketenagakerjaan yang selayaknya didapat para pekerja.

Perusahaan tempat dia bekerja berkantor di Aceh, sedangkan dirinya sebagai pekerja remote, Shafa mampu menyelesaikan pekerjaannnya dari mana saja. Berawal dari anak magang dengan upah Rp500.000 per bulan, Shafa kemudian meneken kontrak karena atasannya puas dengan kinerjanya saat magang.

Advertisement

Upah yang dia terima kemudian naik menjadi Rp750.000, dan kini menjadi Rp1 juta. Shafa mengaku sempat mengaku bermasalah dengan kontrak kerja dan gaji yang dia terima.

Perusahaannya berjanji setelah masa magang dan tiga bulan masa training, gaji yang dia terima bakal naik. Statusnya karyawannya juga dijanjikan juga bakal berubah menjadi penuh waktu atau fulltime karena sebelumnya berstatus sebagai freelance.

Advertisement

Perusahaannya berjanji setelah masa magang dan tiga bulan masa training, gaji yang dia terima bakal naik. Statusnya karyawannya juga dijanjikan juga bakal berubah menjadi penuh waktu atau fulltime karena sebelumnya berstatus sebagai freelance.

“Setelah habis masa training itu, enggak ada kelanjutan, akhirnya mengajukan komplain, jadi gajinya naik dan statusnya jelas,” terang Shafa saat ditemui Solopos.com, pada Rabu (1/5/2024).

Walaupun gajinya naik, menjadi karyawan kontrak tidak membuatnya memperoleh fasilitas BPJS Kesehatan ataupun BPJS Ketenagakerjaan, gaji yang dia terima pun tidak menyentuh standar upah minimum.

Advertisement

Fleksibilitas waktu dan tempat kerja membuatnya bertahan dengan pekerjaannya tersebut. Dia bisa bekerja dari mana saja dengan layanan konferensi video walaupun tidak pernah bertemu secara tatap muka secara langsung dengan rekan kerjanya. Namun dia berharap perusahaan bisa membuat sistem dan kontrak kerja yang layak serta diuraikan dalam perjanjian kerja.

“Agar pekerja ini juga tahu batasan dalam bekerja, jangan menjual kata-kata fleksibel, karena itu mengandung dualisme. Fleksibel itu bisa berarti kapan pun bisa diberi pekerjaan, dan bisa juga diartikan pekerjaan bisa dilakukan dimana pun. Soalnya berkaitan langsung dengan hak pekerja untuk libur,” kata dia.

Senada dengan Shafa, pekerja lepas asal Yogyakarta, Firman Adhi, 28, mengaku sudah sepuluh tahun bekerja secara remote. Awalnya dia bekerja menjadi perancang grafis. Karena merasa pendapatan yang dia terima tidak tetap, dia memutuskan untuk melamar di salah satu pengembang gim di Bandung.

Advertisement

Dia bekerja selama empat bulan di game developer tersebut sebelum akhirnya diputus kontrak secara sepihak karena projek yang dia kerjakan tidak berlanjut. Firman juga tidak mendapatkan BPJS Kesehatan ataupun BPJS Ketenagakerjaan.

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Sunny Ummul Firdaus menilai pemerintah perlu mengevaluasi kebijakan yang mendukung model kerja fleksibel dan remote work. Kebijakan ini harus menimbang aspek keadilan dan aksesibilitas untuk semua pekerja.

Sebab, para pekerja remote kadangkala tidak memperoleh jaminan sosial. Lebih lanjut Sunny menjelaskan pemerintah juga perlu menganalisis efektivitas undang-undang dan regulasi yang ada, terkait perlinduangan pekerja.

Advertisement

“Mencakup evaluasi terhadap pelaksanaan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja kerja yang ada, menilai kebutuhan revisi atau penambahan regulasi baru dan peraturan pelaksanaan,” terang Sunny, saat dihubungi Solopos.com, pada Selasa (30/4/2024).

Menurut Sunny, pemerintah perlu melakukan kajian untuk mendukung inklusivitas di tempat kerja. Termasuk kesempatan kerja bagi kelompok marginal, seperti penyandang disabilitas, pekerja lanjut usia, dan minoritas etnis. Pemerintah juga perlu mengevaluasi efektivitas program pemerintah dalam mengurangi tingkat pengangguran dan menciptakan lapangan kerja baru.

Menurutnya hal ini termasuk kajian terhadap insentif untuk perusahaan yang membuka lapangan kerja baru atau investasi dalam teknologi yang menciptakan kebutuhan tenaga kerja baru. “Memeriksa kebijakan upah minimum dan struktur upah untuk memastikan bahwa pekerja dapat hidup layak dari penghasilan mereka. Ini juga mencakup evaluasi terhadap kesenjangan upah, termasuk perbedaan berdasarkan gender atau latar belakang sosial ekonomi,” ujarnya.

Ketua Forum Komunikasi Serikat Pekerja/Serikat Buruh Karanganyar, Eko Supriyanto menyebut apapun hubungan kerja, termasuk pekerja remote, seharusnya ada jaminan sosial kesehatan atau ketenagakerjaan karena menjadi kewajiban pemberi kerja.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif