Kolom
Rabu, 2 Oktober 2013 - 12:45 WIB

GAGASAN : Konvensi UN dan Intimidasi Pendidikan

Redaksi Solopos.com  /  Is Ariyanto  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Niken Ulfah Rahmaningrum niken_ulfah@yahoo.com Pengajar di MTsN Model Sumberlawang, Sragen

Niken Ulfah Rahmaningrum
niken_ulfah@yahoo.com
Pengajar di MTsN Model Sumberlawang, Sragen

Meski banyak digugat, pemerintah tetap mempertahankan Ujian Nasional (UN) sebagai penentu kelulusan siswa. Ini keputusan  dalam Konvensi Ujian Nasional yang diselenggarakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan di Jakarta beberapa hari lalu.

Advertisement

Salah satu keputusan konvensi menyebutkan mutu sekolah dapat dicapai dengan standar yang telah ditetapkan (baca: UN) dan peningkatan standar secara berkala. Di sini tampak betapa orientasi pendidikan kita sejauh ini masih mengutamakan hasil akhir dari serangkaian proses belajar mengajar.

Jika demikian, apa bedanya sekolah dengan pabrik yang memproduksi barang secara massal? Dalam sebuah pabrik, pengecekan kualitas (bagus atau tidak) setiap barang selalu ditentukan di akhir proses produksi. Pola inilah yang tampaknya ingin diterapkan pemerintah untuk mengendalikan mutu pendidikan kita melalui pelaksanaan UN.

Padahal pola semacam ini tak akan mampu mengukur kemampuan dan potensi akademis siswa secara holistik. Sebaliknya, siswa akan mengalami keterasingan dari diri dan realitas mereka sendiri karena peran nilai (values), perasaan (feelings), bakat (talents), dan kecerdasan diri (gifts) yang beragam diabaikan.

Berbagai elemen, seperti daya nalar, berpikir kompleks, rasa ingin tahu, sikap kritis, kreatif, kejujuran, dan kemampuan berkomunikasi dikesampingkan dalam proses pendidikan. Persoalan semakin runyam ketika pemerintah belum sepenuhnya memberikan layanan pendidikan secara merata terutama bagi daerah-daerah.

Misalnya terkait dengan sarana prasarana belajar, fasilitas sekolah, perpustakaan, tenaga pengajar (guru), materi pembelajaran, model,  dan kualitas pembelajararan. Belum lagi ketika dihadapkan dengan fakta bahwa masing-masing daerah punya tipologi sumber daya manusia (SDM), budaya, letak geografis yang sangat beragam.

Atau, bahkan njomplang dengan daerah yang sudah menikmati layanan pendidikan memadai. Untuk itu, tidak adil ketika kualitas pendidikan di daerah dengan akses layanan pendidikan terbatas itu juga diukur sesuai kualitas standar nasional.

 

Advertisement

Kultur Positivistik

Pada dasarnya tujuan pendidikan adalah membangun siswa agar menjadi manusia seutuhnya (holistik). Tercapainya kebutuhan ini ditunjukkan dengan terbentuknya pribadi yang bermoral (moral character), sehingga mampu menjalankan perbuatan yang utama.

Kemampuan seperti ini terletak pada kepekaan hati nurani, nilai, perasaan, dan makna subjektif setiap pribadi siswa. Namun, pelaksanaan UN telah membenamkan aspek-aspek itu, baik dalam proses kegiatan belajar mengajar maupun dalam mengevaluasi hasil belajar.

Kenyataan inilah yang sejak lama dikhawatirkan Henry A. Giroux (1997). Kultur positivistik telah mendominasi praktik pendidikan modern. Dalam kultur positivistik ini netralitas dan objektivitas menjadi tolok ukur dalam praktik pendidikan.

Demi mewujudkan itu, diperlukan reliabilitas, konsistensi, dan prediksi yang bersifat kuantitatif. Tak mengherankan ketika pedagogi yang diterapkan di sekolah belum menyentuh pada pandangan serta problem-problem keseharian siswa sebagai bahan pembelajaran.

Orientasi pendidikan dipaksa berkiblat kepada standardisasi yang dibuat dalam kerangka teknokrasi, bukan demi tujuan proses demokratisasi. Kemampuan siswa diukur dengan angka-angka kuantitatif yang sering kali jauh dari potensi yang sebenarnya mereka miliki.

Proses-proses psikologis siswa, seperti eksplorasi diri, kritik nilai, kesempatan untuk berefleksi, mengasah kepekaan hati nurani, dan membangun karakter masih terabaikan. Yang tampak hanya proses uniformitas pendidikan.

Advertisement

Siswa hendak dicetak seragam dengan menafikan potensi mereka yang notabene sangat khas dan beragam. Di sini, proses pendidikan hanya diarahkan sebatas agar siswa dapat berpikir sederhana, menguasai materi, bahkan menghafal pengetahuan tentang nilai.

Bukan kemampuan untuk mengamalkan atau mempraktikkannya di lapangan sosial yang ditekankan. Inilah yang menyebabkan kepribadian siswa terpecah (split of personality). Tidak ada kesesuaian antara perkataan dan perbuatan, antara teori dan praktik.

Siswa berjiwa kerdil, tidak responsif, dan kehilangan nilai-nilai kemanusiaan. Mereka tidak memiliki kemampuan untuk menerjemahkkan berbagai bidang keilmuan ke dalam realitas sosial. Pendek kata, pendidikan tercerabut dari problem riil yang seharusnya dapat dijawab dan diselesaikan.

 

Mengancam Keberhasilan

Sekilas UN memang tampak efektif untuk memotivasi siswa dalam belajar. Namun, fakta yang terjadi justru menyebabkan siswa merasa tertekan dan tidak bahagia. Siswa seolah-oleh dianggap sebagai pribadi yang malas, suka menghindari tanggung jawab.

Siswa dianggap akan pasif jika tidak diintervensi dengan UN, sehingga harus dipaksa. Akibatnya, banyak siswa mengalami depresi dan memendam perasaan takut tingkat tinggi jika gagal dalam ujian. Momentum UN menjadi momok yang mengancam keberhasilan siswa dalam belajar.

Advertisement

Dengan adanya ancaman, siswa tidak bisa mengembangkan potensi mereka, mengalami ketumpulan berpikir, dan ketegangan jiwa (stres). Prestasi siswa bukan meningkat menjadi lebih baik, melainkan akan mengakibatkan penderitaan dan rusaknya kepribadian.

Lebih parah lagi, cara intimidasi dalam pendidikan ini akan menyakiti siswa secara fisik, psikologi, dan sosial. Siswa yang terancam oleh UN akan merasa buruk di hadapannya sendiri. Mereka merasa melakukan sesuatu yang salah, tapi tidak tahu apa kesalahan yang telah diperbuat.

Jika cara-cara ini terus-menerus dilakukan, dalam jangka panjang akan mengakibatkan siswa kehilangan kepercayaan diri, selalu menyalahkan diri sendiri, dan pertumbuhan mental siswa akan terganggu.

Sekolah tidak lagi menjadi tempat bagi siswa untuk mengembangkan gambaran diri secara positif, tetapi justru tampak menyeramkan dan menakutkan.

Target lulus seratus persen dalam UN sering kali menyebabkan sekolah menempuh jalan pintas dengan melakukan cara-cara yang tidak jujur untuk mendapatkan keberhasilan dalam ujian.

Inilah yang dinamakan Deighton (2008) sebagai kecurangan akedemis. Sekolah dan siswa terjebak dalam kubangan ketidakjujuran yang diakibatkan sistem pendidikan yang tidak lagi liberatif, melainkan sangat represif dan intimidatif.

 

Advertisement

 

Niken Ulfah Rahmaningrum

niken_ulfah@yahoo.com

 

Pengajar di MTsN Model

Sumberlawang, Sragen

 

Advertisement

Meski banyak digugat, pemerintah tetap mempertahankan Ujian Nasional (UN) sebagai penentu kelulusan siswa. Ini keputusan  dalam Konvensi Ujian Nasional yang diselenggarakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan di Jakarta beberapa hari lalu.

Salah satu keputusan konvensi menyebutkan mutu sekolah dapat dicapai dengan standar yang telah ditetapkan (baca: UN) dan peningkatan standar secara berkala. Di sini tampak betapa orientasi pendidikan kita sejauh ini masih mengutamakan hasil akhir dari serangkaian proses belajar mengajar.

Jika demikian, apa bedanya sekolah dengan pabrik yang memproduksi barang secara massal? Dalam sebuah pabrik, pengecekan kualitas (bagus atau tidak) setiap barang selalu ditentukan di akhir proses produksi. Pola inilah yang tampaknya ingin diterapkan pemerintah untuk mengendalikan mutu pendidikan kita melalui pelaksanaan UN.

Padahal pola semacam ini tak akan mampu mengukur kemampuan dan potensi akademis siswa secara holistik. Sebaliknya, siswa akan mengalami keterasingan dari diri dan realitas mereka sendiri karena peran nilai (values), perasaan (feelings), bakat (talents), dan kecerdasan diri (gifts) yang beragam diabaikan.

Berbagai elemen, seperti daya nalar, berpikir kompleks, rasa ingin tahu, sikap kritis, kreatif, kejujuran, dan kemampuan berkomunikasi dikesampingkan dalam proses pendidikan. Persoalan semakin runyam ketika pemerintah belum sepenuhnya memberikan layanan pendidikan secara merata terutama bagi daerah-daerah.

Misalnya terkait dengan sarana prasarana belajar, fasilitas sekolah, perpustakaan, tenaga pengajar (guru), materi pembelajaran, model,  dan kualitas pembelajararan. Belum lagi ketika dihadapkan dengan fakta bahwa masing-masing daerah punya tipologi sumber daya manusia (SDM), budaya, letak geografis yang sangat beragam.

Atau, bahkan njomplang dengan daerah yang sudah menikmati layanan pendidikan memadai. Untuk itu, tidak adil ketika kualitas pendidikan di daerah dengan akses layanan pendidikan terbatas itu juga diukur sesuai kualitas standar nasional.

Advertisement

 

Kultur Positivistik

Pada dasarnya tujuan pendidikan adalah membangun siswa agar menjadi manusia seutuhnya (holistik). Tercapainya kebutuhan ini ditunjukkan dengan terbentuknya pribadi yang bermoral (moral character), sehingga mampu menjalankan perbuatan yang utama.

Kemampuan seperti ini terletak pada kepekaan hati nurani, nilai, perasaan, dan makna subjektif setiap pribadi siswa. Namun, pelaksanaan UN telah membenamkan aspek-aspek itu, baik dalam proses kegiatan belajar mengajar maupun dalam mengevaluasi hasil belajar.

Kenyataan inilah yang sejak lama dikhawatirkan Henry A. Giroux (1997). Kultur positivistik telah mendominasi praktik pendidikan modern. Dalam kultur positivistik ini netralitas dan objektivitas menjadi tolok ukur dalam praktik pendidikan.

Demi mewujudkan itu, diperlukan reliabilitas, konsistensi, dan prediksi yang bersifat kuantitatif. Tak mengherankan ketika pedagogi yang diterapkan di sekolah belum menyentuh pada pandangan serta problem-problem keseharian siswa sebagai bahan pembelajaran.

Orientasi pendidikan dipaksa berkiblat kepada standardisasi yang dibuat dalam kerangka teknokrasi, bukan demi tujuan proses demokratisasi. Kemampuan siswa diukur dengan angka-angka kuantitatif yang sering kali jauh dari potensi yang sebenarnya mereka miliki.

Proses-proses psikologis siswa, seperti eksplorasi diri, kritik nilai, kesempatan untuk berefleksi, mengasah kepekaan hati nurani, dan membangun karakter masih terabaikan. Yang tampak hanya proses uniformitas pendidikan.

Siswa hendak dicetak seragam dengan menafikan potensi mereka yang notabene sangat khas dan beragam. Di sini, proses pendidikan hanya diarahkan sebatas agar siswa dapat berpikir sederhana, menguasai materi, bahkan menghafal pengetahuan tentang nilai.

Bukan kemampuan untuk mengamalkan atau mempraktikkannya di lapangan sosial yang ditekankan. Inilah yang menyebabkan kepribadian siswa terpecah (split of personality). Tidak ada kesesuaian antara perkataan dan perbuatan, antara teori dan praktik.

Siswa berjiwa kerdil, tidak responsif, dan kehilangan nilai-nilai kemanusiaan. Mereka tidak memiliki kemampuan untuk menerjemahkkan berbagai bidang keilmuan ke dalam realitas sosial. Pendek kata, pendidikan tercerabut dari problem riil yang seharusnya dapat dijawab dan diselesaikan.

 

Mengancam Keberhasilan

Sekilas UN memang tampak efektif untuk memotivasi siswa dalam belajar. Namun, fakta yang terjadi justru menyebabkan siswa merasa tertekan dan tidak bahagia. Siswa seolah-oleh dianggap sebagai pribadi yang malas, suka menghindari tanggung jawab.

Siswa dianggap akan pasif jika tidak diintervensi dengan UN, sehingga harus dipaksa. Akibatnya, banyak siswa mengalami depresi dan memendam perasaan takut tingkat tinggi jika gagal dalam ujian. Momentum UN menjadi momok yang mengancam keberhasilan siswa dalam belajar.

Dengan adanya ancaman, siswa tidak bisa mengembangkan potensi mereka, mengalami ketumpulan berpikir, dan ketegangan jiwa (stres). Prestasi siswa bukan meningkat menjadi lebih baik, melainkan akan mengakibatkan penderitaan dan rusaknya kepribadian.

Lebih parah lagi, cara intimidasi dalam pendidikan ini akan menyakiti siswa secara fisik, psikologi, dan sosial. Siswa yang terancam oleh UN akan merasa buruk di hadapannya sendiri. Mereka merasa melakukan sesuatu yang salah, tapi tidak tahu apa kesalahan yang telah diperbuat.

Jika cara-cara ini terus-menerus dilakukan, dalam jangka panjang akan mengakibatkan siswa kehilangan kepercayaan diri, selalu menyalahkan diri sendiri, dan pertumbuhan mental siswa akan terganggu.

Sekolah tidak lagi menjadi tempat bagi siswa untuk mengembangkan gambaran diri secara positif, tetapi justru tampak menyeramkan dan menakutkan.

Target lulus seratus persen dalam UN sering kali menyebabkan sekolah menempuh jalan pintas dengan melakukan cara-cara yang tidak jujur untuk mendapatkan keberhasilan dalam ujian.

Inilah yang dinamakan Deighton (2008) sebagai kecurangan akedemis. Sekolah dan siswa terjebak dalam kubangan ketidakjujuran yang diakibatkan sistem pendidikan yang tidak lagi liberatif, melainkan sangat represif dan intimidatif.

 

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif