Kolom
Sabtu, 28 September 2013 - 10:41 WIB

GAGASAN : Penguatan Hak untuk Tahu

Redaksi Solopos.com  /  Is Ariyanto  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Ahmad Rofik rofik@pattiro.org Pelaksana Pengawasan dan Evaluasi Pusat Telaah dan Informasi Regional (Pattiro)

 

Ahmad Rofik
rofik@pattiro.org
Pelaksana Pengawasan dan Evaluasi Pusat Telaah dan Informasi Regional (Pattiro)

Advertisement

Hari ini, 28 September, diperingati sebagai Hari Hak untuk Tahu oleh lebih 60 negara di dunia.  Momentum tahunan ini dimaksudkan untuk menghormati hak individu mendapatkan informasi publik yang dikuasai badan publik seperti pemerintah, badan usaha milik negara/daerah, atau lembaga lain seperti swasta yang mengelola dana negara, bahkan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang menggunakan dana bantuan luar negeri.

Right to Know Day ini kali pertama diusulkan pada 28 September 2002 di pertemuan internasional organisasi yang memperjuangkan kebebasan informasi publik di Sofia, Bulgaria. Keterbukaan informasi publik didedikasikan untuk kesejahteraan masyarakat. Di Indonesia, jejak sejarahnya dimulai sejak reformasi politik 1998.

Seluruh elemen masyarakat menuntut pemerintah transparan dan melibatkan warga dalam proses pengambilan kebijakan, perencanaan,  dan pengawasan pembangunan. Bahkan laporan Open Government Indonesia menyatakan keterbukaan informasi adalah dasar pemerintah  yang modern dan merupakan kunci untuk membuka potensi Indonesia di bidang ekonomi, layanan publik, dan inovasi menuju negara yang progresif, adil, dan sejahtera.

Tonggak berikutnya adalah kebijakan desentralisasi pada 2004.  Sistem ini mendorong pemerintah daerah memiliki peran serta yang lebih aktif dalam pembangunan daerah. Disahkannya Undang-Undang  tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) pada 2008 menandai babak baru yang lebih nyata.

Perjalanan sejarah keterbukaan informasi selanjutnya ditandai dengan bergabungnya Indonesia menjadi salah satu perintis gerakan global Open Government Partnership (OGP) pada 20 September 2011, dan kemudian diluncurkan gerakan OGP Indonesia pada Januari 2012.  Mulai September 2012, selama satu tahun, Indonesia  menjadi salah satu asisten pimpinan OGP (asisten pimpinan).

Selanjutnya, pada Oktober 2013 mendatang, Indonesia akan menjadi lead chair OGP, pemimpin utama. Pertanyaannya adalah apakah perkembangan pelembagaan transparansi informasi publik ini seimbang dengan pencapaian secara subtansi, yakni berkontribusi mewujudkan kesejahteraan  masyarakat melalui keterbukaan informasi publik?

Masih terlalu jauh untuk mengklaim tujuan mewujudkan kesejahteraan melalui keterbukaan informasi sudah tercapai. Ibarat bayi yang baru lahir, tujuan mulia itu harus dicapai melalui beberapa tangga transparansi informasi yang sekaligus mencerminkan variasi cara memandang keterbukaan informasi.

Advertisement

Tangga tertinggi dari transparansi informasi diwakili gerakan OGP yang ditandai dengan keterbukaan informasi yang berdampak langsung pada peningkatan kesejahteraan. Perspektif transparansi informasi jenis ini mengandaikan badan publik, khususnya pemerintah, telah memiliki kesadaran penuh untuk mentransparansikan informasi publik secara proaktif tanpa harus terlebih dahulu diminta oleh warga masyarakat.

Tingkat kesadaran badan publik itu tidak lagi dibebani dengan embel-embel kalau informasi dibuka akan merugikan pejabatnya atau konstituennya akan kalah bersaing dalam memanfaatkan informasi yang dipublikasikan.

Demikian pula prasyarat pelayanan administrasi telah tersedia, mulai dari kelengkapan dokumen/informasi sampai sarana untuk memublikasikan informasi. Singkat cerita tidak ada lagi kesalahan dan kendala pelayanan administrasi.

Pengandaian kondisi badan publik seperti di atas yang mendukung keberhasilan OGP Indonesia itu memang masih jauh untuk direfleksikan saat ini.  Walaupun demikian, sebenarnya pemerintah telah membangun laboratorium OGP di Provinsi Kalimantan Tengah, Kota Ambon, dan Kabupaten Indragiri Hulu (Riau).

Proyek percontohan itu dalam program open school (keterbukaan sekolah), open budget (keterbukaan anggaran), pembauan dan penyegaran website Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah yang berorientasi pada keterbukaan informasi, dukungan penguatan fungsi kelembagaan pejabat pengelola informasi dan dokumentasi (PPID) di provinsi, dan sejumlah program skala besar hasil kerja sama dengan lembaga internasional seperti dana kompensasi karbon dan tranparansi pengelolaan hutan.

Walaupun Kalimantan Tengah sebagai wilayah percontohan, namun keberhasilannya perlu dikaji bersama. Misalnya, ketaatan terhadap mandat UU KIP untuk membentuk PPID sebagai prasyarat dasar pelayanan informasi yang berkelanjutan. Dari 15 badan publik di Kalimantang Tengah (satu provinsi dan 14 kabupaten) baru empat badan publik yang membentuk PPID utama atau 27,7 persen.

Jika dibandingkan dengan pencapaian secara nasional, Kalimantan Tengah harus rendah hati karena pencapaiannya lebih rendah dibandingkan pencapaian tingkat nasional, yaitu 32,32 persen atau 224 dari 693 badan publik (kementeerian/lembaga/provinsi/ kabupaten/kota) yang menjadi target pembentukan PPID utama. Padahal pembentukan PPID baru satu dari 17 mandat UU KIP yang harus dipenuhi badan publik dalam memberikan pelayanan informasi yang baik dan berkelanjutan.

Advertisement

 

Perspektif Akses

Paparan Kalimantan Tengah di atas menjadi contoh penerapan variasi perspektif tentang akses informasi dan perspektif hak mendapatkan informasi. Selintas kedua perspektif ini tampak tidak ada perbedaan, namun jika dikaji lebih mendalam akan ditemukan tangga yang menggambarkan tahapan pencapaian tujuan keterbukaan informasi yang berkontribusi pada peningkatan kesejahteraan.

Jenis Informasi yang dimaksud adalah informasi yang berdampak langsung pada peningkatan kesejahteraan, misalnya informasi tentang kuota pupuk bersubsidi yang disediakan pemerintah, informasi beasiswa, dan semacamnya.

Namun, agar pemerintah bisa membuka jenis informasi dan dapat ditindaklanjuti oleh masyarakat menjadi bermanfaat langsung, pihak pemerintah (badan publik) juga harus memiliki praktik pelayanan publik yang berkualitas.

Jika informasinya hanya dimuat di website, mana mungkin warga yang jauh dari akses Internet bisa mendapatkan informasi tersebut. Pilihan media penyampai informasi sebagai muara pelayanan informasi menjadi penting untuk lebih menjangkau masyarakat.

Untuk melengkapi jenis informasi pupuk bersubsidi, pemerintah harus menyediakan informasi tentang prosedur agar warga bisa mengakses pupuk bersubsidi. Hanya petani yang memiliki kelompok tani yang telah diakui oleh pemerintah yang dapat mengakses pupuk bersubsidi.

Advertisement

Informasi tentang prosedur pembentukan kelompok tani ini juga menjadi informasi yang dapat berkontribusi langsung pada peningkatan kesejahteraan petani. Jika pemerintah sudah bisa memperlakukan informasi penting seperti di atas sebagai informasi terbuka, barulah bisa dikatakan perspektif akses terhadap informasi (access to information) menunjukkan hasilnya.

Dibutuhkan misi suci dari pemerintah untuk secara jujur memilah dan memilih jenis informasi yang penting dan dibutuhkan masyarakat yang dapat dikonversi menjadi manfaat langsung bagi peningkatan kesejahteraan warga.

Pelayanan jenis informasi seperti di atas yang dikehendaki gerakan OGP ini juga harus dibarengi dengan pelayanan dasar (misalnya pelayanan kesehatan, pendidikan, bukan pelayanan informasi) di setiap badan publik yang secara terus-menerus ditingkatkan dan berkelanjutan.

Pelayanan tidak hanya saat ada momentum khusus atau saat diminta atau ditekan masyarakat. Untuk bisa mencapai level di atas dibutuhkan kelembagaan, pembiasaan, dan sistem yang mengarahkan badan publik memberikan pelayanan informasi secara baik. Kenyataannya, mengubah kebiasaan badan publik dalam memperlakukan informasi publik menjadi tantangan tersendiri.

Dulu, berlaku rumus semua informasi pemerintahan tertutup bagi publik kecuala yang dibuka. Hadirnya UU KIP mengubah perspektif itu menjadi semua informasi pemerintahan terbuka bagi publik kecuali yang dikecualikan. Sejumlah fakta mengindikasikan masa transisi itu.

UU KIP ditetapkan pada 2008 dan disediakan waktu dua tahun kepada badan publik untuk menjalankan 17 mandat itu, termasuk di dalamnya membentuk PPID.  Masa retensi dua tahun telah berlalu, bahkan sudah ditambah bonus hampir tiga tahun, namun baru 32,32 persen badan publik yang membentuk PPID.

Dari jumlah tersebut umumnya belum seluruh PPID berfungsi karena tidak cukup hanya dibentuk dengan keputusan kepala daerah, melainkan harus dilengkapi penyusunan sistem pelayanan informasi, penyusunan standar prosedur operasional, menetapkan klasifikasi informasi publik dan informasi yang dikecualikan, dan melengkapi dengan pegawai serta penyediaan sarana prasarana untuk dapat memberikan pelayanan informasi.

Advertisement

Keberadaan 17 mandat di atas pada dasarnya berfungsi untuk ”memaksa” badan publik memberikan pelayanan informasi. Pada posisi inilah perspektif hak mendapatkan informasi (rigt to information) mendapatkan contoh yang baik.

Level atau perspektif ini  belum menilai apakah informasi yang disediakan itu meningkatkan kesejahteraan rakyat secara langsung atau tidak, yang penting adalah hak untuk mendapatkan informasi dapat dipenuhi.

Melalui analogi tersebut kita bisa bersepakat Indonesia masih berada pada perspektif ”hak mendapatkan informasi”, namun sudah mulai dikenalkan perspektif ”akses kepada Informasi” melalui inisiatif gerakan OGP Indonesia. Varian lain perspektif ”akses kepada infomasi” ini adalah lebih memilih ”pendekatan akuntabilitas”, misalnya soal pembukaan rekening gendut dan pelaku dugaan korupsi pada kasus Bank Century.

Terlepas dari hal itu, Indonesia memiliki tantangan baru transparansi informasi untuk memeristiwakan gagasan besar tersebut, mengingat pada akhir 2013 Indonesia akan ditetapkan menjadi pemimpin utama OGP Internasional yang sekarang ini beranggotakan 60 negara termasuk Amerika Serikat.

 

Percepatan Keterbukaan

Faktor yang memengaruhi belum optimalnya keterbukaan informasi publik di Indonesia adalah inisiatif para pihak untuk mencari terobosan pengungkit transparansi informasi.  Kelas menengah menjadi salah satu pengungkit perubahan sosial di banyak tempat.

Advertisement

Barangkali informasi yang dibutuhkan kelas menengah memang bukan jenis informasi yang berkontribusi langsung pada kesejahteraan warga seperti informasi kuota pupuk bersubsidi.  Jika dalam penyelesaian kasus korupsi Banl Century yang masih berjalan ini bisa ditransparansikan dengan menggunakan UU KIP sebagai dasar menuntut transparansi, akan lebih banyak kelas menengah yang percaya bahwa keterbukaan informasi bisa menjadi power untuk menciptakan pemerintahan yang lebih baik dan adil.

Yang terjadi justru laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidak memuat nama-nama pelaku yang diduga terlibat.

Jika para pelaku kasus Bank Century dibuka, bukan saja akan mempercepat penyelesaian kasus namun  juga akan memberikan pembelajaran kepada publik bahwa pelaku korupsi harus 1.001 kali berpikir agar aman dari teropongan publik. Ini berarti secara tidak langsung membatasi orang untuk korupsi.

Harus diakui tren gerakan keterbukaan informasi selama ini sebagian besar masih berkutat pada tuntutan kepada badan publik untuk mematuhi 17 mandat UU KIP. Diperlukan kejelian pemerintah yang terbuka dan masyarakat sipil untuk memeristiwakan kasus-kasus penting yang bisa diterobos dengan modal amunisi keterbukaan informasi publik.

Pada gilirannya pengungkapan kasus-kasus pelik itu akan mendorong pada perubahan kebijakan. Kebijakan baru tersebut yang akan memandu perilaku badan publik lebih transparan menuju penguatan hak untuk tahu.

 

Advertisement
Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif