Kolom
Senin, 9 September 2013 - 09:50 WIB

GAGASAN : Mencegah Tawuran Pelajar

Redaksi Solopos.com  /  Is Ariyanto  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Rumongso agilrumongso@yahoo.com Guru SD Djama’atul Ichwan Solo

Rumongso
agilrumongso@yahoo.com
Guru SD Djama’atul Ichwan Solo

Seperti mendengar petir di siang hari bolong saat saya membaca berita tentang penyerangan SMK Murni oleh siswa sekolah lain (Solopos, 4 September 2013). Pemicunya gara–gara kegiatan sepakbola Liga Pelajar Indonesia. Selama ini saya berasumsi anak–anak sekolah di Kota Solo termasuk anak manis sebab jarang terdengar berita tentang tawuran pelajar, dan memang sejatinya seperti itu.

Advertisement

Kejadian itu jangan dijadikan patokan bahwa ternyata di Solo ada pelajar yang hobi tawuran. Jika di Solo ada puluhan ribu siswa lalu ada beberapa siswa yang tawuran, kejadian ini adalah kasus. Jika di Solo ada ratusan sekolah, lalu ada dua sekolah yang terlibat tawuran, jangan digeneralisasi. Namun, kita jangan mengabaikan kejadian itu. Kita berharap kejadian itu pertama dan terakhir.

Ingatan saya menerawang saat masih sekolah lanjutan atas era ’80-an di Jakarta. Yang namanya tawuran hampir setiap hari terjadi. Bahkan hingga kini masih berlangsung tanpa tahu sampai kapan akan selesai. Pemicunya saling ejek antarsiswa saat bertemu di jalan atau bus umum. Lalu mereka mengajak teman satu sekolah untuk memberikan balasan.

Kadang–kadang juga akibat rebutan pasangan. Siswa putri dari sebuah sekolah dipacari oleh siswa putra sekolah lain. Ada juga akibat pemahaman sempit mengenai kesetiakawanan, nama baik sekolah. Pokoknya muncul alasan pembenar. Tas skeolah isinya tidak hanya buku, namun juga senjata tajam. Kepala ikat pinggang dibuat dari gir sepeda yang akan digunakan untuk senjata saat tawuran. Tidak mengherankan jika ada korban nyawa.

Advertisement

Untuk mengitimidasi calon lawan mereka membuat coretan-coretan di bus, tembok, atau bergerombol di perempatan jalan. Coretan semisal yang berbunyi ”SMA XY siap Bunuh SMA PQ” sering dijumpai di badan bus. Grafiti–grafiti yang menandakan identitas sekolah seperti, ”BOEDOET” mengacu kepada SMA Boedi Oetomo, atau ”XTM PNB” untuk identitas STM Penerbangan mudah kita temui di perempatan jalan.

Tawuran pelajar juga menyebabkan penggabungan SMAN 9 dan SMAN 11 di Bulungan yang ibarat musuh bebuyutan menjadi SMAN 70. Bisa dibayangkan bagaimana dahsyatnya dampak buruk dari tawuran pelajar itu. Apakah penyebabnya? Banyak hal yang memicu. Motivasinya aktualisasi diri yang salah, tidak ingin dihina oleh sekolah lain, sekadar mencari gara–gara.

Berdasarkan penelitian mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, umumnya pelaku tawuran pelajar berasal dari sekolah yang tidak favorit dan tidak tegas dengan aturan sekolah, mereka anak–anak kalangan bawah atau sosial ekonomi yang marginal, dan siswa yang memiliki prestasi akademik yang rendah. Mereka tidak memakai tanda lokasi dan badge sekolah asal. Yang nyeleneh, tanda lokasi sekolah yang dipakai di baju seragam adalah nama Taman Kanak–Kanak atau Sekolah Dasar. Tujuannya mengamuflase diri agar tidak diserang atau mudah saat akan menyerang sekolah lain.

Solusinya Tegas

Advertisement

Diakui atau tidak ternyata perilaku destruktif anak sekolah sudah masuk Solo. Meski masih dalam skala yang kecil, namun bukan tidak mungkin jika dibiarkan lama–lama akan menjalar, mewabah dan menghasilkan wajah buruk dunia pendidikan. Tawuran pelajar menjadi wabah sebab tidak ada tindakan tegas bagi pelaku tawuran. Sekolah saat ini terkadang berada dalam posisi yang sulit.

Bersikap tegas terhadap anak akan berhadapan dengan tuduhan melakukan kekerasan terhadap anak yang ancamannya penjara. Guru yang bertindak tegas akan dicap melakukan kekerasan terhadap anak. Mereka yang menamakan diri aktivis perlindungan anak ibarat menjadi hantu bagi guru dan sekolah untuk meluruskan perilaku anak. Semestinya para aktivis memahami dunia pendidikan, memahami tugas dan tanggung jawab para guru dan sekolah dalam mendidik anak–anak.

Semua bermura demi kepentingan anak didik dan masa depan mereka. Sekolah dan guru tidak akan pernah menjerumuskan anak. Membiarkan anak–anak berperilaku destruktif adalah tindakan tidak benar bagi seorang pendidik. Saat ada anak yang menyimpang perilakunya lalu anak–anak diberi sanksi yang bersifat mendidik dan dinilai salah oleh para aktivis perlindungan anak, sejatinya aktivis itulah yang telah menjerumuskan anak.

Marahnya guru adalah dalam kerangka mendidik. Sanksi yang diberikan oleh guru kepada muridnya pasti juga dalam kerangka mendidik. Menghadapi anak bandel tidak sama dengan saat menghadapi anak yang penurut. Jangan salahkan guru jika muncul kemarahan kepada anak. Namun, marah di sini berbeda fungsi dan urgensinya. Semua dalam kerangka pendidikan.

Advertisement

Solusinya adalah tindakan tegas sekolah, memberikan ruang ekspresi, pentas seni, dan kegiatan positif remaja. Dengan bertindak tegas, misalnya dengan mengeluarkan para pelaku tawuran dari sekolah, akan menyebabkan mereka berpikir. Tanpa adanya hukuman yang tegas, akan memberi ruang bagi anak–anak yang gemar tawuran itu meregenerasi hingga turun-temurun dan membawa akibat buruk bagi pendidikan secara keseluruhan.

Sekolah yang tegas mampu memberi rasa aman bagi anak–anak yang tidak melakukan tawuran, dan mematikan bara api dendam kesumat. Sekolah rela kehilangan satu anak biang kerusuhan demi menjaga ribuan anak didik. Dukungan kepala pemerintah daerah mutlak diperlukan sebab bukan tidak mungkin para guru dan sekolah yang bertindak tegas akan menghadapi kriminalisasi dari para aktivis yang mengklaim diri peduli anak.

 

Ruang Ekspresi

Advertisement

Di samping itu pemerintah juga harus memberikan ruang bagi anak– nak yang sedang mencari identitas diri itu untuk berekspresi. Lomba band antarsekolah, lomba pasukan pengibar bendera (paskibra), Palang Merah Remaja, Pramuka, akan mampu menyalurkan energi positif para pelajar. Semakin tersedia ruang ekspresi bagi para pelajar niscaya mereka tidak akan memilih saluran–saluran negatif untuk mengekspresikan diri.

Para pelajar yang menginjak usia remaja memang memerlukan pendampingan. Menyerahkan mereka hanya kepada guru juga bukan langkah yang bijak. Sebagian besar waktu mereka berada dalam lingkungan sosial masyarakat. Inilah yang kadang dimanfaatkan oleh beberapa pihak untuk kepentingan politis.

Saat musim kampanye mereka yang belum memiliki hak pilih itu diajak turut serta. Militansi akhirnya timbul dari keikutsertaan mereka dalam wilayah politik. Seharusnya kegiatan politik praktis tidak melibatkan para pelajar yang belum memiliki hak pilih itu. Pendidikan politik bisa dilalui lewat bangku sekolah, bukan lewat kampanye yang tidak mereka pahami esensinya.

Tawuran pelajar ibarat bahaya laten. Mereka bergerak tanpa mampu kita deteksi. Mereka bergerak dalam jaringan–jaringan yang digerakkan oleh orang dewasa. Tawuran pelajar semacam test case untuk pintu masuk menguji kekuatan di luar dunia pendidikan untuk membuat kekacauan. Anak–anak usia sekolah dijadikan umpan untuk sebuah tujuan yakni instabilitas.

Mereka adalah sasaran empuk, sebab emosi masih labil dan mudah diprovokasi. Jika tidak percaya tanyakan kepada para pelaku tawuran itu mengenai siapakah yang menggerakkan mereka? Pasti mereka tidak mampu untuk menjawabnya. Banyak sekali tindakan klandenstin dalam dunia pendidikan yang mencoba merusak ketenteraman anak didik dalam menuntut ilmu.

Kita juga harus mendengar apa yang dimaui para pelajar itu. Mencoba mendengar adalah langkah bijak daripada sibuk ceramah di depan mereka. Ajak mereka berdialog tanpa menggurui, tanpa prasangka. Dengarkan suara mereka tanpa mendikte kehendak mereka. Mereka sebenarnya memiliki energi positif yang luar biasa.

Advertisement

Sekedar contoh saat saya melihat dalam kegiatan acara Kreatif anak Sekolah Solo (Kreasso) yang diselenggarakan Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Kota Solo, ternyata anak–anak SMA jika diberi ruang untuk berekspresi mereka mampu melahirkan karya yang orisinal. Mari katakan tidak untuk tawuran.

 

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif