Kolom
Sabtu, 7 September 2013 - 10:32 WIB

GAGASAN : Menuju Tempe Kedelai Dhewe

Redaksi Solopos.com  /  Is Ariyanto  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - M. Sholeh msholeh10@yahoo.com Pengamat masalah pertanian Dewan Pembina Kontak Tani Nelayan Andalan Jawa Tengah

M. Sholeh
msholeh10@yahoo.com
Pengamat masalah pertanian Dewan Pembina Kontak Tani Nelayan Andalan Jawa Tengah

Tempe yang selama ini dikenal sebagai makanan rakyat bawah tiba-tiba menggegerkan kancah komoditas pertanian nasional. Penyebabnya tak lain adalah kelangkaan kedelai sebagai bahan baku tempe. Ribuan pengrajin tahu-tempe terancam gulung tikar, dan mengancam akan mogok berproduksi serta berunjuk rasa di mana-mana.

Advertisement

Itulah pelajaran yang perlu dipetik para pengambil kebijakan bahwa barang yang dianggap sepele seperti tempe bila tak ditunjang kebijakan yang kece dapat menyebabkan ekonomi rakyat memble.

Adalah hal yang sungguh ironis di negeri yang mengaku asal tempe tetapi bahan bakunya adalah kedelai yang diimpor dari Amerika Serikat. Ada apa dengan tempe? Mengapa suplai kedelai memble? Itulah topik pekan ini yang menjadi sorotan pedagang tahu-tempe hingga pejabat perlente.

Sesungguhnya saya sudah mengamati  sejak 2005 bahwa suatu saat akan terjadi masalah dengan kedelai jika tidak ada perhatian serius terhadap penanaman komoditas kedelai tersebut (lihat gambar 1).

Advertisement

Ternyata di awal 2008 lalu terbukti masalah kedelai harus dibahas DPR dan pemerintah demi menyelamatkan ekonomi rakyat. Para pengusaha tahu-tempe yang mampu menyerap ribuan tenaga kerja di level bawah ternyata harus menganggur karena kelangkaan kedelai.

Dari grafik tersebut terlihat kecenderungan impor dan produksi kedelai nasional seharusnya diwaspadai sejak 2005. Apalagi, walaupun luas lahan meningkat tetapi peningkatannya tidak seberapa, sementara kebutuhan semakin meningkat dan impor meningkat tajam mulai 2005.

Dan lebih parahnya lagi kejadian serupa terjadi lagi pada 2013 ini.  Bagaimana kebijakan Kementerian Pertanian (Kementan)—lebih tepatnya Menteri Pertanian–selaku pemangku kebijakan pertanian?

Jika ditilik dari kebutuhan kedelai nasional per tahun yang mencapai 2.2 juta ton, 1.8 juta ton di antaranya tersedot untuk pembuatan tahu-tempe dan sejenisnya, dan anehnya 72% di antaranya atau hampir 1.58 juta ton masih tergantung dari impor.

Advertisement

Itu terjadi karena kebijakan perdagangan yang memungkinkan masuknya kedelai impor bersubsidi dari luar negeri dengan harga murah dan dengan pembayaran ringan yang berakibat melemahkan potensi produksi dalam negeri dari waktu ke waktu.

Sementara itu, dengan perubahan pola penggunaan kedelai global dari konsumsi pangan yang mulai didiversifikasi menjadi bahan bakar nabati, meningkatlah permintaan kedelai dunia. Akibatnya seperti dirasakan di Indonesia.

Dalam waktu hanya tiga bulan terakhir terjadi peningkatan harga kedelai lebih dari 100 persen. Ini suatu lonjakan harga yang mencapai rekor tertinggi sepanjang 34 tahun terakhir.  Bahkan harga kedelai lokal sudah mencapai Rp7.000-Rp10.000 per kilogram.

Produksi kedelai dalam negeri tak mampu lagi memenuhi kebutuhan nasional, apalagi mewujudkan swasembada. Mengapa petani enggan menanam kedelai? Seharusnya dengan fenomena meningkatnya harga-biji-bijian di pasar dunia, hal itu meningkatkan rangsangan bagi petani untuk menanam kedelai secara besar-besaran. Bagaimana kiat untuk menggairahkan petani menanam kedelai secara massal untuk mencukupi kebutuhan nasional ?

Advertisement

 

Kunci di Penanaman

Asumsi bahwa tanaman kedelai itu tanaman asli daerah subtropis  dan kurang baik dibudidayakan di daerah tropis terpatahkan dengan berbagai penemuan varietas unggul kedelai nasional seperti varietas lokon, wilis, baluran, marubateri, dan lain-lainnya.  Bahkan edamame (kedelai sayur) pun sudah tumbuh baik di Jember, Jawa Timur.

Menurut saya yang berlatar belakang petani, kunci utama adalah di budi daya kedelai. Kuncinya adalah bagaimana budi daya kedelai bisa menghasilkan panen yang banyak dan berkualitas baik. Selama ini petani enggan menanam kedelai karena produktivitasnya yang rendah dan harganya yang tidak cukup baik bagi petani.

Advertisement

Produktivitas nasional hanya berkisar 1 ton–1,2 ton per hektare dengan harga hanya Rp3.000-Rp3.500 per kilogram saat itu. Jika biaya budi daya per hektare (sarana produksi pertanian atau saprotan dan tenaga kerja dihitung) sekitar Rp3 juta–Rp3.5 juta per hektare, pendapatan petani dengan produktivitas satu ton/hektare hanya Rp3 juta–Rp3.5 juta per hektare. Artinya tak ada keuntungan bagi petani.

Dengan program kemitraan dengan berbagai pihak, beberapa petani maupun profesional di bidang pertanian telah mengkaji bahwa dengan teknik budi daya yang baik dan intensif dan dukungan teknologi (benih unggul, pemupukan berimbang, dan cara budi daya) yang baik maka produktivitas tanaman kedelai dapat ditingkatkan menjadi 1,8 ton per hektare bahkan pernah mencapai tiga ton per hektare untuk varietas unggul nasional baluran.

Dengan pencapaian rata-rata dua ton per hektare saja dapat dipastikan petani akan bergairah kembali untuk menanam kedelai. Jika harga kedelai nasional bertahan pada titik keseimbangan Rp6.000 per kilogram, dengan produktivitas dua ton per hektare dan biaya yang meningkat hingga Rp4 juta per hektare pun petani masih akan untung hingga Rp6 juta per musim atau hampir Rp2 juta per bulan.

Tanaman kedelai hanya membutuhkan waktu 80 hari-90 hari dari penanaman hingga panen. Banyak petani menggunakan pola tanam sela atau tanaman jeda di antara dua penanaman padi di sawah. Kurang tepatnya kebijakan pemerintah saat ini adalah ada rangsangan agar petani hanya menanam dengan pola padi-padi-padi (tiga kali musim) padahal selayaknya penanaman yang baik adalah padi-padi-kedelai atau padi-padi-jagung atau palawija lainnya yang bisa mengembalikan kesuburan tanah atau menjaga keseimbangan unsur hara.

Dari pantauan saya di beberapa lokasi di Jawa Tengah (Jateng) dan Daeran Istimewa Yogyakarta (DIY), yang dibutuhkan petani adalah ”jaminan pasar”.  Jangan sampai peluang harga tinggi hanya sesaat, tapi begitu panen harga turun lagi. Itulah pikiran praktis petani kita. Oleh karena itu kunci kedua adalah pola kemitraan penanaman dengan petani dan jaminan pasar.

Siapakah yang akan mampu menjamin pasar? Sementara kepastian pemerintah untuk menunjuk Badan Urusan Logistik (Bulog) atau lembaga lainnya sebagai lembaga penyeimbang komoditas kedelai masih menunggu maka mekanisme pasar yang akan menjadi penentu harga kedelai di pasaran.

Advertisement

Keseimbangan harga kedelai di tingkat petani dan pengrajin tahu-tempe sebaiknya terjadi secara alamiah dan market driven. Kalau petani kita diintroduksi dengan varietas unggul kedelai, mereka akan senang sekali menanam kedelai. Para petani punya harapan titik keseimbangan harga beli pemerintah/lembaga yang akan ditunjuk nanti berkisar Rp6.000-Rp7.000 per kilogram.

Akses terpenting untuk pengembangan kedelai adalah akses konsumen produk kedelai yaitu para anggota Koperasi Tahu Tempe Indonesia (Kopti) dan akses produsen kedelai yaitu para anggota Koperasi Tani dan Nelayan (Koptan).

Dua hal inilah yang bisa memegang peran dalam rangka menuju kembalinya ”impian” swasembada kedelai nasional.  Diharapkan di masa depan hal ini bukanlah sebagai impian belaka tetapi dapat menjadi kenyataan.

 

Solusi

Sekali lagi apa pun langkah pemerintah apakah menurunkan bea impor sampai nihil atau intervensi pola pertanian, sebagai petani saya tetap berpendapat solusi yang tepat adalah tetap membudidayakan kedelai sebagai tanaman produktif yang bukan hanya sebagai tanaman sela tetapi sebagai pola tanam yang produktif menghasilkan pendapatan yang berujung pada peningkatan kesejahteraan petani.

Ingat, tanaman kedelai tidak hanya berfungsi sebagai tanaman produksi, tetapi juga sebagai tanaman yang dapat membantu keseimbangan unsur hara tanah karena mampu menambat unsur nitrogen (N) bebas yang sangat diperlukan bagi pertumbuhan tanaman dan kesuburan tanah.

Program ketahanan pangan dan kedaulatan pangan bukan hanya tanaman pangan, tetapi palawija seperti budi daya kedelai juga harus diperhatikan karena menopang hajat hidup orang banyak, khususnya petani.

Niat baik untuk memberdayakan petani pangan ini perlu dukungan dari berbagai pihak dan para pengambil kebijakan agar program ini dapat menjadi program nyata khususnya untuk menangani masalah kedelai nasional seperti yang terjadi saat ini. Di masa depan jangan lagi kita menjadi ”bangsa tempe kedelai yu es e (USA)”, tetapi kita menuju ”bangsa tempe kedelai dhewe (Jawa: hasil panen sendiri)”. Semoga…

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif