Kolom
Jumat, 6 September 2013 - 14:26 WIB

GAGASAN : Mempertimbangkan Kredibilitas Pendakwah

Redaksi Solopos.com  /  Is Ariyanto  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Dwi Supriyadi soeprei@yahoo.com Esais dan peminat masalah sosial keagamaan Bergiat di Bilik LiterasiSolo

Dwi Supriyadi
soeprei@yahoo.com
Esais dan peminat masalah
sosial keagamaan
Bergiat di Bilik LiterasiSolo

Dua esai atau artikel di Solopos edisi Jumat, 23 dan 30 Agustus, memantik diskursus tentang bolehkah pendakwah menerima imbalan materi dari dakwahnya. Diskursus ini memasuki ranah fikih dan kode etik bermuamalat dari sisi adab dan akhlak. Dalam ranah fikih permasalahan imbalan dakwah sampai sekarang masih dalam wilayah khilafiah (perdebatan).

Advertisement

Sebagian kelompok berpendapat dengan tegas: tidak boleh menerima atau membisniskan pengajaran ilmu agama termasuk di dalamnya mengajarkan isi Alquran. Kelompok ini berlandaskan beberapa hadis, di antaranya riwayat Abu Dawud, Ahmad, At-Tirmidzi, dan Ibnu Majah.

Hadis-hadis tersebut mengerucut pada satu kesimpulan haram hukumnya mengambil upah, mencari makan, dan memperoleh harta dari mengajarkan Alquran (Ensiklopedi Larangan Menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terjemahan oleh Abu Ihsan al-Atsar, 2006). Kesimpulan dari pendapat ini berdakwah merupakan amal tanpa berpamrih. Hanya Allah-lah yang akan membalasnya.

Advertisement

Hadis-hadis tersebut mengerucut pada satu kesimpulan haram hukumnya mengambil upah, mencari makan, dan memperoleh harta dari mengajarkan Alquran (Ensiklopedi Larangan Menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terjemahan oleh Abu Ihsan al-Atsar, 2006). Kesimpulan dari pendapat ini berdakwah merupakan amal tanpa berpamrih. Hanya Allah-lah yang akan membalasnya.

Kebutuhan akan pelajaran ilmu agama termasuk membaca Alquran adalah kebutuhan dasar beragama, jadi tidak boleh diperjualbelikan. Sebagian kelompok lainnya memperbolehkaan mengambil upah dari mengajarkan ilmu agama juga dari mengajarkan Alquran dengan syarat tidak mematok harga tertentu.

Pendapat kedua ini di antaranya didasarkan pada hadis Ibnu Abbas. Rasulullah SAW memberikan izin kepada seorang sahabat menerima upah karena telah membacakan ruqyah untuk warga yang terkena sengatan ular. Dari sisi adab dan akhlak, memasang tarif dalam berdakwah merupakan akhlak buruk seorang dai. Salah niat dan persepsi.

Advertisement

Artikel Muhammad Milkhan mengingatkan pembaca bahwa pendakwah bukanlah jenis pekerjaan yang bertujuan menumpuk pundi-pundi kekayaan. Usaha dakwah seharusnya murni ibadah tanpa menyertakan target keuntungan materi di dalamnya. Namun, pendapat Kholilurrohman bernuansa lain, bahwa dai/pendakwah layak mendapatkan imbalan.

Kholilurrohman menggunakan diskursus dahulu anak dimasukkan ke pondok pesantren agar kelak menjadi kiai yang mendapat ”pesangon” dari jemaah. Bila ditarik ke masa kini, ”pesangon” itu untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup seperti biaya pendidikan, bank, biaya rumah sakit yang semakin mahal, dan lainnya. Penghargaan dengan tarif justru menunjukkan penghormatan atas seberapa kuat dan dalamnya ilmu pengetahuan agama sang dai.

Saya beranggapan seorang dai yang berdakwah berdasarkan patokan tarif tentu akan berpengaruh pada integritas dan independensi dalam menyampaikan ilmu dan kebenaran. Jika mengundang dai dipersamakan dengan akad jual beli, pantas jika dai model seperti ini berceramah memenuhi pesanan pembeli. Tenu hakikatnya semakin jauh dari nilai dakwah dan spiritualitas. Dakwah yang seharusnya membawa seseorang semakin dekat dengan ilahi, justru membawanya pada arus komersialisasi dan kapitalisasi.

Advertisement

Sayyed Hassan Nasr (1995) pernah menyatakan bahwa peradaban modern yang dibangun bermula dari penolakan terhadap hakikat rohaniah. Akibatnya sebagian manusia lupa terhadap jati diri sebagai hamba di hadapan Tuhan. Jika imbalan dakwah dipersamakan dengan ganimah (rampasan perang), tentu konteks ruang dan waktunya berbeda dan hal ini perlu dikaji lebih mendalam.

 

Jihad

Advertisement

Dalam Karakteristik Perikehidupan 60 Sahabat Rasulullah (Khalid Muh. Khalid, 2004) justru mengungkapkan sebaliknya. Para sahabat nabi berdakwah bukan untuk mendapatkan harta. Mengorbankan harta, jiwa, dan raga menjadi sebuah kebanggaan karena mendapat hakikat jihad yang utama.

Kita bisa melihat dakwah di masa nabi dan rasul. Mereka (nabi, rasul, dan sahabat) menjadikan dakwah sebagai amal mulia yang membawa kepada nilai-nilai hakikat ketuhanan dan kemanusiaan. Pidato Nabi Muhammad SAW di Arafah pada Haji Wada’ tahun 10 H sesungguhnya merupakan pesan penting dalam misi dakwah.

Saat itu Nabi SAW berkata, ”Seseorang tidak dibenarkan mengambil sesuatu milik saudaranya kecuali dengan kerelaan pemiliknya yang telah memberikannya dengan senang hati. Oleh sebab itu janganlah kamu menganiaya diri kamu sendiri.” Para sahabat bisa secara murni menjalankan misi dakwah karena mereka memiliki sumber pendapatan sendiri di luar aktivitas dakwah mereka.

Ada sahabat Nabi SAW yang menjadi pedagang (saudagar), diplomat, peternak, pemilik perkebunan kurma, dan aneka usaha lainnya. Mereka tidak menjadikan dakwah sebagai sumber mata pencaharian utama. Bahkan sahabat-sahabat terpilih seperti Abu Bakar dan Umar bin Khatab memberikan sebagian besar harta merek di jalan dakwah. Bukan dibalik seperti saat ini: dakwah dijadikan “misi” mengumpulkan harta untuk memenuhi nafsu.

Dai model ini tentu jauh dari contoh para wali dan ulama penyebar agama Islam di masa lampau. Mereka mencontohkan bagaimana hidup sederhana lewat pakaian, rumah, dan perabotan lainnya. Hidup mereka juga membumi, tidak jauh dari lingkungan masjid, pondok, santri, dan masyarakat sekitar. Mereka penjadi pendengar yang baik, menampung curahan hati jemaah.

Tradisi keilmuan sangat tampak dari isi rumah mereka. Jarang ada barang mewah yang menghiasi rumah, kecuali deretan kitab-kitab klasik dan buku literatur lainnya. Mereka hidup dengan kesederhanaan dan menyelami hakikat sangkan paraning dumadi, sangkan paraning manungsa, lan dumadining manungsa (Filsafat Jawa, Abdullah Ciptoprawiro, 1986).

Kita rindu sosok-sosok sederhana seperti para Walisanga, K.H. Hasyim Asyari, K.H. Ahmad Dahlan, Buya Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA), K.H. Wahid Hasyim, dan ulama lainnya. Setiawan Budi Utomo dalam buku Fiqih Aktual (2013) mengingatkan agar pendakwah menjauhi jebakan dakwah yang dapat menjerumuskan niat, risalah, atau citra mereka kepada keterpurukan.

Jebakan itu berupa ”pelacuran” dakwah dan perjuangan, persaingan rendah di jalan dakwah, berebut lahan dan popularitas secara rendah karena ketertarikan duniawi hingga menggeser niat dan keistikamahan. Dai yang telah dikenal publik apalagi bertaraf nasional/internasional selayaknya menjaga muruah, yakni bertindak atas pertimbangan kode etik atau adab.

Idealnya seorang dai lepas dari motif ekonomi, sebagaimana dilakukan pendakwah dari kalangan nabi dan rasul serta ulama-ulama terdahulu. Kalaupun ”terpaksa” harus menerima uang (amplop), hendaknya ia tidak tamak dan serakah. Nilai dakwah sangat bergantung pada niatnya.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif