News
Selasa, 3 September 2013 - 02:12 WIB

DAERAH ISTIMEWA SURAKARTA : Akademisi Pesimistis, Konflik Keraton Tetap Diperhitungkan

Redaksi Solopos.com  /  Rahmat Wibisono  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Wilayah Negari Surakarta Hadiningrat (lenteratimur.com)

Solopos.com, SOLO — Kalangan akademisi memandang pesimistis wacana pembentukan Daerah Istimewa Surakarta (DIS). Secara hukum, hal itu bakal menjadi konsekuensi logis apabila Mahkamah Konstitusi yang kini melakukan uji material menganggap keliru peraturan perundang-undangan yang selama ini menempatkan wilayah eks Kasunanan Surakarta Hadiningat dalam Provinsi Jawa Tengah.

Dengan menyamakan status istimewa yang disandang Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan DIS yang wacananya berkembang saat ini, pengamat sejarah dan budaya Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo Tunjung W. Sutirto, Jumat (30/8/2013), mengingatkan DIS mestinya dipimpin raja. Namun, lanjutnya, kondisi di wilayah eks Kasunanan Surakarta Hadiningrat menunjukkan adanya jarak yang tegas antara lingkaran Kesunanan dengan rakyat.

Advertisement

Kondisi itu dianggap Tunjung tak akan memberikan kesempatan keluarga kerajaan mendapatkan dukungan rakyat untuk memegang pemerintahan. Warga dia yakini menginginkan pemimpin dipilih melalui jalur demokrasi. “Yang namanya DIS itu ya pimpinan daerahnya harus raja. Kalau bukan raja ya bukan istimewa namanya. Masalahnya kalau yang memerintah raja, apa rakyat mau? Bukan hanya dari Solo tapi bagaimana juga dengan masyarakat yang ada di Subosukowonosraten?”

Jika ditinjau dari sisi sejarah, Tunjung menganggap wajar lahir berbagai macam produk hukum yang mengatur mengenai pemerintahan dalam sebuah revolusi. Menurut dia, saat itu, semua produk hukum bersifat sah. Lagi pula, imbuhnya, menyamakan logika sejarah antara Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta berbeda.

“Saat terjadi agresi militer Belanda pada 1948 lalu, pemerintah Kesultanan Yogyakarta lebih bisa membaca tanda-tanda zaman. Bersama rakyat mereka melawan kolonial Belanda. Yang terjadi dengan Surakarta berlainan sekali. Justru mereka mempersilakan Belanda masuk kembali. Kelompok istana yang merupakan kelompok elitis tidak mau membaur dengan masyarakat dalam melawan penjajah,” jelasnya.

Advertisement

Cara pandang yang tak melulu mendasarkan fakta pada kesepakatan awal berdirinya Republik Indonesia juga dikemukakan Wakil Ketua DPRD DIY Tuti Masriah Widio. Ia bahkan menganggap pembentukan DIS tak berbeda dengan pengembangan wilayah baru pada ketentuan perundangan saat ini. Karena itulah, seperti Tunjung, ia menilai “usulan” DIS yang diajukan anggota keluarga Kasunanan Surakarta berlebihan.

Mendasarkan pemikiran pada ketentuan pemekaran wilayah, Tuti Masriah Widio memaparkan banyaknya faktor yang membuat eks wilayah Kasunanan Surakarta tak selayaknya menjadi DIS apalagi setingkat provinsi. Menurut Widio, usulan tersebut bisa memancing langkah serupa dari kerajaan-kerajaan lain di Tanah Air, salah satunya Cirebon.

Menjadi Daerah Istimewa, menurut Widio, ada banyak prasyarakat yang harus dipenuhi. Mengacu kepada UU 13/2012 Tentang Keistimewaan DIY, ada lima elemen yang menjadi perhatian yaitu penetapan gubernur seumur hidup, kelembagaan, pertanahan serta tata negara. Adanya kelima aspek tersebut membuat DIY berhak menerima bantuan senilai Rp231 miliar/tahun. “Setahu saya di Solo, rajanya bukan sebagai walikota atau gubernur kan? Lantas istimewa yang bagaimana? Kalau hanya budaya yang ditonjolkan mengapa harus sampai istimewa. Ini justru memancing kerajaan lain di Nusantara menuntut hal sama. Yang kasihan pemerintah sebab uang yang seharusnya bisa untuk kepentingan masyarakat banyak malah digunakan untuk pemekaran,” tukasnya.

Advertisement

Sementara itu, juru bicara Dwitunggal Kasunanan Surakarta, K.R.H. Bambang Pradotonagoro mengabaikan penjelasan K.P. Eddy Wirabhumi bahwa permohonan uji material di Mahkamah Konstitusi dengan No 63/PUU-XI/2013 itu tak terkait dengan konflik di internal Kasunanan. “PB XIII tidak pernah mengusulkan DIS. Sebab bicara DIS ya pasti bersangkut paut dengan Keraton, tidak bisa tidak. Kalau milih gubernur atau walikotanya tetap pakai sistem demokrasi, ya untuk apa DIS?”

Tak jauh berbeda dengan warga Baluwarti Hartono yang mengaku tak setuju apabila Solo menjadi DIS karena yang mengajukan usulan itu adalah kubu GKR Wandansari atau Mbak Moeng yang dinilai warga menjadi penyebab konflik Kasunanan menjadi berkepanjangan. Hal senada disampaikan Ketua RW 001 Baluwarti, Husni. Menurut dia, warga Baluwarti tak setuju dengan wacana DIS. “Jangan dulu DIS. Mengelola keluarga saja tak bisa apalagi kalau mengelola pemerintahan. Warga jelas tidak setuju,” tegasnya.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif