Umum
Senin, 2 September 2013 - 08:07 WIB

GAGASAN : Makna Sukses dan Bahagia

Redaksi Solopos.com  /  Tim Solopos  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi


Mulyanto Utomo
mulyanto.utomo@solopos.co.id
Wartawan Solopos

Rupanya tidak terlalu salah jika pekan ini saya mengajak komunitas jagongan kampung saya yang berkumpul di warung wedangan News Café membahas tentang apa sebenarnya tujuan hidup di dunia ini.

Advertisement

Pada kenyataannya banyak di antara kami yang tidak mengerti untuk apa sesungguhnya hidup ini harus dimengerti agar kita menjadi orang yang mengerti akan hidup.

”Iya, ya, Mas. Untuk apa sih kita ini hidup? Kenapa kita harus bekerja, lantas menikah, lantas mempunyai anak, dan mengapa pula kita harus sukses dan bahagia? Apa itu sukses dan bahagia?” tanya Denmas Suloyo merespons pancingan saya tentang apa sesungguhnya tujuan hidup itu.

Advertisement

”Iya, ya, Mas. Untuk apa sih kita ini hidup? Kenapa kita harus bekerja, lantas menikah, lantas mempunyai anak, dan mengapa pula kita harus sukses dan bahagia? Apa itu sukses dan bahagia?” tanya Denmas Suloyo merespons pancingan saya tentang apa sesungguhnya tujuan hidup itu.

Saya baru saja menceriterakan tentang kisah seseorang yang mengaku dirinya ateis, orang yang tidak yakin tentang keberadaan Tuhan, kepada kawan-kawan saya bahwa dia benar-benar tidak mengerti ketika suatu ketika ibu dan ayahnya dalam waktu yang hampir bersamaan meninggalkan dunia ini untuk selama-lamanya alias meninggal.

Tidak lama berselang, si ateis itu kembali berpikir keras agar bisa memahami dan mengerti makna kehidupan ketika anjing kesayangannya juga tewas tertabrak mobil di depan rumahnya. Dia kemudian bertualang untuk mencari tahu apa sebenarnya makna dan arti hidup dan kehidupan ini.

Advertisement

Dia rasakan ada mata rantai yang terputus tatkala jawaban-jawaban itu hanya didasarkan kepada fakta ilmu pengetahuan. Sebab pemahaman yang si ateis rasakan tentang perasaan, kesedihan, rasa kehilangan nyatanya tidak dia peroleh dalam ilmu pengetahuan.

Barangkali, si ateis tadi benar-benar adalah orang yang oleh Emha Ainun Nadjib disebut sebagai orang yang tidak mengerti, dan tidak mengerti bahwa ia tidak mengerti. Sebuah keadaan yang benar-benar absurd, kondisi mustahil bagi seorang manusia yang sedang berjalan hidup di atas bumi ini.

Jika seorang ustaz atau dai menegaskan bahwa tujuan hidup di dunia ini sejatinya sangat simpel yaitu untuk mengabdi, menyembah serta menjalankan perintah Tuhan… maka hal itu hanya bisa dipahami hanya oleh orang-orang yang telah beriman. Bagaimana dengan orang yang belum atau tidak beriman. Padahal hidup dan kehidupan ini adalah hal yang universal, bukan melulu disediakan bagi orang-orang yang beragama.

Advertisement

Maka beruntunglah saya ketika pekan lalu saya bertemu sahabat saya K.H. M. Dian Nafi yang membawa pencerahan tentang hal paling sederhana untuk memahami tujuan hidup ini secara universal. Hal paling masuk akal tentang tujuan hidup bagi semua golongan manusia, semua etnis, semua suku, termasuk orang yang tidak beragama sekali pun.

”Saya telah bertemu berbagai macam manusia, dari berbagai golongan, suku, dan bangsa di dunia ini. Kesimpulan saya, tujuan hidup semua manusia dari berbagai golongan itu ternyata adalah ’sukses dan bahagia’…” kata ustaz yang meskipun usianya lebih muda dari saya, tapi jelas saya kalah awu.

 

Advertisement

Tujuan Sama

Kata Mas Dian Nafi, yang aktif dalam dunia resolusi konflik antarmanusia ini, tujuan hidup orang barat adalah ”sukses dan bahagia”, tujuan hidup orang China adalah ”makmur dan rukun”, sedangkan tujuan hidup orang Jawa adalah mangan ora mangan waton kumpul.

”Artinya, terlepas dari urusan keakhiratan, semua manusia sesungguhnya memiliki tujuan yang sama, yaitu meraih kesuksesan dan kebahagiaan di dunia ini. Basis ’sukses’ adalah karier atau pekerjaan, sedangkan basis ’bahagia’ adalah keluarga,” papar pengasuh Pesantren Mahasiswa Al-Muayyad Windan, Makamhaji,  Kartasura, Sukoharjo ini.

Jelaslah bahwa dalam konteks duniawi, manusia di mana pun dia berada, dari golongan mana dia berasal, pasti ingin meraih kesuksesan dan kebahagiaan. Untuk mencapai keadaan itu, tentu setiap orang harus mengikuti norma, aturan, dan kaidah yang sudah ada dalam proses berbudaya yang teramat panjang.

Artinya, agar sukses maka seseorang harus selalu bersungguh-sungguh dalam bekerja, harus bekerja keras, tidak malas, dan penuh tanggung jawab. Agar bahagia, dia harus menghormati pasangannya, tidak berselingkuh, bertanggung jawab kepada keluarga, dan hal-hal normatif lain.

Hal-hal normatif ini sebenarnya juga telah ditetapkan secara universal di setiap hati manusia yang oleh Emha Ainun Nadjib disebut sebagai kesadaraan kealam-semestaan. Kesadaraan kealam-semestaan adalah kesadaran terhadap kodrat atau keniscayaan yang tak bisa ditawar.

Kesadaran ini mengacu terhadap ketentuan yang mutlak. Di dalam persitilahan agama, ketentuan yang mutlak ini ialah iradah Tuhan, hukum alam. Kata Emha, ia tidak sekadar bunyi nasib atau sabda bahwa si Polan menjadi putra pertama Tuan Marjuki dan bahwa si X akan dilahirkan di Gunung Kidul bukan di Kyoto.

Juga tidak sekadar bahwa bukan kera yang diberi akal pikiran tetapi anak cucu Adam. Lebih jauh dari itu, kodrat alam semestalah yang memutuskan Gunung Merapi tidak berada lima kilometer lebih ke selatan dari keberadaannya sekarang.

Jantungmu berdegub tidak karena perintahmu, tetapi tergantung firman alam semesta. Maka firman itulah inti hidupmu untuk meraih sukses dan bahagia. Jika sudah demikian, sesungguhnya tidak ada lagi orang yang bisa mengaku dirinya ateis.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif